Seorang pemilik akun media sosial mengunggah video sekelompok orang yang sedang melakukan “flash mob” (pertunjukan di depan umum yang biasanya berupa gerak dan lagu, dimana pada awalnya para penampil seolah-olah tidak mengenal satu sama lain) dengan menambahkan keterangan bahwa para penampil flash mob tersebut adalah para atlet Asian Games dari mancanegara yang hendak pulang ke negerinya masing-masing, lengkap dengan hari, tanggal, dan tempat. Tak butuh waktu lama, unggahan itu pun menjadi “viral”, dibagikan oleh lebih dari 7.000 akun, dan besar pula kemungkinan tersebar ke kanal-kanal (baca: merek) media sosial yang lain.
Akan tetapi, rupanya ada masalah dengan konten yang viral tersebut. Beberapa akun memberikan tanggapan dan klarifikasi, bahwa itu bukanlah yang sebenarnya terjadi. Pertama, para penampil bukanlah atlet Asian Games, melainkan para penari lokal. Permasalahan berikutnya: hari, tanggal, maupun lokasi sebenarnya tidak sama dengan keterangan video di dalam unggahan tersebut. Pendek kata: videonya aktual, namun keterangannya tidak.
Kebenaran bukan lagi menjadi rujukan, melainkan sekadar salah satu pilihan untuk memenuhkan pencarian atas kebahagiaan.
Oleh karenanya, ketika ada akun-akun yang berusaha untuk memberikan klarifikasi atau mempertanyakan kebenaran dari keterangan konten video flash mob tersebut, ada akun-akun lain yang merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang berlebihan dan tidak perlu dilakukan. Akun-akun yang mau mengklarifikasi pun dituding sebagai bagian dari oposisi yang hendak mendiskreditkan pemerintah (baca: Jokowi), atau akun yang “susah bahagia”. Dan, tentu saja, unggahan yang kontroversial tersebut didiamkan saja oleh pemilik akun, tanpa klarifikasi di bawahnya, apalagi dihapus.
Dalam era pascakebenaran, pada akhirnya memang apa yang aktual dipandang tak lebih bernilai daripada apa yang viral.
Kebenaran pun akhirnya menjadi bulan-bulanan massa di media sosial. Tidak penting lagi siapa yang benar dan siapa yang salah, karena memang hampir tak ada waktu untuk menimbang dan memikirkan ulang. Anggapannya, siapa, kapan, dan di mana video yang viral diambil bukan perkara krusial. Mungkin karena tak ada yang dirugikan secara langsung—selain ribuan warganet yang besar kemungkinannya tidak penasaran dan mencari tahu lebih lanjut mengenai video itu. Apalagi, itu cuma satu konten dari ribuan konten viral lainnya, bukan?
Ignorance is bliss, demikian ungkapan terkenal yang sekaligus paling banyak, ironisnya, disalah pahami dari penyair Inggris, Thomas Gray (1716-17710. Lengkapnya, ia menuliskan, “where ignorance is bliss, ‘tis folly to be wise.” Thomas merefleksikan masa-masa dimana ia menjadi seorang yang sembrono dan tidak mengabaikan sekitar, yakni masa mudanya, dan bukan menganjurkan sikap masa bodoh. Tragisnya, itulah yang terjadi di media sosial hari-hari ini. Di sana, orang-orang lebih banyak mencari hiburan dan kesenangan daripada hikmat dan kebenaran. Karena kebenaran itu sering kali terasa pahit dan tidak banyak yang siap mencernanya, maka ia pun hanya dipandang sambil lalu.
Alhasil, “keviralan” pun menjadi tren, meninggalkan kebenaran di sudut gelap pencarian manusia akan ilusi kebahagiaan. Sikap masa bodoh menjadi panglima. Persis sama dengan sikap Pilatus tatkala mengajukan pertanyaan sinis, “Apakah kebenaran itu?” di hadapan Sang Kebenaran. Dan, implikasinya, enggan menghapus atau membetulkan tulisan yang diklarifikasi orang-orang: “Apa yang kutulis, tetap tertulis.”
Oleh karena itu, barangkali seruan klasik tentang mengatakan kebenaran perlu sedikit dimodifikasi: “katakanlah kebenaran, meskipun pahit tidak viral!”
Satu pemikiran di “Keviralan, Tren Era Pascakebenaran”