Daltur L. Rendakasiang:
Menafsir Sesuai Konteks

Dalam hal menafsir bisa terjadi hasil tafsirannya benar atau salah; artinya sesuai maksud penulis atau tidak. Pertanyaan yang segera muncul adalah; apa yang paling menentukan benar tidaknya suatu tafsiran? Jawabannya adalah sesuai konteks atau tidak. Apa itu konteks? Misalnya saya tulis sebuah kata untuk Anda: beruang. Dapatkah Anda menafsirkan apa yang ada dalam benak saya dengan kata itu? Tentu Anda akan sulit menentukan mana yang ada dibenak saya; apakah yang saya maksud adalah banyak uang atau seekor hewan. Anda hanya dapat menafsir dengan tepat bila saya melengkapi kalimat yang memuat kata itu, misalnya: Di hutan itu ada beruang yang ganas dan besar. Nah, dengan kalimat ini akta beruang jelas mengacu kepada seekor hewan dan pasti bukan banyak uang. Dan kalimat tersebut adalah konteks dari kata itu.
Andaikan saya tulis sebuah kalimat kepada Anda: air itu bersih. Dapatkah anda menafsirkan apa yang saya maksud dengan kalimat itu? Apakah maksudnya air yang dapat diminum? Ataukah hanya air bening yang belum tentu dapat diminum? Ataukah air yang bersih relatif? Anda hanya dapat menafsir dengan tepat bila saya melengkapi kalimat itu dengan kalimat-kalimat yang menyerta, sbb:
Suatu sore Ani dan Tina sedang bermain di tepi sungai dekat rumah Tina. Lalu Ani berkata kepada Tina, ‘air itu bersih, tidak seperti air sungai dekat rumahku yang hitam dan banyak limbahnya.’
Alinea ini memperjelas maksud kalimat saya tadi yaitu air yang bersihnya relatif, dan pasti bukan air yang dapat diminum. Alinea tersebut adalah konteks dari kamiat air itu bersih.


            Bila kita tarik pembahasan ini lebih luas, maka dapat kita katakan sebagai berikut. Sebuah kata dapat dimengerti dengan jelas berdasarkan konteks kalimatnya. Sebuah kalimat dapat dimengerti dalam konteks alineanya atau paragrafnya. Sebuah paragraf dapat dimengerti dengan jelas berdasarkan konteks perikopnya. Suatu perikop dapat dimengerti berdasarkan konteks kitabnya, sebab suatu kitab ditulis dengan tujuan tertentu; dan agar tujuan kitab itu tercapai, maka perikop-perikopnya ditulis untuk menunjang tujuan kitabnya. Konteks ini disebut konteks bacaan.
Selanjutnya, misalkan saya menemukan secarik kertas yang berisi tulisan ini:
‘Setelah rakyat berjuang akhirnya penjajah itu kembali ke negerinya.’
Dapatkah Anda menafsirkan siapa yang penulis maksud dengan penjajah itu? Tentunya Anda akan mengalami kesulitan. Siapa penjajah itu sangat tergantung pada siapa rakyat yang berjuang itu. Jika rakyat yang dimaksud adalah bangsa Indonesia, kita juga masih belum tahu siapa yang dimaksud dengan penjajah itu. Tapi ada beberapa kemungkinan yaitu: Belanda, Portugis, Inggris, atau Jepang. Dan kemungkinan ini saya ketahui karena saya sendiri orang Indonesia. Seandainya yang sedang membaca kertas itu orang Israel, walaupun seandainya dia tahu bahwa yang dimaksud rakyat yang berjuang itu bangsa Indonesia, belum tentu ia langsung tahu siapa kemungkinan penjajah itu, kecuali ia mengenal sejarah Indonesia. Jika ada info tambahan sedikit saja yang melengkapi kalimat itu misalnya:
‘Setelah rakyat berjuang akhirnya penjajah itu kembali kenegerinya. Maka terbebaslah rakyat itu dari penjajahan selama ratusan tahun.’
Dengan tambahan kalimat itu maka siapa penjajah itu makin jelas. Saya dapat pastikan penjajah itu adalah Belanda karena saya mengetahui sejarah Indonesia. Tafsiran saya bahwa penjajah itu adalah Belanda tidak saya peroleh berdasarkan konteks bacaan saja, karena pada tulisan itu tidak terdapat kata Belanda, melainkan berdasarkan konteks historis, sebab hanya Belanda yang menjajah Indonesia selama ratusan tahun.
Dengan demikian kita mengenal dua jenis konteks yaitu konteks bacaan dan konteks historis. Kedua konteks ini sangat menentukan ketajaman penafsiran kita tentang suatu teks, termasuk teks Alkitab; kedua konteks itu adalah faktor penentu apakah tafsiran kita sehat atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak.
Karena itu dalam menafsir suatu teks Alkitab, kita harus menafsirnya sesuai konteksnya. Arti suatu kata diperoleh dari kalimatnya. Maksud suatu kalimat diperoleh dalam konteks alinea dan paragrafnya. Maksud suatu paragraf dimengerti dalam kaitan dengan paragraf sebelum dan sesudahnya dan kaitan dengan keutuhan kitabnya, dan seterusnya. Dan kita juga harus mempertimbangkan tulisan lain dan praktek iman oleh penulis yang sama. Misalnya ketika menafsirkan Surat Efesus, baca juga surat Kolose dan surat-surat Paulus lainnya untuk topik yang sama. Ketika kita menafsir 1 Tim.2:12 kita juga harus ingat bagaimana Paulus memuji Priskila. Jangan terlalu berani menarik kesimpulan yang ternyata bertentangan dengan praktek.
Agar tafsiran kita sesuai konteks historisnya maka kita harus memperhatikan waktu penulisan, faktor-faktor budaya, geografis, topografis dan politik yang sesuai dengan keadaan penulis dan pembaca ketika itu.
Perhatikan latar belakang sejarah dan budayanya. Bagaimana situasi kehidupan ketika itu: adat istiadat (customs), kebiasaan-kebiasaan (habits)? Bagaimana cara-pikir dan tata-krama mereka? Semakin kita mengerti kehidupan sosial – cara berpikir Yahudi dan Yunani – ketika itu akan membuat kita lebih mudah mengerti perikop yang kita baca. Untuk memperoleh informasi-informasi ini penafsir membutuhkan literatur penolong seperti Ensiklopedia Alkitab, Kamus Alkitab, Atlas Alkitab.
Hal yang amat penting dalam konteks ini adalah maksud dan tujuan penulisan. Kita harus menemukan apa yang sedang terjadi ketika itu dan apa yang mendorong penulis menulis tulisan tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini biasanya dapat ditemukan dalam keseluruhan kitab itu sendiri. Dalam hal ini diperlukan ketelitian dan ketajaman membaca. Jika memang diperlukan bantuan literatur dapat ditemukan dalam Ensiklopedia atau bagian Introduksi dari buku tafsiran kitab yang bersangkutan. Tetapi terlebih dahulu cobalah temukan sendiri dalam konteks kitabnya.

 

Latihan konteks


            Apa yang langsung terpikir oleh Anda jika membaca kalimat: ‘latihan badani’. Anda mungkin langsung terpikir tentang olah raga. Dan itu wajar. Tetapi coba Anda baca I Timotius 4: 8. Coba tafsirkan apa yang Paulus maksud dengan ‘latihan badani’ sesuai konteksnya.
Coba Anda perhatikan bagaimana Markus menempatkan cerita Mar. 10:46-52 (Bartimeus yang disembuhkan). Ia meletakkan cerita ini setelah pengajaran Yesus yang penting Markus 10:45 (Melayani, bukan dilayani). Coba tafsirkan pesan atau pelajaran apa yang ingin disampaikan Markus dari cara penempatan cerita itu.

 

——- Dituliskan oleh Daltur L. Rendakasiang
——– Diterbitkan pada edisi No.6 November-Desember 2000, Memasuki abad 21

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *