Saya baru menyadari sekarang bahwa hidup saya bukan hanya untuk suami atau anak-anak saya. Hidup saya sebenarnya adalah untuk semua orang. Tapi, kenapa setelah pensiun saya baru menyadarinya? Kenapa tidak dari dulu ketika saya masih sehat, kuat, dan mapan? Ya, kenapa? Barangkali karena dulu saya merasa nyaman, aman, dan segalanya ada. Saya ingin menikmati hidup dan merasa percaya diri. Saya tidak ingin diganggu! Dan ternyata itu semua bukanlah yang Tuhan kehendaki dalam hidup saya. Tapi, tidak ada yang terlambat bukan? Ya, tidak ada kata terlambat!”
Tulisan di atas adalah sebuah status yang ditulis rekan saya di dinding Facebooknya. Kisah ibu rumah tangga yang sudah pensiun dan baru menyadari bahwa ia dipanggil untuk berbuat bagi sesama. Kaum wanita atau perempuan, siapapun dan bagaimanapun posisinya, punya peran yang penting dalam lingkungan sosialnya. Entah itu di keluarga, gereja, kelompok/komunitas, masyarakat, bangsa, bahkan dunia. Mengapa?
Pertama, sebagai insan yang diciptakan segambar dengan Allah, perempuan—bersama dengan laki-laki—diberikan mandat oleh Allah untuk mengusahakan bumi dan mengelolanya (Kej. 1:28).
Kedua, perempuan adalah mahluk sosial. Mahluk yang memiliki hasrat dan kerinduan untuk berelasi dengan sesama dan lingkungan sosialnya. Ini sekaligus menegaskan bahwa manusia sebagai individu tidak dapat dilepaskan dari realitas sosialnya. Realitas sosial di sini bermakna luas; menyangkut keterlibatan mereka dalam sistem politik, hukum, budaya dan pranata sosial, adat-istiadat, dan sebagainya.
Ketiga, hak dan kedudukan perempuan sebagai warga negara dijamin dan dilindungi oleh Undang-undang Dasar 1945. Ini tersirat dalam pasal 27 ayat (1) yang berbunyi: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Dengan demikian, baik secara teologis, sosiologis, dan politis (melalui produk hukum), perempuan memiliki peran dan kedudukan yang setara dengan laki-laki.
Faktor Budaya
Namun, meskipun secara fundamental perempuan memiliki kedudukan atau peran yang sama pentingnya dengan laki-laki, sampai dengan saat ini kita masih menyaksikan diskriminasi/pembedaan terhadap kaum perempuan. Yang masih hangat adalah isu mengenai larangan duduk mengangkang bagi perempuan di provinsi Aceh. Kemudian marak pula bagaimana perempuan (melalui opini sepihak) yang paling disalahkan ketika menjadi korban perkosaan. Terutama dari cara berpakaian mereka.
Beberapa kelompok masyarakat bahkan masih menganut prinsip bahwa perempuan hanyalah “pendamping” kaum lelaki atau kelompok masyarakat kelas dua. Barangkali inilah yang antara lain memunculkan adanya pembagian kerja di rumah tangga berdasarkan jenis kelamin, termasuk menentukan perilaku yang pantas dan tidak pantas bagi perempuan. Perempuan umumnya mengerjakan tugas-tugas domestik, dan oleh karenanya kerap disanjung sebagai ratu keluarga. Tetapi, sanjungan ini dapat “memasung” mereka, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara psikologis dan sosial. Sebab, peluang untuk mengekspresikan diri dibatasi, yang berarti menghambat berkembangnya kapasitas pribadi. Sementara itu, laki-laki umumnya bekerja di luar rumah sehingga ruang geraknya lebih besar, termasuk menjadi pemimpin di masyarakat.
Saya kira hampir sebagian dari kita sepakat bahwa faktor budayalah yang mendasari diskriminasi/pembedaan tersebut, yakni budaya patriarki. Beberapa kalangan muslim bahkan mengikut sertakan adanya faktor dogma agama dalam memperlakukan kaum perempuan.
Meskipun demikian, masalah ketimpangan gender di Indonesia secara historis kultural tidaklah terlalu parah. Di tengah suku-suku atau kelompok masyarakat yang menganut sistem patriarki seperti suku Jawa, Batak, dll., ada suku Minang yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, di mana perempuan, terutama ibu, memiliki peran sentral dalam politik kepemimpinan dan otoritas moral. Kita juga memiliki suku Toraja yang sebagian masih menganut sistem kekerabatan bilateral (cognatic). Cognatic adalah sistem sosial di mana status kekerabatan didasarkan pada hubungan melalui garis keluarga ayah maupun garis keluarga ibu, yang memungkinkan untuk pilihan yang akan dibuat dalam afiliasi antara keluarga ibu dan keluarga ayah.
Dan, kalau kita menelisik betapa banyaknya kaum perempuan yang berperan secara signifikan dalam berbagai bidang, maka bangsa Indonesia boleh berbangga hati. Indonesia pernah dan telah memiliki perempuan-perempuan hebat dalam bidang sosial politik, khususnya yang menjadi pejabat publik. Di era presiden Soekarno ada Maria Ulfah Santoso (Menteri Sosial), S.K Trimurti (Menteri Perburuhan), Rusiah Sardjono (Menteri Sosial), Artati Marzuki Sudirdjo (Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan), Agustine Magdalena Waworuntu (Walikota perempuan pertama).
Di era presiden Soeharto, ada tiga menteri perempuan, Menteri Urusan Peranan Wanita, Menteri Sosial, dan Menteri Pertanian (dijabat oleh Justika Syariffudin Baharsjah). Meskipun di era ini sedikit perempuan yang menjadi pejabat publik, namun Orde Baru punya prestasi mengagumkan dengan melahirkan kebijakan yang membela kaum perempuan, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 tentang larangan poligami bagi Pegawai Negeri Sipil.
Kemudian, di era presiden Abdurrahman Wahid ada Khofifah Indar Parawansa (Menteri Pemberdayaan Perempuan), Erna Witoelar (Menteri Pemukiman dan Pengembangan Wilayah yang dilanjutkan dengan menjadi menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah), Rini Soewandi (Menperindag). Di era ini pula Megawati Soekarnoputeri menjadi presiden perempuan pertama.
Di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono ada Sri Mulyani (Menteri PAN, Menteri Keuangan, Menko Perekonomian), Mari Elka Pangestu (Menteri Perdagangan, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif), Siti Fadilah Supari, Endang Rahayu Sedyaningsih, dan Nafsiah Mboi yang ketiganya menjabat sebagai Menteri Kesehatan di periode berbeda, serta Armida S. Alisjahbana (Menteri PPN/Kepala Bappenas).
Selain menteri, masih banyak perempuan pejabat publik Indonesia yang menjadi bupati, walikota, dan gubernur.
Peran dan Keterlibatan Alumni Kristen
Dalam sebuah pertemuan yang digagas oleh Forum Kajian Strategis (Forkastra) Graduate Center Perkantas, disimpulkan bahwa bagi kalangan mahasiswa dan alumni Kristen Perkantas, perihal kesetaraan gender tidak menjadi masalah lagi. Dengan kata lain, di lingkungan intelektual Kristen, perempuan memiliki keleluasaan untuk mengabdikan dirinya di ranah sosial dan politik. Apabila kemudian ada istri-istri yang menjadi ibu rumah tangga sepenuh waktu, itu merupakan kesepakatan bersama antara mereka dan suaminya.
Fakta tersebut bisa menjadi modal yang kuat bagi alumni perempuan Kristen untuk berperan di berbagai bidang sosial politik di negeri ini, baik di institusi formal maupun dalam bentuk gerakan-gerakan moral. Beberapa yang bisa dilakukan antara lain: melalui gerakan-gerakan (1) Penyadaran; (2) Pemberdayaan; (3) Pendampingan/Pembelaan; serta (4) Agen-agen Perdamaian dan Rekonsiliasi.
Dalam gerakan-gerakan penyadaran, pemberdayaan, dan pendampingan/pembelaan, alumni Kristen bisa bergabung dengan lembaga atau komunitas-komunitas yang sudah ada. Atau, dapat pula membentuk komunitas baru kemudian berjejaring dengan lembaga/komunitas sejenis. Isu yang dikedepankan, antara lain: penyadaran akan hak-hak perempuan dalam akses ekonomi, kesehatan, pendidikan, informasi, sampai dengan hak politik. Dalam pembelaan/pendampingan, alumni Kristen bisa terlibat dalam proses mendampingi kelompok masyarakat marjinal (terutama perempuan) yang mengalami masalah-masalah hukum, ketidakadilan sosial, dll.
Kemudian, dalam peran sebagai agen perdamaian dan rekonsiliasi, alumni Kristen dapat menjadi fasilitator di daerah-daerah konflik. Indonesia saat ini masih rawan dengan berbagai konflik sosial, baik yang dilatarbelakangi faktor ekonomi, maupun faktor perbedaan agama/ideologi. Dalam konflik-konflik semacam ini, perempuan banyak yang menjadi korban. Namun, seringkali mereka tidak dilibatkan dalam upaya rekonsiliasi. Padahal, perempuan dengan perspektif keperempuanan yang sarat dengan nilai-nilai feminin (cinta kasih, pemeliharaan, dan perdamaian) dapat mengupayakan damai melalui rekonsiliasi tanpa kekerasan.
Satu lagi yang bisa dilakukan oleh para alumni Kristen, yakni “menggarap” kelas menengah Indonesia. Secara alamiah, masyarakat kelas menengah berpotensi untuk menjadi pendobrak, melakukan perubahan sosial dan politik. Misalnya, gerakan moral antikorupsi dengan dimulai dari aksi-aksi kecil, misalnya tidak meladeni pungutan liar di manapun. Memang, ini adalah perjuangan jangka panjang. Tapi, bukankah berjuang untuk keberhasilan jangka panjang adalah sebuah panggilan mulia? Soal sarana, banyak yang bisa dimanfaatkan. Media sosial, komunitas-komunitas, bahkan kelompok arisan pun bisa diberdayakan untuk mencapai tujuan perubahan ini.
Di dalam Kristus semua orang telah merdeka
Allah memang menciptakan laki-laki dan perempuan berbeda. Masing-masing memiliki karakteristik yang khas, yang tidak dimiliki oleh pihak lain. Memang untuk maksud itulah Allah menciptakan laki-laki dan perempuan berbeda, yakni agar dapat saling melengkapi. Dan, dalam perbedaan karakteristik tersebut Allah tidak bermaksud menjadikan salah satu lebih dominan atau lebih tinggi kedudukannya.
Kejadian 1-2 yang diklaim sebagian pihak memuat teks yang merendahkan kaum perempuan karena diciptakan dari tulang rusuk Adam (Kej.2:21-22); ternyata juga memuat teks yang menjelaskan bahwa manusia (laki-laki dan perempuan, -Pen) diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26-27). Mazmur 8:6-7 mengungkapkan hal yang sama. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan, diciptakan sebagai makhluk mulia.
Kesetaraan yang saling melengkapi itu banyak disaksikan oleh Alkitab. Meskipun budaya sebagian besar konteks Alkitab adalah patriarki, namun Alkitab juga mencatat peran perempuan yang turut menentukan perjalanan sejarah bangsa Israel. Nabiah Miriam misalnya. Miriam memimpin dan menggerakkan semua perempuan dalam rombongan bangsa Israel untuk memuji Tuhan, sebagai “bagian yang tidak terpisahkan dari arak-arakan umat Tuhan.”
Di dalam Perjanjian Baru, kita melihat bagaimana Yesus melawan arus. Pada masa itu, kaum perempuan dianggap sebagai anggota masyarakat “kelas dua” yang tidak diperhitungkan keberadaannya. Sebagai bentuk perlawanan dan koreksi atas ketidakadilan ini, Yesus mau berbicara dengan perempuan Samaria. Ia juga mengampuni perempuan yang berzinah, dan menyembuhkan perempuan yang sakit pendarahan (yang dianggap najis pada masa itu).
Rasul Paulus sendiri pun sangat menghargai dan mendukung peran perempuan, khususnya dalam pekabaran Injil. Salah satunya adalah Priskila yang menjadi rekan sekerjanya (Kis. 18: 1-3). Ia juga mengakui kedudukan dua pemimpin perempuan, Eoudia dan Sintikhe (Fil. 4). Bahkan dalam suratnya kepada jemaat di Galatia, Paulus menyerukan bahwa di dalam Kristus, semua orang telah merdeka. Merdeka dari sekat-sekat yang memisahkan sesama ciptaan Allah, baik itu kebangsaannya (Yahudi atau Yunani), status sosialnya (hamba atau orang merdeka), maupun gendernya (laki-laki atau perempuan).
——-
*Ditulis oleh Erna Manurung, S.Sos, Pendamping Pelayanan Mahasiswa di komunitas PMK Fak. Teknik Unhalu (Kendari), saat ini sedang menyelesaikan studi di Program Teologi Kependetaan (d/h M.Min) Fak Theologia – Univ. Kristen Dutawacana (UKDW) Yogyakarta.
**Diterbitkan dalam majalah Dia edisi I tahun 2013