Ravi Zacharias merupakan salah satu pemikir dan apologet Kristen yang banyak dikagumi. Ia dapat memintal prinsip-prinsip firman Tuhan dengan contoh-contoh dan perumpamaan dari kehidupan sehari-hari dengan indah, sehingga dapat meyakinkan pembaca maupun pendengarnya. Ia sering mengisahkan kisah lahir barunya, ketika mendengarkan firman Tuhan yang dibacakan kepadanya di rumah sakit, dimana ia dirawat setelah diselamatkan dari percobaan bunuh diri di usia 17 tahun. Keluarganya harmonis, bahkan anak-anaknya pun turut terjun dan membidani pelayanan bagi kesejahteraan wanita dan anak-anak di seluruh dunia.
Akan tetapi, gambaran ideal tersebut mendadak runtuh ketika pascakematiannya terkuak fakta, bahwa banyak wanita yang mengalami pelecehan seksual dari Ravi semasa hidupnya.
Para pimpinan Ravi Zacharias International Ministries (RZIM)—lembaga pelayanan yang dibentuk pada tahun 1984 di Kanada menyewa penyelidik swasta untuk menelusuri kebenaran dari pelaporan para korban. Hasil investigasi mengungkapkan sebuah fakta menjijikkan, yakni bahwa salah satu apologet paling populer di dunia, yang tergolong sudah lansia, dan yang terlihat mesra serta bahagia bersama isteri dan anak-anaknya itu, melakukan bukan hanya satu-dua kali, melainkan berulang kali, pelecehan dan kekerasan seksual terhadap banyak wanita. Karena statusnya sebagai pembicara internasional, korbannya pun tersebar, mulai dari para pekerja di spa yang dimiliki oleh lembaganya di Amerika Serikat, maupun di negara-negara lain, seperti Thailand, India, dan Malaysia.
Gawai-gawai lamanya juga ditelisik, dan ternyata di dalamnya berisi ratusan gambar wanita muda, yang sebagian di antaranya tampil tanpa busana. Tak hanya itu, Ravi juga menggunakan uang lembaga yang dipimpinnya untuk “menghidupi” empat jurupijat. Yang makin menjijikkan, adalah Ravi mengajak korbannya untuk berdoa dan bersyukur kepada Allah atas “kesempatan” yang mereka peroleh (untuk berhubungan seks), dan menyebut mereka sebagai “imbalan” dari Allah atas pelayanan penuh waktu yang telah dilakukannya.[1]
Godaan seorang pemimpin
Dengan berbagai fakta yang ada, sangat sulit untuk mengatakan, bahwa Ravi “khilaf”, atau tidak sengaja melakukan dosa. Sama seperti Daud, ia bahkan menggunakan kecerdikannya untuk merancang kejahatan dan menutupinya. Dan, mirip seperti kasus Daud, Batsyeba, dan Uria, semua orang di sekelilingnya cenderung menutup mulut dan berupaya menyenangkan atasan mereka. Baru setelah kematiannya di bulan Mei 2020, para pimpinan RZIM mulai menginisiasi penyelidikan atas berbagai tuduhan pelecehan seksual terhadapnya.
Seandainya isteri dan anak-anaknya sama sekali tidak tahu mengenai skandal dosa seksual yang dilakukan orang terdekat mereka itu selama bertahun-tahun, maka sungguh tak terbayangkan betapa terpukulnya mereka dengan temuan-temuan tersebut—Ravi sama sekali tidak mau mengakui hingga akhir hayatnya. Nama besar yang bertahun-tahun dibangun kemudian lenyap begitu saja seperti sekam yang tertiup angin. Ironisnya, salah satu “taktik”nya untuk membungkam korban-korbannya, adalah untuk menjaga nama baik pelayanan yang begitu besar, dengan begitu banyak staf di seluruh dunia.
Ravi telah mengeksploitasi privilese yang dimilikinya sebagai seorang pemuka agama dan pemimpin pelayanan untuk memenuhi hasrat dosanya. Ia seperti seorang pemberi pengumuman lomba yang tak ikut berlari. Hal yang sangat berbeda dipraktikkan oleh rasul Paulus dalam pelayanannya sekitar dua milenium lalu:
“Seperti seorang atlet saya menggembleng tubuh saya, melatihnya melakukan hal-hal yang harus dilakukan dan bukan hal-hal yang dikehendakinya. Sebab, kalau tidak, saya takut kalau-kalau setelah mempersiapkan orang-orang lain untuk perlombaan, saya sendiri dinyatakan tidak memenuhi syarat, lalu ditolak.”
I Korintus 9:27
Tak ada seorangpun yang kebal dosa
Dalam wawasan dunia Kekristenan, tidak ada seorang pun yang kebal terhadap kejatuhan ke dalam dosa, bahkan seorang nabi atau rasul sekalipun. Alkitab tidak hanya mencatat kehebatan, kemuliaan, dan kebaikan tokoh-tokohnya, melainkan juga kelemahan, cacat, dan kejatuhan mereka. Bahkan Abraham dan Daud, tokoh-tokoh besar di dalam sejarah bangsa Israel, yang digambarkan sebagai “sahabat Allah” dan “seorang yang berkenan di hati Tuhan” (lih. 2 Taw. 20:7, 1 Sam. 13:14) sekalipun tak luput dari kelemahan—Daud bahkan menjadi “pebinor”[2] dan dalang pembunuhan terhadap salah satu prajuritnya yang berdedikasi!
Dilihat dari perspektif Perjanjian Baru, dimana keselamatan merupakan sepenuhnya anugerah Allah melalui pengorbanan Kristus di atas kayu salib (lih. Ef. 2:8-9), “perlombaan” yang dimaksudkan oleh rasul Paulus tentu bukan berbicara tentang keselamatan, sehingga sia-sia saja darah Yesus tercurah. Apabila melihat konteks ayat tersebut, terlihat jelas, bahwa yang sedang dibicarakan adalah pelayanan pemberitaan Injil—atau lebih tepatnya, keharusan untuk memberitakan Injil, bahkan tanpa upah (lih. 1 Kor. 9: 16-18).
Allah, Sang Jurutaksir
Jeremy Myers[3] memberikan latar belakang sejarah yang dapat memperkaya pemahaman terhadap konteks pernyataan rasul Paulus di ayat 27 ini. Menurutnya, kata kuncinya adalah istilah “ditolak” atau didiskualifikasi. Istilah Yunaninya, “adokimos”[4], yang dalam penggunaannya pada masa itu terkait dengan kegiatan menaksir koin perak dalam aktivitas jual-beli. Waktu itu, tentu ada pula orang-orang yang curang dalam berbisnis. Salah satu praktik kecurangannya adalah mengikis koin resmi yang terbuat dari perak, kemudian menggunakannya untuk melapisi koin yang terbuat dari bahan lain. Oleh karenanya, ada profesi jurutaksir, yang secara khusus menguji keaslian koin yang digunakan dalam aktivitas perdagangan. Koin yang terbukti sekadar sepuhan akan ditolak (adokimos). Dan, koin perak yang telah terkikis pun juga akan bernasib sama, karena pasti hasil timbangannya akan berbeda atau lebih ringan daripada yang seharusnya.
Meski mungkin kehidupan seseorang terlihat baik-baik saja atau bahkan “berkilau” bagi orang lain, bisa jadi seperti Ravi, apa yang dikerjakannya di balik “panggung” sangat bertolak-belakang. Baik rasul Paulus dan rasul Petrus memberikan nasehat senada mengenai pentingnya menjaga diri dari jerat dosa, yakni supaya jemaat mengembangkan kemawasan diri serta kewaspadaan rohani (lih. I Korintus 10:12, I Petrus 5:8). Secara khusus kepada Timotius yang merupakan seorang hamba Tuhan seperti dirinya, rasul Paulus memberikan peringatan, supaya murid yang dikasihinya itu senantiasa bertekun mengawasi dirinya sendiri dan juga ajarannya, yang akan diteladani oleh jemaat (lih. I Timotius 4:16).
Sebagian orang pada masa kini cenderung memberikan permakluman akan fenomena “dua sisi koin” seorang pesohor, dimana di satu sisi ia bakat atau keterampilannya bermanfaat bagi orang banyak, namun di sisi lain, ada ruang-ruang gelap yang seringkali dimaklumi karena statusnya sebagai selebriti. Perilaku yang tak elok diberikan permakluman, dianggap sebagai “kompensasi” belaka, semacam balas budi atas prestasinya. Padahal di hadapan Allah, setiap sisi koin sama-sama milik kepunyaanNya. Setiap koin akan ditimbang dan diuji, apakah memenuhi kriteria “koin ilahi”. Allah sendirilah Jurutaksirnya.
Menggembleng diri adalah kunci
Jika dibandingkan dengan awal suratnya kepada jemaat Korintus ini, tepatnya pada pasal 3 ayat 10-15, maka bisa dikatakan juga, bahwa segala upaya rasul Paulus untuk menggembleng tubuhnya seperti seorang petinju yang membiarkan tubuhnya menerima segala pukulan agar terlatih dalam pertandingan (istilah “menggembleng” [atau “menguasai tubuh” di TB] bahasa Yunaninya adalah “hypōpiazō”, yang secara harfiah berarti memukul mata hingga lebam) itu adalah “membangun di atas dasar/pondasi, yang adalah Kristus” dengan batu mulia, bukan material yang mudah terbakar. Rasul Paulus tidak sedang berupaya masuk surga, melainkan berlomba untuk mendapatkan “acungan jempol” dari Allah, sebuah “mahkota yang abadi” (lih. 1 Kor. 9:25). Ibu Yohanes dan Yakobus pernah meminta hal serupa dari Yesus, yakni supaya kedua anaknya tersebut diberikan posisi terhormat di sebelah kiri dan kanan tahta Tuhan (lih. Matius 20:20-28). Lagipula, tidak ada atlet yang kehilangan kepesertaan atau bahkan kewarganegaraannya ketika kalah dalam perlombaan, bukan?
Dalam pemahaman sebagai seorang yang bukan saja dipanggil untuk mewartakan adanya perlombaan, melainkan juga turut menjadi peserta lomba, rasul Paulus menyadari betul, bahwa ia harus betul-betul melatih “otot rohani”nya, sehingga ia memiliki kesanggupan untuk menanggung panggilannya tersebut. Bagaimana cara seorang atlet melatih dirinya? Terjemahan FAYH di atas menuliskannya dengan lugas, “melakukan hal-hal yang harus dilakukan, dan bukan hal-hal yang dikehendakinya.” Iniselaras dengan sabda Tuhan Yesus kepada para rasul, “Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah” (Matius 26:41).
Kita memiliki roh yang senantiasa merindukan keselarasan dengan firman Tuhan, namun kita juga memiliki daging yang mudah terjerat dengan berbagai kesenangan duniawi. Itu sebabnya, setiap hamba Tuhan, dan bahkan setiap umat-Nya, sangat perlu menghayati gaya hidup seorang atlet, yang selalu siap menggembleng diri, melakukan hal-hal yang harus dilakukan, dan bukan yang diinginkan, untuk memenangkan pertandingan. Untuk itulah, setiap murid Kristus harus memberikan hidupnya dipimpin oleh Roh (lih. Galatia 5:16-25) dan terus berjuang untuk menundukkan keinginan daging. Dengan demikian, hidup kita membuahkan apa yang dituliskan oleh rasul Paulus sebagai “buah Roh”, bukan “buah daging”, sehingga orang melihat perbuatan kita yang baik dan memuliakan Bapa di sorga.
Kiranya kita menjadi atlet-atlet rohani yang tak berhenti menggembleng diri begitu rupa, sehingga memenangkan perlombaan yang ditentukan bagi kita dan meraih mahkota yang telah disediakanNya. Amin.
[1] https://www.christianitytoday.com/news/2021/february/ravi-zacharias-rzim-investigation-sexual-abuse-sexting-rape.html
[2] Ragam percakapan warganet, singkatan dari “perebut bini orang.”
[3] https://redeeminggod.com/1-corinthians-9-27-disqualified/
[4] https://alkitab.sabda.org/strong.php?id=96
[5] https://bertumbuh.net/ayus/bertumbuh-melalui-pendengaran/