Si Muji, untuk urusan ke gereja, dia punya-agenda sendiri. Kalau lagi normal, ke gereja GKI, kalau lagi mau klasik ke gereja Reformed, kalau lagi mau keroncong ke GKJ atau Pasundan. Kalau lagi mau jingkrak ke Pentakosta, kalau lagi mau berbalas pantun ke gereja Katolik, kalau lagi mau beramah tamah ke gereja GPIB, kalau lagi mau lihat orang kebaktian dengan “wajah tegas” ke HKBP kalau lagi mau disuruh-suruh baru dia ke gereia Kharismatik, tapi, kalau lagi mau ngobrol panjang sama Tuhan, ya… dia nggak ke gereja. Di gereja banyak orang, susah dengar suara-Nya, orang di rumah sendiri yang sepi saja suara-Nya nyaris tak terdengar.
Kali ini, Muji datang terlambat dalam kebaktian. Sekitar l5 menit dari jam ibadah yang seharusnya. Segera saja ia menuju daerah balkon yang biasanya masih cukup kosong meski ibadah sudah dimulai. Wah ternyata yang pimpin pujian, WL (worship leader) yang paling tidak disukainya. Emang kenapa? Si WL itu lebih suka berkhotbah daripada memimpin puiian. Jam pujian seringkali dipakainya untuk menyampaikan khotbah. Saat berdoa pun dia tetap berkhotbah.
Kemudian, muncul para dancer yang mengiringi lagu pujian dengan semangat. Mereka melompat-lompat dengan energik, mengajak jemaat untuk menyanyi dengan penuh semangat. Muji sudah tahu, pasti sebentar lagi jemaat akan disuruh mengikuti gerakan mereka. Benar juga, sebentar kemudian WL menyuruh jemaat menyahut nyanyiannya dengan sorakan. Tak lama kemudian dia menyuruh mengangkat tangan dan mengacung-acungkannya bak para demonstran. Kebetulan, karena Muji duduk di balkon, ia bisa menikmati pemandangan dari atas. Muji ngerasa seperti di film Evita Peron pas nyanyi “Don’t cry for me Argentino” atau malah filmnya Marie Antoinette yang sedang didemo massa.
Pikir Muji, mengapa harus ada dancer di gereja? Ngapain musti ngajak-ngajak jemaat jingkrak-jingkrak, teriak amin, teriak halleluya? Kalau mau jingkrak ya jingkrak aja sendiri. Mustinya gereja sadar, kalau jingkrak itu gak usah disuruh. Kalau lagunya enak, hatinya lagi nyaman, ya jingkrak sendiri. Kalau jingkraknya mesti disuruh, itu sama saja kayak lagi senam di fitness centre.
Konon, kalau nggak jingkrak dianggap nggak rohani, tidak sukacita, tidak marem, itu bukan ajaran Alkitab, itu ajaran sesat. Memang benar Alkitab mencatat Daud jingkrak. Memang tiap ketemu nabi Daud jingkrak? Alkitab juga mencatat, waktu menghadap Tuhan, Daud sering mewek alias menangis.
Nah, dari balkon itu juga, Muji bisa melihat ada jemaat yang ngantuk di gereja, ber-sms, mengkhayal, melirik, nguap, ngorong alias “gali harta hidung”, duduk santai di gereja, menilai-nilai khotbah, dan banyak lagi kale…
Tak lama kemudian saatnya memberikan persembahan. Wah, Muji belum mempersiapkan persembahan dari rumah! Jadi pas lagi doa persembahan dinaikkan, dia masih sibuk kasak- kusuk masukin persembahan ke dalam amplop. Mana amplopnya makin banyak lagi! Maklumlah gereja itu sedang menggalang dana pembangunan. Lagu mengiringi persembahan dilantunkan. Sambil menunggu kantong kolekte tiba di barisannya, Muji asik membaca warta jemaat. Melihat-lihat siapa yang ulang tahun, menikah di minggu ini, jam-jam ibadah sepekan, siapa pendetanya, siapa yang kasih persembahan paling banyak, dan seterusnya.
Tiba-tiba hp-nya bergetar. Hmm, ada SMS. Hihihihhi… si Muji alias Jawir cekikikan sendiri membacanya. Rupanya, ada teman yang juga sedang ke gereja itu di jam yang sama. Entah dimana dia duduk. Dia bilang cewek berbaju kuning disebelah Muji terus melirik si Jawir. Lebih tepatnya tante di sebelah Muji kalee… sms temannya dibalas. Tapi Muji tunggu-tunggu balasannya gak datang-datang. Ah, sudahlah… waktunya dengar khotbah.
Doa untuk Firman Tuhan dinaikkan. Selesai berdoa, ternyata ada acara kesaksian. Diputar 2 video kesaksian yang durasinya menurut Muji lama sekali. Yang pertama dari seorang ibu yang penuh semangat. Kegemarannya mengulang-ulang kalimat dengan penuh penekanan dan sangat antusias. Yang kedua dari seorang bapak yang super kalem. lntonasinya serba datar dengan wajah tanpa ekspresi. Karena mulai bosan dan tidak konsentrasi mendengarkan, Muji membuka buku catatannya untuk menulis.
Sewaktu firman Tuhan dibacakan, ada jemaat yang menyodorkan Alkitab ke Muji (maklum tidak bawa). Hatinya langsung “down”, malu euy! Muji berharap someday dia bisa melakukan hal yang sama, jadi penyodor Alkitab.
Khotbahnya diambil dari Kolose. Ulasannya buanyak banget. Slide shownya juga komplit dan macam-macam. lntinya sih sebenarnya simpel saja, melayani Tuhan lewat pekerjaan sehari-hari. Contoh-contohnya mulai dari atlet bola dunia sampai Agnes Monica, mulai dari pekerjaan umum sampai semua program gereja. Wah, khotbahnya kali ini benar-benar lama. Seharusnya ibadah selesai jam 11, tapi sudah 11.15 khotbahnya belum selesai. Padahal Muji mau besuk orang di rumah sakit yang waktu kunjungnya jam 12.00.
Hmm…itu pendeta, menurut Muli, mustinya tahu kenapa jam pelajaran di sekolah lamanya 45 menit. Itu hasil riset ratusan tahun, bahwa daya konsentrasi rata-rata manusia itu 45 menit. Kayaknya, itu pendeta jarang dikasih kesempatan khotbah jadi sekali ada kesempatan dia puas-puasin.
Khotbah pun selesai. Jemaat diminta hening, berkontemplasi. Saat hening!
Tapi, puluhan jemaat langsung berdiri, menuju toilet. Saat hening digunakan untuk saat kencing!
Nah, bagi Muji, hal yang disukai kalau ke gereja atau beribadah di gereja, adalah saat menyanyikan lagu “Haleluya 5x amin 3x,” selain kedengarannya megah banget, lagu itu juga menjadi pertanda kebaktian telah berakhir.
ebaktian pun berakhir, pas banget jam 12!
Muji pun berjalan pulang dan dalam hati ia bertanya-tanya kenapa hari ini rasanya ia nggak ke gereja. Masih nanya lage!
—— Dituliskan oleh Thomas N Pottirodjowone Pemred Majalah DIA
— Majalah Dia Edisi 3/ Tahun XXIII/2009