Christiany Juditha:
Ia Dinamai “Perempuan”

Laki-Laki dan Perempuan = Sepadan
“Wanita diciptakan dari tulang rusuk pria,
bukan dari kepalanya untuk jadi atasannya,
bukan pula dari kaki untuk dijadikan alasnya,
melainkan dari sisinya untuk jadi teman hidupnya,
dekat dengan lengan untuk dilindungi
dan dekat dengan hatinya untuk dicintai.”

Sebait puisi di atas merupakan puisi yang sangat terkenal yang dibuat oleh Kahlil Gibran. Jika coba dikaji secara mendalam, bait-bait ini mirip dengan apa yang disampaikan Alkitab dalam Kejadian 2:18, yaitu Tuhan Allah berfirman : “Tidak baik kalau manusia seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.”
Ayat tersebut di atas mengandung arti yang sangat jelas bahwa Allah tahu bahwa manusia pertama (Adam) itu tidak akan hidup sendiri, tidak akan kesepian, dan tidak akan bekerja sendiri. Karena itu, Allah menjanjikan akan memberikannya pasangan, teman hidup yang “sepadan.” Arti sepadan menurut kamus bahasa Indonesia, pertama adalah ekuivalen, proporsional, sama, sebanding, sederajat, seimbang, sejajar, sekelas, selevel (cak), sepasang, setakar, setara, setimbal, setimbang, setingkat, setolok, seukur dan yang kedua adalah cocok, selaras, serasi. Artinya teman Adam yang dijanjikan Allah itu yang kemudian diberi “label” perempuan bernama Hawa itu adalah sosok yang benar-benar tepat dan seimbang bagi Adam.
Dari sinilah sebenarnya dapat ditarik benang merah bahwa Adam dan Hawa sama-sama memiliki derajat yang tiada berbeda di mata Allah: sama-sama unik, sederajat, sebanding. Jika demikian, mengapa “derajat” ini selalu menjadi pertentangan di sepanjang sejarah dunia?

Budaya Membentuk Ketidaksetaraan Laki-Laki dan Perempuan
Dalam banyak budaya tradisional di dunia, tidak bisa dipungkiri bahwa kebanyakan perempuan ditempatkan pada posisi kedua setelah laki-laki. Fungsi dan peran yang diemban perempuan dalam masyarakat tersebut secara tidak sadar dikonstruksikan oleh budaya setempat sebagai warga negara kelas dua yang melahirkan terjadinya bias gender dalam masyarakat.
Memang, ada perbedaan-perbedaan kodrati antara perempuan dan laki-laki secara jenis kelamin dan konstruksi tubuh, namun dalam konteks budaya peran yang diembannya, haruslah ia memiliki kesetaraan dengan laki-laki. Namun, yang terjadi justru budaya setempat melazimkan ketidaksejajaran peran antara laki-laki dan perempuan tersebut terkait dalam kehidupan keseharian.
Sugiah (1995) berpendapat bahwa di dalam masyarakat selalu ada mekanisme yang mendukung konstruksi sosial budaya gender. Misalnya, menganggap peran perempuan di dalam rumah (dapur, mengurus anak, dan lain-lain), sementara laki-laki di luar rumah (bekerja, mencari nafkah). Mengganggap perempuan adalah mahluk yang lemah sedangkan laki-laki adalah makhluk yang kuat. Hal ini juga berlaku bagi anak-anak (laki-laki dan perempuan). Anak laki-laki tidak boleh menangis, yang boleh menangis hanya anak perempuan. Atau, anak perempuan harus bermain boneka, masak-masak dan permainan lain yang identik dengan permainan perempuan, sementara sebaliknya anak laki-laki dilarang melakukan hal serupa seperti anak perempuan karena takut ketularan menjadi keperempuan-perempuanan. Dalam keluarga juga secara tidak sengaja dilakukan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Anak perempuan membantu ibu memasak, sedangkan anak laki-laki membantu ayah mengerjakan pekerjaan ayah yang identik dengan laki-laki.
Pewarisan nilai-nilai ini yang terus disuburkan sehingga membentuk aturan-aturan aturan yang tidak boleh dilanggar karena dianggap melanggar nilai budaya. Konsep inilah yang menurut Matsumoto (1996) yang dikenal dengan ideologi peran gender, sehingga secara nyata konstruksi budaya memiliki kontribusi yang kuat dalam memposisikan peran laki-laki-perempuan. Budaya yang mengakar kuat di dalam masyarakat ini pula yang kemudian dilegalkan ke dalam beberapa aturan pada sebuah negara sehingga memosisikan kaum perempuan menjadi semakin termarginalkan. Banyaknya ketidaksetaraan ini pada akhirnya memunculkan gerakan feminis yang menggugat dominasi laki-laki atas perempuan.

Kesetaraan Gender yang Mana yang Harus diperjuangkan?
Perjuangan para feminis dalam sejarah patut tetap dihargai sebagai sebuah pendobrakan atas ideologi budaya ketidakseraan gender yang telah terbentuk selama berabad-abad. Namun, harus tetap diingat bahwa tidak semua kesetaraan tersebut harus diperjuangkan. Ambil contoh feminisme liberal yang tidak sedikit dianut oleh wanita modern yaitu menciptakan sikap kelaki-lakian dalam diri mereka, mulai dari cara berpakaian, penampilan diri, dan gaya hidup, seperti lebih senang bergaul dengan laki-laki, merokok, minum minuman keras, dan lain-lain. Bahkan sampai pada taraf di mana perempuan tidak lagi tertarik kepada pria, tetapi lebih tertarik kepada sesama jenisnya (lesbian) dengan alasan tidak ingin menikah dengan laki-laki agar tidak dikuasai dan ditindas oleh kaum laki-laki. Tentu perjuangan feminisme/kesetaraan gender model ini sangat keliru dan tidak sejalan dengan apa yang dikatakan dalam Alkitab. Namun, perjuangan feminisme yang positif untuk kepentingan orang banyak, bangsa dan negara tentu jauh lebih berharga dan penting sekaligus “tidak berdosa.”
Jika menoleh ke belakang pada sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, kita perlu berbangga memiliki perempuan-perempuan seperti Kartini, Dewi Sartika, dan lainnya, yang telah ikut berjuang sehingga derajat kaum perempuan dan laki-laki menjadi sama. Ada juga Cut Nya Dien, Christina Marta Tiahahu, dan perempuan-perempuan lain yang tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa, yang merupakan sosok-sosok perempuan yang telah menunjukkan diri untuk berjuang sama seperti apa yang diperjuangan kaum lelaki di negeri ini, yaitu untuk menjadikan bangsa ini menjadi lebih baik dan keluar dari belenggu penjajahan. Hal ini juga menjadi patokan bahwa perempuan Indonesia bisa keluar dari belenggu ideologi tidaksetaraan gender yang telah mengkristal di sepanjang sejarah bangsa. Apa yang dilakukan mereka itulah yang patut dicontoh bagi kaum perempuan lainnya di Indonesia, termasuk kita.
Dalam Alkitab juga banyak diceritakan tentang kaum perempuan yang memiliki talenta untuk membangun bangsanya. Sebut saja Ester, ratu yang cantik jelita, anak angkat Mordekhai (Ester 2:7). Dalam proses pemilihannya menjadi ratu pengganti Wasti, ia juga mengalami pendidikan dan pelatihan yang tidak mudah. Dalam kapasitasnya sebagai permaisuri raja Ahasyweros, ia tetap mengasihi bangsanya, orang Yahudi yang pada waktu itu menjadi tawanan Persia. Tatkala bangsanya menghadapi ancaman yang mengerikan, ia tampil sebagai pembela dan pahlawan pembebas walaupun nyawanya sebagai taruhannya (Ester 7:6). Ada juga Debora yang merupakan seorang nabiah sekaligus hakim termasyhur yang memberi nasihat dan keadilan kepada umat Israel, dan banyak lagi contoh-contoh perempuan dalam Alkitab yang tidak tinggal diam, tetapi ikut berjuang dan memberi sumbangsih bagi kemajuan bangsanya.
Jangan sampai juga melupakan bahwa perempuan tetaplah perempuan yang masih mempunyai kodrat keperempuanan. Tuhan juga tidak pernah mengubah perempuan menjadi laki-laki. Karena itu, perempuan tetap harus menjunjung tinggi nilai-nilai budaya sebagai perempuan Indonesia yang santun, bertatakrama dan tetap menghargai nilai kebudayaan. Sekalipun telah mengecap kemajuan, para perempuan semestinya tidak melupakan kaum lain yang tertindas dan terbelakang dengan peduli dan peka menolong mereka dengan berbagai usaha yang dapat dilakukan, seperti ikut peduli terhadap perlindungan hukum bagi kaum perempuan dari pelecehan dan tindakan kekerasan dan diskriminasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki, juga tetap berjuang agar hak-hak perempuan tetap dapat terpenuhi.

Perjuangan Belum Berakhir, Lakukan Sesuatu!
Jalan telah terbuka. Perjuangan telah lama dilakukan bahkan sampai sekarang masih terus berlangsung dan belum berakhir. Tugas kita sekarang adalah terus memajukan dan melanjutkan perjuangan itu. Begitu banyak peluang dan kesempatan yang ada, yang menuntut kita untuk berkarya dan membuktikan bahwa perempuan bukan kaum yang lemah, cengeng, dan mudah menyerah. Tetapi sebaliknya, dia adalah sepadan dan setara dengan laki-laki. Sehingga juga mampu bersama kaum laki-laki untuk berjuang bersama. Menjadi istri yang baik bagi suami, menjadi ibu yang mampu mendidik anak-anak menjadi manusia yang berkualitas, menjadi karyawati yang rajin dan dapat diandalkan di tempat kerja, menjadi pelayan Tuhan di gereja dan persekutuan yang bisa menjadi teladan. Mungkin terkesan klise, tapi ingatlah selalu, wahai kaum perempuan, bahwa apapun profesimu saat ini, mari mengerjakannya untuk kebaikan orang banyak. Karena Tuhan telah memberikan nama baginya sebagai “Perempuan.”

——–
* Peneliti adalah Christiany Juditha BBPPKI Makassar, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, melayani di PAK Perkantas Sulawesi Selatan

**Diterbitkan dalam majalah Dia edisi I tahun 2013

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Satu pemikiran di “Ia Dinamai “Perempuan””