Bijak Bermedia Sosial:
“Impulse Posting”

Pernahkah anda membeli barang atau jasa tertentu nyaris tanpa pertimbangan, yang setelah beberapa waktu kemudian, ada perasaan menyesal telah membelinya, atau membelinya terlalu cepat karena ada toko lain yang menawarkan produk serupa, namun dengan harga yang jauh lebih murah? Atau, pernahkah anda membeli produk barang atau jasa tertentu karena tergiur dengan potongan harga yang sangat besar? Pernahkah pula anda membeli sebuah produk barang atau jasa tertentu karena orang-orang terdekat anda atau pesohor idola anda juga membelinya? Aktivitas pembelian yang cenderung tak direncanakan sebelumnya ini biasanya disebut sebagai “impulse buying” atau “impulse purchase”.[1]

Berbagai penelitian tentang impulse buying telah dilakukan sejak tahun 1940an hingga saat ini, dimana “belanja kilat” dapat, bahkan seringkali dilakukan secara daring. Sebuah penelitian pada tahun 2018 mengungkapkan, bahwa Facebook dan Instagram merupakan media sosial yang paling mendorong penggunanya untuk melakukan impulse buying karena tampilan visualnya yang menawan, berbeda dengan Twitter yang “kurang menjual” karena meski memiliki fitur foto, pada dasarnya merupakan media sosial berbasis teks (Laura & Carlos, 2018).

Impulse posting, penyubur hoaks dan kebencian

Apabila dalam hal belanja dikenal istilah impulse buying, maka dalam hal penggunaan media sosial, dikenal pula istilah “impulse posting”, yakni mengunggah konten di media sosial tanpa berpikir panjang akan implikasinya ke depan. Impulse posting bisa berupa komentar yang mengungkapkan persetujuan atau penolakan atas konten yang dikomentari, maupun pengunggahan konten yang terburu-buru dilakukan demi mendapatkan feedback dari warganet. Hal ini biasanya terjadi akibat dorongan untuk menjadi viral di media sosial lebih besar daripada dorongan untuk mencari tahu kebenaran dari konten yang dikomentari atau diunggah sendiri.

Impulse posting sangat berpotensi melanggengkan hoaks, karena sifatnya emosional dan tidak berdasarkan fakta. Dalam contoh yang disampaikan dalam artikel berjudul “Keviralan, Tren Era Pascakebenaran”[2] misalnya, klarifikasi mengenai video flash mob yang diberi narasi kebangsaan datang belakangan, ketika warganet sudah terlanjur menyebarkannya ke kanal-kanal media sosial masing-masing, dan mungkin tak berkesempatan membaca klarifikasinya. Alhasil, konten dan narasi hoaks itulah yang akan terus diam di kepala warganet sebagai sebuah fakta atau kebenaran. Dan yang memprihatinkan, fenomena impulse posting tidak berkurang, bahkan makin marak di media sosial saat ini.

Menurut SAFEnet sebagaimana dikutip oleh Tirto.id, sepanjang tahun 2019 saja terdapat 3.100 kasus hukum terkait UU ITE, belum termasuk yang tidak dilaporkan. Dari 3.100 kasus tersebut, sebanyak 22 persen adalah terkait hoaks, dan 22 persen lainnya terkait pencemaran nama baik.[3] Sebagian pelaku impulse posting yang pada akhirnya harus berhadapan dengan hukum mengaku, bahwa mereka mengunggah hoaks, ujaran kebencian, atau fitnah karena terbawa emosi dan tidak memikirkan konsekuensi hukum atas unggahan mereka. Salah satu kasusnya, para penghina Basuki Tjahaja Purnama dan keluarganya, yang mengaku khilaf karena emosi.[4]

Menghindari impulse posting

Oleh karenanya, adalah penting untuk membangun kebiasaan “saring sebelum sharing” dan “pause before posting”dalam bermedia sosial. Selain itu, sikap skeptis dan keingintahuan tak boleh ditinggal. Kita perlu mencari tahu terlebih dahulu kebenaran dari sebuah konten yang sedang atau berpotensi viral karena kontroversial, entah melalui mesin pencari, maupun menyimak tanggapan-tanggapan yang sudah ada sebelumnya. Dengan cara demikian, kita maupun teman-teman kita dapat terhindar dari impulse posting yang berpotensi mengandung hoaks.

Impulse posting tampaknya juga didorong oleh gejala kecanduan bermedia sosial berupa fear of missing out (FOMO), atau rasa takut ketinggalan tren/informasi terbaru. Kesadaran, kesabaran, dan pengendalian diri merupakan kunci agar kita tidak mudah “terombang-ambing” oleh berbagai konten yang belum tentu terbukti kebenarannya.[5] Seseorang dengan kesadaran, kesabaran, serta pengendalian diri akan dapat memilih dan memilih, mana saja konten yang penting untuk dikomentari atau dibagikan. Penulis Injil Markus menceritakan bagaimana Yesus dapat menahan diri untuk tidak mengikuti dorongan massa yang menginginkanNya untuk kembali ke rumah ibu mertua Petrus dan melanjutkan mengobati orang banyak, dan memilih untuk pergi berkeliling ke kota-kota Galilea dan memberitakan injil di sana.[6] Ia menjaga spiritualitas dalam momen-momen hening bersama Bapa (1:35).

Salah satu hal yang memudar dalam era informasi barangkali adalah keheningan. Linimasa media sosial selalu penuh dengan hal-hal yang terlalu menarik untuk dilewatkan. Mulut mungkin tertutup, namun pikiran senantiasa ramai dengan informasi dan opini baru yang rasanya harus dikomentari atau dibagikan saat ini juga. Pikiran kita tak pernah benar-benar hening. Padahal, keheningan itulah yang paling dibutuhkan dalam zaman media sosial yang berisik ini. Dalam momen-momen hening, kita dapat melihat situasi lebih jernih dan menentukan mana yang benar-benar penting, yang pada akhirnya dapat menghindarkan kita dari impulse posting beserta segala konsekuensi yang menyertainya.

Penutup

Seorang bijak hampir tiga ribu tahun yang lalu menuliskan sebuah prinsip yang sangat berguna bagi masyarakat era informasi saat ini:

Tidak cepat marah lebih baik daripada mempunyai kuasa; menguasai diri lebih baik daripada menaklukkan kota. (Amsal 16:32, BIS)

Bukan hanya unggahan berupa opini, unggahan berita di zaman ini pun “over dosis” bumbu-bumbu emosi. Warganet yang beralih dari menyaksikan sinetron ke menyimak drama linimasa juga kebanyakan lebih bereaksi terhadap unggahan-unggahan yang memancing emosi. Tak jarang, warganet “kegocek” massal, alias sudah terlanjur memberikan tanggapan emosional atas sebuah konten, yang beberapa waktu kemudian terbukti hoaks atau pelintiran dari fakta sebenarnya. Inilah yang mendasari pentingnya menjaga emosi dan menguasai diri, termasuk jari-jemari, untuk tidak lekas-lekas mengunggah atau menanggapi konten di linimasa. Dengan demikian, kita dapat terhindar dari jebakan impulse posting.


Referensi:

[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Impulse_purchase

[2] https://majalahdia.net/dari-redaksi/keviralan-tren-era-pascakebenaran/

[3] https://tirto.id/banjir-kasus-pasal-karet-uu-ite-sepanjang-2019-eo4V

[4] https://www.suara.com/news/2020/07/30/210630/ngaku-emosi-dan-khilaf-penghina-ahok-minta-maaf

[5] Silakan membaca https://majalahdia.net/dari-redaksi/infodemi-wabah-era-informasi/ dan https://majalahdia.net/dari-redaksi/latah-bermedia-sosial/ untuk penjelasannya.

[6] https://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=markus%201:29-39&mode=text

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *