Pdt. Em. Dr. Aristarchus Sukarto, BA, M.Th:
Pendidikan Itu Mewariskan Worldview

Terkait dengan penerapan kurikulum pendidikan antikorupsi yang merupakan hasil kerjasama Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Ketua KPK Abraham Samad menjelaskan bahwa pengajaran antikorupsi sebagai sisipan dalam kurikulum karakter bangsa pada pendidikan dasar dan menengah, serta pengintegrasian nilai antikorupsi dalam kurikulum pendidikan tinggi sejalan dengan program-program pendidikan yang selama ini dijalankan kedeputian pencegahan di KPK. Mendikbud sendiri menyatakan bahwa ditandatanganinya nota kesepahaman tersebut untuk menciptakan generasi baru yang tahan terhadap godaan-godaan korupsi. M Nuh juga menambahkan, “Kita ingin dunia pendidikan dan kebudayaan menjadi motor untuk  membangun  proses pembudayaan yang tahan terhadap korupsi.”

Suara Merdeka, 09/03/2012

Dalam wawancara kali ini, Majalah Dia berkesempatan untuk berbincang dengan Pdt. Em. Dr. Aristarchus Sukarto, BA, M.Th. yang saat ini menjabat sebagai Rektor Universitas Krida Wacana (Ukrida) mengenai topik yang krusial bagi pembangunan bangsa kita, yakni pendidikan antikorupsi. Berikut catatan percakapan Majalah Dia (MD) dengan bapak Aristarchus Sukarto (AS):

 

MD: Bagaimana pendapat Bapak soal pendidikan antikorupsi yang sedang digencarkan oleh pemerintah? 

AS: Sebetulnya mulainya sudah lama, dicanangkan oleh PBB untuk seluruh dunia, bukan hanya Indonesia. Di Indonesia memang baru dimulai, karena adanya tuntutan untuk good governance, transparansi, dan sebagainya. Memang negara seperti Swedia menyusun kurikulum (antikorupsi), dan itu yang sekarang kita ikuti. 

Cuma kalau saya lihat di masyarakat kita itu kan harus mengikuti pola linier, di mana orang membuat perencanaan sampai pencapaian, lalu semua diukur dari situ, kemudian bisa dilihat ada penyimpangan atau tidak. Tapi kalau orang punya landasan berpikir tidak linier atau cyclic, maka tidak ada semacam akumulasi atau tujuan yang mau dicapai, sehingga muter aja.

Misalnya kalau orang yang berpikir linier melihat uang, ia akan berpikir untuk kehidupan yang lebih baik ke depan. Tapi kalau pola pikirnya cyclic, hidup ya begini ini, sehingga uang yang ada digunakan untuk kepentingan sekarang. Untuk masyarakat kita, pendidikan antikorupsi ya harus dimulai dari pembenahan budaya atau cara berpikir. Bukan dengan hanya membuat hukum. Orang itu jalannya kan dituntun oleh worldview yang dimiliki. Jadi itu yang perlu kita perhatikan dalam pendidikan antikorupsi.

 

MD: Jadi, pendekatannya ke arah budaya?

AS: Iya. Orang-orang Jakarta saja tidak semuanya berpikir linier sekali. Contohnya kalau kita mau membuat sebuah perusahaan atau sebuah kegiatan atau gereja mau maju ternyata tidak bisa karena ini, model pikirannya yang satu maunya linier, segala sesuatu terawasi dan ada auditnya, yang satunya lagi berpikir, mengapa harus diaudit? Inilah praktek-praktek yang menyuburkan korupsi.

 

MD: Kalau di Ukrida bagaimana?

AS: Kami mulai masukkan, misalnya di mata kuliah pembinaan kepribadian. Ini pendidikan yang holistik, membentuk kepribadian. Misalnya, mahasiswa mulai diajarkan softskill-nya yang dilandasi dari worldview-nya. Bagaimana mempertanggung jawabkan tugas kalau menjadi panitia, bagaimana memperhatikan orang lain, bagaimana memandang uang itu mempunyai fungsi sosial, jadi tidak hanya untuk pribadi, ini diterapkan dalam softskill tadi. Makanya, di dalam MPK pasti ada pakar yang datang dari KPK memberikan kuliah tentang pemberantasan korupsi, mulai dari undang-undangnya sampai contoh-contoh perilaku yang bisa dikatakan koruptif. Mahasiswa diajak mulai bertanggung jawab, memikirkan orang lain. Misalnya untuk masalah nilai, orang tua harus tahu. Mengapa harus tahu? Karena merekalah yang membiayai, sehingga mereka berhak untuk tahu. Hal-hal itu yang kami kemas dalam satu paket (pendidikan antikorupsi).

Di Indonesia itu, apa-apa ditaruh ke dalam kurikulum, menurut saya itu superficial. Itu berat bagi anak-anak, dan fragmented, artinya tidak ada kaitan antara menghafal materi pelajaran antikorupsi dengan perilaku antikorupsi di kehidupan sehari-hari, kecuali kurikulum itu integrated. Makanya, di Ukrida kan saya memasukkan itu ke dalam pendidikan yang holistik itu tadi, mulai dari belajar Pancasila, kewarganegaraan, ilmu sosial dasar, lalu bagaimana keberagamaan dalam interaksi sosial. Dulu saya sebut itu metode isomeristik. Harusnya selain ada pembelajaran tentang bagaimana berlaku jujur dan tidak korup, juga diajarkan apa dampaknya jika ada korupsi.

Orang hanya tahu korupsi itu membahayakan, tapi tidak tahu kenapa, bahkan justru senang-senang saja karena mendapat bagian. Ini menjadi seperti cerita Robin Hood, korupsi lalu bagi-bagi. Mereka semua malah mendewa-dewakan yang korupsi, karena mereka kesulitan hidup saat ini. Jadi sebetulnya kalau mengajarkan tentang antikorupsi kan seharusnya termasuk bagaimana membentuk masyarakat masa depan, bagaimana konsep tentang masyarakat yang bahagia, sehingga tahu kenapa harus tidak korupsi. Di dalam pendidikan yang holistik itu, mahasiswa-mahasiswa yang masih muda diajarkan untuk melihat kerangka sosial yang besar tadi.

 

MD: Di Ukrida ada semacam KKN?

AS: Saya baru saja memulainya. Sebenarnya (KKN) itu juga terkait dengan ini (pendidikan antikorupsi). Supaya anak-anak Jakarta memiliki kesadaran sosial, jadi lebih melihat orang lain. Ternyata, di sini mahasiswa yang dianggap selfish, setelah melihat orang yang menderita di Paralangon (Garut, Jabar—red), orangnya cacat, tak bisa memelihara ayam, dia membuatkan kandang dan sebagainya. Jadi, KKN bukan sekedar proyek pasang papan nama, karena yang saya tekankan adalah kesadaran sosial itu. Saya juga sedang jajaki untuk KKN di daerah Jogja, bekerja sama dengan UKDW. Di Lampung, kami ada Puskesmas kecil, rencananya akan diperbesar untuk pemberdayaan masyarakat. Itu cara saya berpikir untuk mendidik anak-anak (mahasiswa) saya untuk mengatasi korupsi. Bagaimana masyarakat sejahtera dan saya sejahtera.

Orang itu akan korupsi terus kalau dia ketakutan dengan masa depan. Nah, justru bagaimana kita membuat masa depan itu gambaran yang memang aman. Misalnya begini: kalau masa depan saya letakkan pada akumulasi uang sebagai kekuatan, maka saya pasti cenderung korupsi. Akan tetapi, kalau masa depan itu masyarakat yang bahagia, mau saling menunjang, lalu sistemnya bisa jalan, orang itu akan membentuk sistem, sehingga tidak kuatir.

Anak-anak muda kita itu kan sebetulnya kuatir. Di Jakarta itu saya perhatikan, anak-anak muda itu maunya kerja sehingga umur 40 tahun sudah mapan, usia 50 tinggal berpikir, tidak bekerja pakai otot lagi, sehingga memikirkan bagaimana mendapatkan uang yang cukup. Ini pasti mendorong orang untuk mengumpulkan uang untuk pribadinya. Tapi kalau berpikir untuk masa depan bersama yang lebih baik, misalnya jaminan kesehatan masyarakat hingga hari tua dan sebagainya, maka orang itu akan lebih membangun sistem. Tabungan hanya untuk menambah kegembiraan saja, misalnya untuk rekreasi dan sebagainya, karena kebutuhan mendasar terjamin. Kalau tidak, biarpun hukumnya kita pertajam dan kekuasaan hakimnya kita perkuat, kalau situasi begini terus, tetap saja dorongan untuk korupsi itu akan muncul.

 

MD: Mengapa muncul ide pendidikan antikorupsi, padahal kita kan negara yang religius?

AS: Pendidikan itu kan sebetulnya bukan sekedar membuat seseorang itu menguasai matematika atau ekonomi, tapi juga mewariskan worldview tentang masyarakat, tentang kehidupan. Ini yang kita kurang tekankan. Sejak kecil, anak-anak kita dicekoki pemahaman bahwa yang pintar itu yang jago Matematika dan sebagainya. Anak-anak ini tak pernah diajak berpikir tentang masyarakat yang idaman itu seperti apa. Kita punya Pancasila dan Pembukaan UUD ’45, tapi penjabarannya tidak diajarkan kepada anak-anak kita.

Pendidikan itu kan sebetulnya bukan sekedar membuat seseorang itu menguasai matematika atau ekonomi, tapi juga mewariskan worldview tentang masyarakat, tentang kehidupan. —Aristarchus Sukarto

Sekarang kita sadar kok kondisi kita makin porak-poranda, korupsi biarpun dihantam sana-sini selalu muncul lagi. Jalan pintasnya ya buat undang-undang, diaplikasikan, lalu koruptornya dihukum. Tapi sebetulnya, menurut saya, kalau mau ya sejak dini. Dan itu tidak hanya sekedar kurikulumnya dibuat, tapi bagaimana sejak dini anak-anak itu diajarkan nilai-nilai sosial, misalnya diajak makan bersama-sama, untuk berbagi dengan yang lain.

Di gereja, kita juga mulai hilang. Gereja seolah-olah hanya menekankan pertumbuhan kuantitatif atau jumlah anggota. Sadar atau tidak, itu yang menjadi penekanan, sehingga tidak peduli persekutuan temannya diambil. Sadar atau tidak, kita sedang mengajarkan membangun citra, bukan membangun masyarakat kerajaan Allah. Dalam hal PI saja kita kadang-kadang seperti itu (mengukur kuantitas). Tujuan gereja itu kan sebenarnya bagaimana sih masyarakat kerajaan Allah, anak-anak Tuhan yang mengenal Kristus itu menjadi komunitas yang bisa betul-betul mencerminkan Tuhan sendiri. Itu kan perlu latihan. Kalau inginnya bagaimana supaya terkenal, dihargai orang besar, dan sebagainya, itu bisa jadi sumber korupsi.

 

MD: Tentang gereja, bagaimana pendidikan antikorupsi di gereja selama ini?

AS: Saya kira gereja masih lemah sekali dalam hal ini. Padahal, kalau melihat salah satu dari Sepuluh Perintah tentang jangan mengingini kepunyaan sesamamu, itu sebetulnya kan pendidikan antikorupsi, bagaimana kita menghargai hak orang lain dan hidup lurus. Tapi kalau kita tekankan hanya berkat untuk diri sendiri saja, kita takkan berkembang. Makanya saya lihat banyak tulisan tentang antikorupsi itu yang mengecam korupsi-korupsi di luar gereja, tapi di gereja sendiri tak pernah memikirkan, kira-kira gerak saya mengandung unsur korupsi atau tidak.

 

MD: Sekarang, ada kecenderungan bahwa tanggung jawab pendidikan diserahkan kepada sekolah, bagaimana menurut Bapak?

AS: Ya tidak bisa, karena pendidikan kepribadian itu kan dari lingkungan terdekat. Keluarga ikut menentukan konsep hidup anak-anak. Yang saya tekankan di keluarga, misalnya, bukan karena saya sebagai rohaniawan, maka anak-anak harus hidup berpengorbanan, pelayanan, tidak hanya itu, tapi juga bagaimana hidup sejahtera sebagai orang yang sharing. Saya lihat dampaknya waktu anak saya kerja di RS di bagian pembelian obat, dia tidak pernah terbersit untuk mengambil pungli atau korupsi.

 

MD: Lalu soal keteladanan, adakah yang perlu diperbaiki di dunia pendidikan? Selama ini kurikulum dari Pemerintah kan sasarannya anak didik saja?

AS: Seorang pendidik harus bisa menjelaskan konsep tentang guru/pendidik supaya diterima anak didik, misalnya guru itu membimbing, guru itu harus menerima murid, sehingga kalau guru itu datangnya terlambat, itu kan di bayangan anak-anak itu akan ikut meniru. Di dunia mahasiswa juga sama. Misalnya kalau dosennya hanya mengajar bahan yang itu-itu saja selama bertahun-tahun, tidak ada pembaruan. Kemudian, dosen hanya mengajar, kemudian pergi begitu saja, padahal tugas dosen kan harusnya membimbing mahasiswa, kalau dicari harus ada. Setidaknya pasang jam berkantor yang jelas, supaya mahasiswa tahu kapan bisa bertemu. Kalau dosen disiplin seperti itu, itu sudah memberikan keteladanan dalam hal antikorupsi.

Sebetulnya seseorang menjadi korup itu kan bukan karena pegang anggaran lalu tiba-tiba korupsi, melainkan built up sejak dia anak-anak, jadi siswa dan mahasiswa. Kalau common sense-nya yang diterima secara sadar ataupun tidak ternyata membolehkan perilaku korup, maka ia bisa menjadi orang yang korup. Pendidikan antikorupsi tidak sekedar kurikulum tentang hukum dan tindakan hukum saja, tetapi juga karena worldview yang dihidupi. (ays)

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *