Thomas Nelson P:
Hujan di Malam Minggu

Hujan turun. Malam Minggu. Padahal aku ingin sekali jalan-jalan atau datang ke acara ulang tahun Yenni, salah satu sobatku.

Tiba-tiba telepon berdering. Dari sana terdengar:

“Selamat malam. Bisa bicara dengan Tommy?”

“Saya sendiri,” sahutku.

Tom! Aku nih, Nita!” jawab suara dari sana.

Akh, rupanya si Nita. Temanku di PMK dulu. Nah! Kebetulan, pikirku, bisa menghilangkan rasa sepi.

“Ekh, tumben kamu telepon. Malam Minggu begini nggak’diapelin’ tuh” kataku.

“Jangan ngomong yang gituan deh sekarang! Tom, datang sini dong. Aku ingin bicara!” sahut si Nita.

“Koq aku sih yang ditelepon?” selidikku

“Ya, habis siapa dong?”

“Gini aja, gimana kalau kita ketemu di ultah Yenni?”

“Malas ah. Nanti ketemu orang-orang, aku ditanyain: “Ekh, mana gandengannya? Koq, sendirian? Kapan nih undangannya? Dan pertanyaan klasik lainnya. Pokoknya aku mau kamu ke sini, sekarang!” nada suara Nita merengek.

“Jadi gitu? Kalau sudah sampai putus, baru cari teman-teman dekat untuk berbagi duka. Minta ketemu aja, pakai ngadat; Ok deh!, kataku akhirnya.

Setengah jam kemudian aku sudah sampai di rumah Nita.

Temanku yang satu ini memang agak unik. Usianya kini 29 tahun. Setelah jadi sarjana dia mengikuti Program Studi Magister Manajemen. Kedua-duanya lulus dengan nilai rata-rata diatas 3. Dan kini, Nita sudah dua tahun menjabat finance manager sebuah perusahan swasta. Berkali-kali ia diisyukan akan kawin, tetapi selalu tidak jadi. Orang tuanya sudah hampir putus asa, mereka takut ia jadi perawan tua. Berbagai analisa dikemukakan oleh teman-teman, setiap kali ia menolak kawin atau putus pacar. Mungkin karena pongah dengan karirnya kemandiriannya, kepintarannya, dan entah apa lagi …

“Nita, sudah berapa kali kamu putus?” tanyaku lembut.

“Tujuh kali!”

“Hah!? Wah.., tujuh itu angka, “keramat” dalam Alkitab. Berarti sudah 7 lelaki yang jadi korban” kataku.

“Korban? Terserahlah, kalau itu kamu sebut korban”

“Emang kenapa sih selalu putus?”

“Calon pertama misalnya Dia itu sarjana teologia. Pendeta. Dia pintar. mendapatkan dan membuat dalil-dalil. Tapi dengan dalilnya itu ia berdalih. Dia bilang isteri itu harus tunduk kepada suami. Segala urusan yang namanya cari uang itu urusan suami. Isteri diam saja di rumah, urus rumah tangga. Aku pikir nggak benar. Wajar dong, kalau seorang wanita istri yang sebelumnya sekolah untuk mempraktekkan ilmunya dalam rangka mengembangkan talenta yang Allhr berikan, dengan tidak melupakan keluarganya.

Dia itu sebenarnya berdalih. Takut kalau isteri melebihi suami. Mending kalau dia jadi pendeta atau hamba Tuhan yang punya jam terbang pelayanan baik. Aku bisa melepaskan segala atributku. Tapi kalau penghasilannya pas-pasan? Iman sih iman. Lagi pula kalau malah membuat jemaat atau umat ngantuk dengan kotbah-kotbahnya apa lacur?”

“Hmm… apa benar begrtu. Tapi koq socepat itu kamu memvonis

“Ya, aku nggak mau ambil risiko. Jangan sampai aktr terlalu lanrt dengan yang namanya cinta, bisa berabe. Setelatr putus dengan yang pertama. Aku ketemu dengan cowok keren. Macho punya. Lulusan Amrik lagi! Tapi tahu ngga, Tom? Ternyata kartu mati alias ngenes”

“Apa lagi tuh?”

“Semua kekurangan fisikku dibaca satu persatu oleh doi. Dadaku yang rata, lah. Leherku dianggap kurang panjang. Mataku baginya biasa-biasa saja. Malatran dia pemah bertanya, apakah ada “vlek” hitam di sekitar anggota tubuhku yang tidak kelihatan?”

“Masa sih, ada orang kayak gitu. Bukankah soal badan dan penampilan hanya soal “kulit” belaka. Yang lebih utama adalah isi di balik “kulit” itu.

“itu kata kamu. Tapi kenyataannya ada cowok yang menuntut itu’ bentakNita.

“Lho! Jangan ngotot gitu dong, Nita. Koq aku yang kena semprot?”

“Bodo amat akh! Abis aku sebel. Ekh, Tom,pernah aku pacaran dengan seorang pencemburu berat”

“Loh!? Itu khan bagus, berarti hanya kamu satu-satunya miliknya”

“Apa?!.. Cemburu sih boleh aja, tapi kalau sudah over, gawat. Dia pikir pacar itu sebagai milik pribadi. Ia menjadi korban perasaannya sendiri. Akibatnya ia tidak rasional. Setiap kali aku berdandan agak lain, dikiranya aku ingin mempertontonkan kecantikanku pada pria lain. Kalau aku tidak ada di tempat saat ia menelepon, pikirnya aku pergi dengan lelaki lain. Pokoknya setiap tanda dilihatnya sebagai petunjuk bahwa aku tidak konsisten mencintainya Gawat khan kayak gitu Tom!

“Ngomong-ngomong, kalau boleh aku tahu pria yang macam mana yang kamu inginkan?”

“Pokoknya dia bertanggung jawab, jujur, pemerhati,dan nggak terlalu banyak menuntutlah”

“Wah, berat juga syaratnya”

“Ekh, dan pasti kamu tahu Tom. Cowok Batak idola PMK dulu si Hasangapon Similikiti. Aku juga nyaris kawin denganya”

“Terus, emangnya kenapa lagi dengan si Hasanggpon itu?”

“Antara kita berdua sih nggak ada masalah. Kita sama-sama dewasa dan saling menerima dan bisa bertumbuh bersama-sama. Pokoknya dia tipe pria pilihanku. Tapi orang tua dan saudara-saudaranya yang menurutku rada aneh. Mereka tidak menghendaki calon istri dari suku Iain, harus Batak!”

“Akh, masa sih Nita Di zaman Siti Hardiyanti Rukmana ini masih ada yang menghendaki dominasi suku segala”

“Ya nggak tahu deh, kenyataannya ya masih ada. Untung saja kagak jadi. Kalau jadi toh, setiap saat aku harus siap dengan pesta dan acara adat. Setiap bulan, agendaku menghadiri kawinan anak si A, tunangan anaknya paman B, acara masuk rumah baru lah dan banyak lagi. Wah, pokoke banyak waktu yang aku pikir terbuang percuma hanya untuk memelihara kekerabatan. Mungkin bagi mere- ka aku kurang adat, terserahlah yauuuuwwww!”

“Nah, terus yang paling aktual alias yang ketujuh gimana?”

“Ini lain lagi, Tom. Dia itu bekas kakak kelas kita dulu. Rupanya diam-diam dia mengikuti perkembanganku. Dia sekarang mpnjadi orang pertama sebuah biro iklan beken di Jakarta. Dan karena usianya diatas 30, dia lagi ngebet untuk mendapatkan calon”

“Nah, kenapa lagi gagal? Harusnya kau selalu belajar dari sebuah kegagalan”

“Aku selalu belajar dari kegagalan kok. Mungkin aku ibarat PSSI yang selalu gagal. Alasannya dewi fortuna belum memihak”

“Dia bilang, aku bukan orang pertama yang dipacarinya”

“Wah, jujur dong orangnya”

“Di malam Minggu ketiga masa pacaran,ketika diskusi sampai soal isteri harus berkarier, dia bilang wanita karier sering mengabaikan masalah. rumah tangga. Kalau anak-anak terbengkalai, ibulah penyebabnya.

Enak aja dia bilang begitu. Aku pikir kalau wanita berperan ganda (karier dan rumah tangga) harus disertai peran ganda pria. Gimana menurut kamu, Tom?”

“Memang sih kalau keluarga mau konsisten, harus didukung kedua pihak. Peran ganda pria harus dipopulerkan, karena mengandalkan pembantu rumah tangga yang berkualitas untuk menggantikan peran orang tua bagi anak,makin sulit. Apalagi hidup di kota besar, masalah ekonomi tidak bisa dilepaskan. Mau nggak mau istri hartis mengaktualisasikan dirinya alias bekerja. Otomatis pria atau suami harus merelakan isterinya bekerja dan memikul beban tanggungj awab pembinaan anak”

“Nah, masalahnya nggak banyak pria atau suami yang pola pikirnya seperti kamu, Tom”

“Ya sudah, pacaran sama aku saja!”

” Enak aj a, enggaklahyauuuwwwww”

“sebenarnya aku sudah malas pacaran, kadang-kadang aku berfikir mungkin aku dikaruniakan untuk tidak menikah.”

“Kamu jangan cepat ambilkonklusi. Di Alkitab memang ada orang yang menikah. Ada orang yang memang tidak menikah. Ada juga orang yang tidak bisa menikah karena dibuat oleh orang lain. Dan ada juga orang yang tidak menikah karena kemauan sendiri untuk mengabdi kepada Allah; ini untuk orang-orang khusus. Kalau memang karuniamu untuk tidak menikah, pasti kamu melihatnya secara jelas. Firman Tuhan akan berbicara kepada kamu dengan jelas. Tapi aku pikir-pikir kamu dalam posisi bimbang, uji saja terus dan feelingku mengatakan pasti Tuhan memberikan yang terbaik.

“Tapi Tom, kadang-kadang rasa ingin menikah itu ada. Sebagai wanita, aku nggak bisa melepaskan diri dari naluri dasar manusiawi. Terutama keinginan memiliki anak. Mempunyai tempat untuk mencurahkan kasih sayang dan aktualisasi sifat-sifat keibuan atau sifat sebagai orangtua. Serta kebutuhan akan teman yang bisa dipercaya dan memberikan kepercayaan. Tapi apakah seorang wanita akan berubah citra bila dia tidak menikah atau tidak menjadi seorang ibu?”

“Hmm…aku lagi pikir Nita, khususnya akhirakhir ini soal sosok ibu. Makna ibu lambat laun berubah. Tidak bisa didefinisikan sebagai seorang wanita atau wanita yang bersuami dan berkeluarga. Makna ibu lebih dikaitkan dengan sifat keibuan dan keluarga. Sosok yang bisa memberikan kasih sayang dan perlindungann pada seorang anak. Makna ibu berhubungandengan sifat-sifat keibuaan, bukan lagi faktor kelembagaan keluarga”

“Dengan demikian, seorang ibu bisa jadi seorang wanita yang tidak bersuami?”

“Persis. Ibu adalah seorang manusia yang mampu memberikan perlindungan, kasih sayang, dan perhatian kepada seorang anak. Kepada siapa saja ia bisa memberikan kasih sayang. Bukankah dunia ini amat membutuhkan kasih?”

“Hmm..iya..yaa.. kenapa kita selalu meributkan soal pernikahan. Kalau nggak menikah buru-buru kayaknya dosa besar. Ekh, sudah jam setengah sebelas! Nggak kerasa ya, kita sudah ngobrol tiga jam. Entar ibukku ngamuk. Sudah bukan calon mantu, berani-beraninya dua-duaan malam-malam begini, ngobrolnya hot lagi”

“lya deh, aku pamit dulu. Aku berdoa semoga Tuhan mempertemukan kamu dengan laki-laki yang Ia pilih buat kamu, Nita”

* Dituliskan oleh Thomas Nelson, Staf LINK,Pamulang, April 1994 

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *