Pdt. Rebecca Young, Ph.D:
Kita Seharusnya tidak Membuat Pembedaan

Ketika saya masih kecil, kedua orang tua saya adalah pendeta di gereja Presbyterian, AS. Ayah saya, Pdt. Philip Young, yang bekerja sebagai seorang pendeta kemudian ketua sinode selama sembilan belas tahun, sangat mendukung perempuan dan pentingnya peran perempuan dalam masyarakat dan gereja. Beliau sering mengatakan bahwa kami tidak harus berpikir tentang Allah sebagai seorang manusia yang mempunyai gender atau memihak kepada satu gender tertentu. Dia mengajarkan kami bahwa Tuhan mengasihi laki-laki dan perempuan dengan kasih sayang yang sama.

Dalam bahasa Indonesia, tidak ada perbedaan antara kata “dia” berdasarkan gender. Dalam bahasa Inggris, perbedaan itu ada, dan laki-laki harus disebut “he” sementara perempuan disebut “she”. Kemudian dalam agama Kristen, Tuhan hampir selalu disebut sebagai “He” tetapi tidak pernah “She”. Ayah saya tidak suka dengan apa yang tersirat dari kebiasaan itu, yaitu kesan bahwa Allah adalah seorang laki-laki, dan oleh karenanya membuat orang berkesimpulan bahwa laki-laki lebih mirip dengan Allah daripada perempuan, juga bahwa laki-laki lebih baik (lebih “suci”) daripada perempuan.

Ayah juga mengingatkan kami untuk tidak berbicara tentang perempuan dengan memakai kata “girl” (gadis) setelah perempuan itu dewasa, karena sebutan gadis adalah cara untuk mengatakan bahwa mereka kurang dewasa. Waktu itu, laki-laki dewasa tidak akan dipanggil dengan sebutan “boy” (anak laki-laki), tetapi banyak orang memanggil perempuan dewasa dengan sebutan “girl”. Ayah saya tidak membiarkan kami untuk melakukan kesalahan itu, karena ia ingin menghormati para perempuan, bukan meremehkan mereka waktu sudah dewasa.

Banyak orang terkejut mendengar bahwa ayah, bukan ibu, yang mengajarkan kami untuk prihatin terhadap penindasan yang dihadapi oleh para perempuan. Jika kita melihat masyarakat di sekitar kita, mulai dengan anak-anak, kita melihat bahwa gadis-gadis muda sering sibuk dengan pekerjaan rumah tangga atau harus menggendong adiknya, sementara anak laki-laki sedang bermain dan berlari-lari, bebas untuk melakukan apapun yang diinginkan.

Kemudian ketika kehidupan dewasa mereka, perempuan yang memiliki karir dan bekerja di kantor di luar rumah juga masih harus mengurus pekerjaan rumah tangga dan anak-anak di dalam rumahnya. Hal ini terjadi baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia. Penelitian telah menunjukkan bahwa perempuan yang memiliki karir dan keluarga akan bekerja rata-rata 80 jam seminggu: 40 jam untuk pekerjaannya, kemudian 40 jam di rumah untuk keluarganya. Sementara itu, seorang laki-laki dengan pekerjaan bekerja 40 jam di kantor kemudian pulang dan dilayani oleh istrinya dan anak perempuannya.

Ada banyak salah pengertian tentang kata “feminis”. Terlalu sering dipikirkan bahwa kata itu berarti para perempuan ingin mengambil kekuasaan dari laki-laki, tapi itu tidak benar. Faktanya adalah bahwa laki-laki masih memiliki posisi yang lebih tinggi dalam hidup daripada perempuan. Laki-laki memiliki posisi yang lebih tinggi dalam pemerintah dan dalam bisnis, dan mereka dibayar gaji yang lebih tinggi daripada perempuan untuk pekerjaan yang sama. Sebagai contoh, di Indonesia, jika seorang laki-laki dan seorang perempuan mempunyai pekerjaan yang sama dan memiliki tingkat pendidikan dan latar belakang profesional yang persis sama, perempuan akan ditawarkan gaji yang 37% lebih kecil dari jumlah yang ditawarkan kepada laki-laki jika mereka tinggal di sebuah kota, dan 43% lebih sedikit jika mereka tinggal di daerah pedesaan.

Jika seorang pria mendapat pekerjaan di suatu bank dengan gaji sebesar tiga juta rupiah per bulan, seorang wanita yang ditawarkan pekerjaan yang sama untuk jam yang sama dan dengan pengalaman yang sama hanya akan mendapat gaji sebesar Rp 1,8 juta. Jika seorang pria bekerja pada sebuah perkebunan, dia akan ditawari upah sebesar satu juta rupiah per bulan, tetapi seorang wanita untuk pekerjaan yang sama hanya akan mendapatkan upah sebesar Rp 570.000 per bulan. Tidak ada alasan untuk perbedaan kecuali gender mereka.

Dalam Matius 22:37-39, Yesus Kristus mengatakan bahwa dua perintah yang paling penting adalah: “Kasihilah Tuhan dengan segenap hati, akal budi dan jiwa, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Semua orang dari segala usia dan jenis kelamin mampu memenuhi dua perintah kasih ini. Tuhan meminta semua orang, baik pria maupun wanita, kaum muda dan orang tua, orang-orang kaya dan orang miskin, untuk mengasihi Allah dan sesama mereka. Perintah Ilahi ini tidak tergantung pada gender seseorang.

Oleh karena itu, kita sebagai manusia harus melihat orang-orang dengan cara yang sama. Kita seharusnya tidak membuat pembedaan antara pria dan wanita, oleh karena di mata Tuhan, kita semua sama-sama pentingnya dan dikasihi sebagai anak-Nya Allah sendiri.

 

——-

*Penulis adalah Pdt. Rebecca Young, Ph.D , Dosen Teologi STT Jakarta, 

**Diterbitkan dalam majalah Dia edisi I tahun 2013

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *