Thomas N. Pattiradjawane:
Lupa

Si Jawir, lagi marah. Pasalnya, Coky, teman karibnya, lupa membawa buku yang dipinjamnya.
“Kamu gimana sih Cok? Saya khan lagi butuh sama itu buku … untuk nulis paper … ‘udah’ gitu, di buku itu banyak bon-bon bukti pengeluaran dana Panitia Natal … minggu ini saya harus bikin laporan keuangan.”
“Sorry deh Wir! Saya lupa …”
“Lupa melulu! Dulu, lupa bawa kunci sekretariat, sampe-sampe kita nggak jadi rapat. Minggu lalu, lupa jemput pembicara … bikin acara persekutuan jadi molor…”
“Tahu nih, akhir-akhir ini saya sering lupa”
“Umur baru dua puluh satu saja, sudah sering lupa…. hati-hati akh…”
“Kenapa memangnya, Wir?”
“Kalau kita sudah sering lupa… ya… nama orang, tempat, kejadian, atau… lupa dengan apa yang baru saja kamu katakan… eh… bisa jadi itu tanda-tanda awal penyakit alzheimer!”
“Apa Wir? Al Jerraeu?”
“Hush! Ngawur! Alzheimer!”
“Apa tuh?”
“Itu! Penyakit kepikunan.”
“Aduh… saya pikun? Jangan dong Wir…”
“Kenapa memangnya?”
“Iya… masa sih seumur begini sudah disamakan dengan kakek-kakek yang suka pikun…”
“Penyakit pikun atau keterlupaan itu bukan melulu orang tua, anak muda juga bisa kena.”
“Masa sih? Wir, sebenarnya penyakit alzheimer itu apa sih?”
“Apa ya? Setahu saya, emm… kalau salah dikoreksi saja… orang yang menderi alzheimer itu menunjukkan gejala gampang lupa, tapi sudah nggak normal lagi.”
“Lupanya itu sudah parah kali ya Wir?”
“Ya begitulah kira-kira… katanya sih alzheimer itu penyakit kepikunan atau demensia awal, yang sering dimulai dengan seringnya orang mengeluh gampang lupa…”
“Oh begicu…”
“Wir! Penyebab azlheimer itu apa sih?”
“Penyebabnya sih belum jelas. Tapi, katanya sih… karena kelainan otak”.
“Ya, otak memang lain Wir! Apalagi otak orang Indonesia, lain sama otak orang Amerika… otak kita khan jarang dipake.”
“Hush! Kamu ini menghina yang sudah terhina.”
Biarin!
“Kelainan otak maksudnya… di otak ini, ada gangguan… di jaringan otak dan kulit otak … kalau yang di jaringan itu nama penyakitnya stroke, nah….. yang dikulit otak itu disebut alzheimer.”
“Ooh…”
“Penyebabnya khan belum jelas Wir. Terus, kira-kira risiko kita kena alzheimer, atau apalah… yang kita pikun itu, ada nggak Wir?”
“Bisa karena umur, keturunan, cedera kepala yang sudah …
“Waduh…”
“Kenapa, Cok?”
“Baru saya ingat… saya pernah jatuh waktu kecil, jatuh dari pohon rambutan… waktu itu sih Cuma pusing-pusing saja…”
“Ada bintangnya nggak di kepala? Atau tanda-tanda baca… kayak di film kartun, Cok?”
“Hush! Ekh, Wir! Kalau ‘gitu penyakit alzheimer itu bisa kelihatan dong?”
“Maksud kamu bisa diamati atau dirasakan?”
“Iya.”
“Oo.. bisa Cok. Ya kalau orang sudah mulai sering lupa… ha kayak kamu tuh… terus kalau ngomong, artikulasi dan kelancarannya berkurang, sering mengulang, sulit mengerti, sulit mengikuti pembicaraan…”
Nggak nyambung ya Wir?”
“Iya. Terus… tahap berikutnya ngomongnya ‘udah nggak teratur, keterampilannya berkurang…”
“Maksudnya?”
“Ya… dia ‘udah nggak bisa pegang sesuatu, pake baju sendiri saja nggak bisa… terus… nggak kenal lingkungan, dan kepribadiannya berubah…”
“Maksudnya uang pribadi, mobil pribadi, cewek pribadi?”
“Tuh khan kamu becanda aja… kualat loh… pikun… baru tahu rasa…”
Deeh… jangan dong Wir…”
“Ekh, Wir! Kita kok jadi ngomongin beginian sih… menurut kamu, apa penyakit lupa-lupaan itu sudah jadi masalah di negara kita ini?”
“Ya sebenarnya sih belum… tapi kita khan perlu jaga-jaga… dan kebetulan kamu punya masalah… sering lupa.”
“Wir, orang yang kena penyakit keterlupaan itu bisa sembuh nggak? Dan sudah ada obatnya nggak sih?”
“Penyakit macam alzheimer itu nggak bisa disembuhkan, tapi cuma bisa diperhambat keparahannya… dan sudah ada beberapa obat yang bisa dipakai…”
“Bisa dibeli di apotik?”
“Enggak! Di toko bangunan!”
Deeh… balas dendam.”
“Ekh, Wir! Ngomong-ngomong jadi inget sesuatu nih…”
Apaan?”
“Untung saja Tuhan nggak pernah lupa sama kita…”
“Eh, bukan begitu ngomongnya…”
“Gimana dong?”
“Untung saja Tuhan nggak lupa menciptakan kita, gitu benernya.”
“iya yah… waktu Dia menciptakan langit, bulan dan bintang… untung saja Dia nggak lupa menciptakan manusia… Ya, kalau nggak kita nggak bakalan sampai ngobrol begini!”
“Yang saya tahu dan alami selama ini, Tuhan itu nggak pernah lupa, manusianya aja yang sering lupa sama Tuhan…”
“Eh, Wir ada nggak cara untuk ‘ngatasi penyakit kelupaan itu? Maksud saya yang murah meriah…”
“Ada yang bilang Cok, kalau nggak mau lupa, ya musti ingat LUPA!”
“Kok ‘gitu? Maksudnya apa tuh Wir?”
“LUPA itu singkatan dari Latihan, Ulangan, Perhatian, dan Asosiasi…”
“Wah, lebih nggak ngerti lagi maksudnya tuh?”
“Gini. Latihan misalnya. Kita harus melatih otak kita untuk mengingat, misalnya jalan-jalan ke tempat yang sudah sepuluh tahun tidak pernah kita lewati atau kunjungi…”
“Jadi kita dilatih, apa masih ingat dengan apa yang pernah terekam dalam benak kita, sepuluh tahun yang lalu? ‘Gitu Wir?”
“Persis!”
“Kalau ulangan, maksudnya?”
“Misalnya, kalau kenalan sama orang khan dia berjabat tangan terus menyebutkan namanya. Nah, setelah dia menyebutkan namanya, kamu sebut lagi namanya. Kita mengulang!”
“Nah, sekarang kalau perhatian?”
“Apa ya? Ha… kalau naik bis ke kampus, ya jangan tidur! Lihat kiri, kanan… apa yang sedang berlangsung?… Mungkin ada tabrakan, ada penumpang yang ngiler, atau ada demo…”
“Jadi kita nggak kuper ya Wir? Emm… kalau asosiasi?”
“Waktu tadi kamu salaman dengan orang itu, misalnya dia sebutkan namanya Erna, ya langsung kamu tautkan dalam ingatan kamu pada Erna Witular atau Joice Erna! Atau dia sebut namanya Polo, ya kamu bayangin aja permen Polo atau olah raga polo air!”
“Jadi, Wir… supaya kita jangan pernah lupa dan selalu inget sama Tuhan, ingat saja LUPA! Bener nggak?”
“Bener! Jadi, latih terus otak kita untuk mengingat kejadian-kejadian di mana Tuhan sudah memimpin… ulang terus perkataan-Nya dan sebut nama-Nya.”
“Itu berarti kita harus hafal beberapa ayat Firman Tuhan dan menyebut nama-Nya dalam doa, ya?”
Nggak salah!”
“Kalau perhatian, kongkritnya, mungkin kita harus lebih peka terhadap masalah di sekitar kita… apalagi dengan kejadian dua tahun belakangan di tanah ari.”
Heee… segala yang terjadi ini harus dilihat bukan karena Tuhan lupa dan tidak ada…. tapi dengan masalah-masalah yang kita hadapi, menyadarkan kita bahwa manusia itu nggak mampu, kita harus mengakui bahwa Allah saja yang bisa melepaskan kita keluar dari krisis ini…”
“Sama kayak orang Israel keluar dari Mesir atau bebas dari babel.”
“Ekh, kita ini sudah kayak teolog saja. Tapi bener ya, kalau kita ingat Tuhan dan ingat LUPA semuanya bakal enak, hidup ini bakal lebih indah, apalagi mau masuk milenium ketiga…”
“Bener itu. Tapi, apalah artinya milenium ketiga atau milenium baru kalau masih ada kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, ada kelompok yang mau menang sendiri, masih ada konflik antar etnis…”
“Kapan barunya ya………………?”

 

 

——– Dituliskan oleh Thomas N. Pattiradjawane
——– Diterbitkan pada edisi No.6 November-Desember 2000, Memasuki abad 21

 

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *