Nani K. Priyono:
Operasi Selaput Dara, Perlukah?

Di Kabupaten Banyumas, rencana perkawinain dua insan yang mengaku saling mencinta, gagal karena calon pengantin puteri mengaku bahwa ia tidak perawan lagi. Kejujuran memang tidak selalu membawa keberuntungan. Meskipun undangan sudah disebar, kegagalan itu tidak bisa dihentikan. Para tamu undangan banyak yang merasa kecewa dengan pengumuman itu dan menjadi jengkel dengan ulah calon pengantin puteri. Itulah salah satu kisah sedih yang tidak jarang terjadi, soal keperawanan seorang gadis.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perawan adalah :”…..perempuan yang belum pernah bersetubuh dengan laki-laki, masih murni…..” Menjaga keutuhan selaput dara seorang gadis sampai saat pemikahannya dianggap penting sekali karen hal ini dikaitkan dengan kesuciannya, meskipun hal ini kadang merugikan pihak si gadis karena di antara mereka ada yang mempunyai selaput dara yang elastis.

Meskipun kini zaman sudah semakin maju dan memberi pengaruh pada kehidupan bebas dalam seks yang lebih dikenal dengan istilah free sex, “semua pria berdasarkan pengamatan menginginkan calon istrinya masih perawan” dan “sebetulnya kaum wanita semuanya berpendapat bahwa keperawanan adalah tanda kesucian harga diri, mahkota dan simbol cinta”. Jadi, keutuhan selaput dara harus dijaga oleh wanita khususnya dan pria mengaminkannya.

Ada akibat-akibat psikologis yang muncul dalam jiwa seorang pelaku free sex, terutama wanita. Dia akan “merasa kecewa, rasa terluka di dalam hatinya, malu dan tertipu, rasa bersalah” Bagi korban perkosaan akan ada rasa: rendah diri, dendam terhadap pria, dingin terhadap seks dan sebagainya. Perasaan-perasaan itu sering membuatnya takut menghadapi perkawinan. Hal ini akan menjadi beban yang terus menghantui di dalam hidupnya. Dunia terasa runtuh bila keperawanan hilang sia-sia.

Itu sebabnya ketika teknologi kedokteran sudah berhasil mengembalikan selaput dara yang robek melalui operasi, banyak wanita yang menyambut hangat dan angkat topi atas kemajuan teknologi itu. Bahkan banyak pihak yang menganggap bahwa operasi selaput dara dianggap sebagai jalan keluar atas beban penderitaan yang menghantui wanita. Dengan melakukan operasi selaput dara beban penderitaan bisa diatasi dan menjadi semakin percaya diri karena merasa kembali menjadi suci.

Perlukah seorang gadis kristiani melakukan operasi selaput dara? Itu kan sangat baik demi masa depan yang kembali cerah bagi seorang gadis yang mempunyai selaput dara bermasalah?

Hal pertama yang harus disadari sebelum menjawab pertanyaan tersebut adalah, anugerah Allah di dalam Yesus Kristus sangat besar (Yohanes 3:16). Bagaimanapun jahat dan kotornya manusia dosa yang merah seperti kirmisi dan kesumba Dia jadikan putih seperti bulu domba (Yesaya 1:18). Dia sucikan dengan darah-Nya yang kudus, sehingga manusia layak dihadapan-Nya. Bagi seorang gadis yang bermasa lalu kotor, selaput daranya tidak utuh,masih berhak merasakan kasih Allah tersebut. Bukan keadaan jasmani yang benih, tapi tanggapan terhadap penggilan-Nya (Gal. 1 : 15), perstobatan (2 Tim. 2:25) dan iman kepada-Nya (Ef. 2:8,9). Sesudah itu ada tanggungiawab yang harus dilakukan yaitu ketaatan (Rom,6:17) yang tidak lain adalah sikap moral di dalam hidupnya.

Dikaitkan dengan perkawinan (ini yang sering menakutkan), hal kedua yang perlu disadari adalah kualitas kasih yang tulus dari kedua belah pihak pria maupun wanita. Inilah dasar pernikahan Kristiani. Kasih yang tulus akan menerima apa adanya dari obyek yang dikasihi, seperti kasih Allah kepada orang berdosa. Dengan kasih Allah yang tulus, kemudian membangun keluarga baik dalam suka maupun duka sampai kematian memisahkan. Memang ada ganjalan-ganjalan, tetapi dengan kematangan pribadi dan kedewasaan rohani dalam kasih yang tulus serta pertolongan Roh Kudus, ganjalan itu bisa diatasi.

Jadi dengan melihat dua hal tersebut di atas: anugerah Allah yang besar dan kualitas kasih dalam perkawinan kristiani, maka operasi selaput dara bagi seorang gadis kristiani adalah TIDAK PERLU.**

*Dituliskan oleh Nani K. Priyono Alumnus STII tahun 1977, sekarang menjabat Karo. Perpustakaan STII.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *