Betulkah setiap perempuan yang lebih karier dari pada keluarga merupakin sebuah “penyesatan” peran yang diberikan Tuhan bagi Perempuan?
Sebagian orang akan berkata “tidak” dengan tegas, tapi mungkin ada yang berkata “ya” dengan tegas pula. Dan nampaknya ada juga yang menjawab dengan nada keraguan antara “ya” dan “tidak”. Bagaimana pendapat anda secara pribadi?
Ada beberapa bagian firman Tuhan yang akan menolong kita untuk menjawab masalah ini. Kita akan mampu melihat posisi perempuan masa ini untuk menjadi bahan perenungan kita dan menolong kita mengerti perempuan dan bagaimana seharusnya sikap dan peran perempuan yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Pendapat Umum
Sejarah membuktikan, betapa telah tuanya tradisi pelecehan terhadap perempuan dan peran perempuan dari laki-laki. Seperti yang dapat kita pelajari dari ungkapan-ungkapan beberapa tokoh yang dapat mewakili pendapat umum masa itu. John stott dalam bukunya Issues Facing Christians Today, menulis bahwa Pluto mengatakan nasib malang yang bisa menimpa laki-laki ialah kalau ia direinkarnasi sebagai perempuan. Sedang Aristoteles menganggap perempuan sebagai ‘sejenis laki-laki yang tidak lengkap’. Ia menulis, ‘Betina adalah jantan yang tidak sempurna yang secara tidak sengaja dilahirkan demikian akibat kekurangan si Ayah atau akibat pengaruh jahat angin selatan yang lembab’.
Sedang penulis-penulis Yahudi juga merendahkan martabat perempuan. Yosepus, penulis Yahudi pada abad pertama yang sangat terkenal mengemukakan pendapatnya bahwa perempuan adalah inferior dalam segala hal ketimbang laki-laki. Dan dalam ungkapan doa laki-laki -Yahudi setiap pagi demikian, “Mengucap syukur bahwa Allah tidak menciptakan dia sebagasi seorang kafir, seorang budak atau seorang perempuan.” Dalam hukum Yahudi seorang perempuan bukan suatu pribadi, melainkan suatu benda. Ia tidak mempunyai satu hak legal; ia milik mutlak suaminya yang boleh diperlakukannya sesuka hati.
Gambaran umum tentang perempuan pada abad-abad awal mempunyai kesamaan, bahwa perempuan adalah manusia kelas dua. Kita bersyukur bila selama abad ini kedudukan dan peran perempuan telah mengalami perubahan yang sangat cepat dan menjadi baik, khususnya di dunia Barat. Ada beberapa bagian Alkitab yang membicarakan tentang perempuan dan perannya di masyarakat dan di dalam pelayana mimbar di dalam jemaat. Namun secara khusus di sini akan dibahas peran perempuan di masyarakat. Dengan melihat kesamaan antara laki-laki dan perempuan; Perempuan sebagai penolong yang sepadan; dan tanggungjawab ke-kepala-an laki-laki.
Apa Kata Alkitab?
kejadian l:26-28 mencatat, bahwa sejak dari semula manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan oleh Allah. Keduanya laki-laki dan perempuan, sama-sama dicipta menurut gambar-Nya. Keduanya, diberi kuasa atas seluruh bumi. Dan tidak ada unsur yang menyatakan adanya penekanan peran dan tanggungiawab yang berbeda. Namun, kesepadanan seksual yang asli ini menjadi rusak oleh kejatuhan manusia ke dalam dosa. Yang nampak akhirnya, sebagai akibat dari dosa, laki-laki menguasai perempuan dengan cara-cara yang sangat jauh dari kehendak Allah.
Kemudian Allah meluruskan kesalahan pengertian manusia tentang perempuan dan peran perempuan dengan berbagai peristiwa. Dimulai dengan dilahirkannya Sang Juru selamat melalui seorang perempuan, dan kemudian diikuti dengan berbagai rentetan peristiwa yang menggambarkan Tuhan Yesus bicara sungguh menghargai perempuan. Antara lain, Tuhan Yesus dengan sekelompok perempuan yang disembuhkannya (Luk 8:l); berbicara dengan perempuan Samaria (yoh 4), menghargai Maria yang duduk diam untuk mendengar pengajaran-Nya (Luk 12).
Perempuan sebagai Penolong yang sepadan
Ada yang menganggap, bahwa perempuan pastilah memiliki unsur yang membuat perempuan lebih rendah dari laki-laki karena disebut “sebagai penolong laki-laki, seperti yang tercatat dalam Kej.2:18-22. Kalimat tersebut tidak berhenti sampai di situ karena kata berikutnya menentukan pengertian yang penting juga.
Kata ‘penolong’ di sini, bukan menyatakan satu posisi yang lebih rendah. Karena orang yang dapat menolong orang lain pasti mampu dan bahkan ada kemungkinan lebih kuat di-banding yang ditolong. Jadi, kalau perempuan menjadi penolong bukan berarti menyatakan kerendahan perempuan.
Sedang kata “sepadan” menyatakan hal yang penting, karena berarti ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tidak persis sama atau serupa, namun tidak lebih rendah atau lebih tinggi. Kedua, berarti keduanya memiliki kualitas yang seimbang. Dan ketiga, berarti adanya perbedaan fungsi keduanya. Dengan kata lain, perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki, namun memiliki ciri yang khusus (yang tidak dimiliki oleh laki-laki) dan memiliki fungsi yang khusus (yang tidak dapat saling digantikan), dengan tujuan supaya dapat saling melengkapi dengan laki-laki. Satu sisi yang lain, karena kedudukan dan kualitas yang sama antara laki-laki dan perempuan, maka ada kemungkinan satu saat atau sering terjadi ada saling mengambil alih fungsi, namun tetap tidak akan dapat mengambil alih seluruhnya.
Tanggungiawab Ke-Kepala-an Laki-laki
Pengertian tentang peran perempuan, akhirnya dapat menimbulkan konflik ketika Rasul Paulus menuliskan adanya satu ketentuan tentang ke-kepala-an laki-laki atas perempuan (Efesus 5:23 dan I Kor I l:3). Arti kata ‘kekepalaan’ mengandung unsur otoritas.
Dan mungkin menjadi sulit dikaitkan dengan arti kesepadanan dalam Kej 2. karena seakan menimbulkan dua hal yang berbeda, namun tidak lagi sulit ketika kita melihat adanya konteks Efesus 5:22-33 yang berbicara mengenai hubungan ke-kepala-an suami terhadap istri yang mengacu kepada sikap Kristus terhadap tubuh-Nya, yaitu gereja (Efesus 5:22-27) dan mengacu kepada sikap seorang yang mengasihi tubuhnya sendiri.
Seperti halnya Kristus dan jemaat-Nya yang telah begitu mengasihi dengan rela berkorban menyerahkan diri-Nya supaya jemaat-Nya mendapatkan kelepasan dan pengudusan oleh karena darah-Nya maka demikian juga seharusnya sikap suami yang menjadi kepala isteri,bukan menjadi penguasa atas istrinya, tapi rela mengasihi supaya istrinya mendapat hal-hal yang baik baginya
Dan sikap seorang suami yang mengasihi isterinya seperti mengasihi dirinya sendiri, merupakan penekanan yang tajam, karena tidak ada seorangpun manusia yang sehat akan mencelakakan dirinya dan tidak memperhatikan dirinya sendiri..
Jadi ke-kepala-an suami atas isterinya bukan untuk menindas dan berbuat sekehendak hati, melainkan supaya suami-suami bertanggungjawab, istilah yang dipakai John Stott, melayani dan mengayomi isteri-isteri mereka.
Dari pembahasan tentang hal-hal ini, dapatlah dikatakan, bahwa seorang perempuan diciptakan untuk dapat berkarya semaksimal mungkin, menjadi sepadan dengan laki-laki dan menjadi penolong laki-laki di segala bidang dan keadaan.
Situasi dan Peran Kita Sekarang?
Kalau kita meneliti, masa ini, banyak perempuan yang telah dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup tinggi, dengan disertai dengan gelar-gelar akademis, nilai-nilai hasil belajar yang mengagumkan sebagai satu pengakuan yang jelas akan kemampuan mereka,mungkin bisa melebihi laki-laki pada umumnya.
Masa ini pula, walaupun tidak dilengkapi dengan gelar akademis yang formal, banyak perempuan yang memiliki ketrampilan yang tidak dapat disepelekan. Yang dapat menghasilkan satu usaha yang tidak kecil, yang dapat mengalirkan dana yang tidak kecil pula. Kita juga menyaksikan ada jabatan-jabatan tertentu yang lebih luwes bila diduduki oleh wanita.
Sederetan fakta ini, menggambarkan bahwa perempuan sudah waktunya berperan aktif dimasyarakat. Tapi bagaimana bagaimana kedudukannya dalam keluarga? Dapatkah perempuan mengambil kendali dalam keluarga sementara tetap ada suami di dalam keluarga? Tepatkah seorang perempuan menjadi ketua satu organisasi Kristen yang juga diikuti oleh laki-laki di dalamnya?
Dari uraian berlandaskan Alkitab di atas sesungguhnya laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan memiliki kesamaan dan Tuhan mau memakai laki-laki dan perempuan di bidang apa saja dan di mana saja sesuai dengan talenta dan kesempatan yang Tuhan berikan baginya. Namun yang menjadi pertimbangan, sejauhmana kita boleh berperan. Tentu kita tidak dapat bergerak, menyatakan diri, berperan seluas-luasnya tanpa mempertimbangan perasaan dan ke-kepala-an laki-laki. Yang menjadi masalah, apa dan dimana batasannya?
Untuk melihat masalah-masalah ini, dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok kasus. Pertama melihat geraknya zaman, perempuan dapat berperan menurut konteksnya. Artinya, bila dalam lingkup satu organisasi yang memungkinkan laki-laki berperan jadi pemimpin, maka perempuan tidak harus memaksakan diri untuk jadi pemimpin.
Kedua, analog dengan pertama jika di dalam keluarga suami yang menjadi kepala keluarga, maka seharusnyalah perempuan menyerahkan kepemimpinan kepadanya. Dengan demikian konsekuensi yang mengikuti adalah, mengutamakan anak-anak atau keluarga dari pada kariernya (nampaknya konsekuensi logis memasuki pernikahan).
Ketiga, sedang bagi perempuan yang sendiri dan mandiri, dia bisa berkonsentrasi pada kariernya tentu dengan mengingat kehadiran si laki-laki di sekitarnya dengan menjaga perasaan mereka. Namun tetap, bila kita diberi kesempatan dan kita mampu menjadi pemimpin,kita dapat melakukan tanpa ragu-ragu.
Setiap orang memiliki kondisi yang khusus diberikan Tuhan baginya. Setiap kesempatan untuk studi di perguruan tinggi; setiap ketrampilan yang dimiliki; dan setiap kesempatan berkarya semua dari Tuhan. Jadi, sudah seharusnya bila kita mengembalikan semuanya kepada Tuhan. Kita harus sensitif akan kehendakTuhan, di mana dan bagaimana seharusnya berperan, dan yang paling penting, kita bekerja secara maksimal.***
*Dituliskan oleh Iis Achsa, staf Perkantas Surabaya
Daftar Pustaka
1. Stott, John, Isu-isu Global Menantang KepemimpinanKristiani, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, hal 334.
2. Ali, Lukman (Pen.Tim Redaksi), l99l,KamusBesar Bahasa Indonesia, ed. II, Jakarta: BalaiPustaka.