Philip Ayus:
Partisipasi Kristen dalam Mewujudkan Kesetaraan Gender di Indonesia

Menurut data kependudukan dari Badan Pusat Statistik (BPS/www.bps.go.id), jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di Indonesia boleh dikatakan sangat berimbang. Pada tahun 2009, rasio penduduk laki-laki dan perempuan adalah sebesar 49,53:50,47. Kemudian, pada tahun 2010 dan 2011 perbandingannya sebesar 50,17:49,83 dan 50,37:49,63.Jika ditilik secara jumlah, tidak ada permasalahan dengan “mayoritas-minoritas,” sehingga perempuan Indonesia seharusnya mendapat porsi perlakuan yang sama dengan laki-laki di negeri ini.Bahkan, dalam konstitusipun tidak disebutkan pembedaan jenis kelamin secara spesifik. Baik laki-laki maupun perempuan, kesemuanya adalah warga negara, dan oleh karenanya, berhak mendapat perlindungan dan perlakuan yang sama di negara ini.

Akan tetapi, fakta di lapangan seringkali menunjukkan kondisi yang bertolak belakang. Perempuan cenderung dipandang sebelah mata pada hampir semua bidang kehidupan di negeri ini. Kita tentu ingat bagaimana cara berpikir seorang calon Hakim Agung Daming Sunusi yang begitu merendahkan perempuan, khususnya korban perkosaan, dengan mengatakan bahwa sang korban juga ikut menikmati pemerkosaan tersebut. Meskipun berdalih bahwa itu sekedar lelucon untuk mencairkan suasana, Daming jelas tidak peka gender, juga para anggota DPR yang ikut tertawa mendengar perkataan yang sama sekali tidak lucu tersebut. Mantan Gubernur DKI Fauzi Bowo dan Ketua DPR Marzuki Alie juga membuat pernyataan yang menyesatkan, yakni bahwa pemerkosaan dipicu oleh cara berpakaian korban (perempuan) yang tidak pantas. Pada kenyataannya, para korban mengenakan pakaian tertutup, bahkan ada yang berjilbab, sebelum diperkosa. Berikutnya, pernyataan tersebut tentu saja tak bisa diterima nalar dan tidak simpatik terhadap para korban pemerkosaan atau pelecehan seksual.

Peraturan bias gender
Perempuan kerap dianggap sebagai objek semata. Dalam Peraturan-peraturan Daerah yang berbau agama, misalnya, himbauan dan larangan sering kali hanya ditujukan kepada kaum hawa. Salah satu contohnya adalah Peraturan Daerah No.8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Kota Tangerang, yang berbunyi: “Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia atau mereka pelacur, dilarang berada di jalan-jalan umum, di lapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk atau kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat lain di daerah kelihatan oleh umum.”

Salah satu korban dari peraturan di atas adalah Lilis, salah seorang pegawai restoran di Cengkareng, yang baru saja pulang dari tempat kerjanya dan sedang menunggu angkutan umum. Sekitar pukul delapan malam itu, di bulan Pebruari 2006, Lilis yang sedang berdiri di halte digelandang oleh Satpol PP yang kebetulan juga sedang melakukan razia PSK. Meski sudah menjelaskan bahwa dirinya bukan PSK, dia tetap dibawa dan ditahan di markas Satpol PP Kota Tangerang bersama puluhan wanita lain.

Dalam sidang Tindak Pidana Ringan keesokan harinya, Lilis didenda sebesar Rp 30.000,00 namun menolak membayar karena merasa tidak bersalah. Iapun dipidana selama beberapa hari di Lembaga Pemasyarakatan. Meski sudah menghirup udara bebas, derita Lilis ternyata belum berakhir, karena trauma akibat penangkapan dan pemenjaraan itu tak begitu saja hilang. Lilis bahkan kehilangan anak dalam kandungannya akibat keguguran karena trauma tersebut. Belum lagi ada tetangga yang benar-benar menganggapnya sebagai PSK. Lilis beserta suami dan anaknya terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal untuk menghindari stigma itu, namun sia-sia. Kabar buruk menyebar sangat cepat. Tetangga-tetangga di tempat barupun mencapnya sebagai PSK. Suami Lilis bahkan juga harus berhenti sebagai guru karena pihak sekolah tempatnya mengajar tidak ingin “tertular” cap buruk karena mempekerjakan guru yang bersuamikan (tersangka) PSK.

Akibat berbagai tekanan bertubi-tubi yang diterimanya, Lilis menjadi sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia pada bulan Agustus 2008. Sungguh sangat mahal harga yang harus dibayar seorang perempuan dan keluarganya akibat kebijakan yang tidak peka gender itu.

Dan, itu baru satu contoh kasus. Sekretaris Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Koensatwanto Inpasihardjo dalam Rapat Dengar Pendapat di DPR pada tanggal 8 September 2008 mengatakan, “Perda seperti di Tangerang berdampak buruk terhadap ekonomi buruh perempuan dan masyarakat secara umum di wilayah itu. Kini buruh-buruh perempuan resah jika masuk kerja malam atau lembur sampai malam karena takut terkena razia. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan tambahan penghasilan.”Bukan hanya tambahan penghasilan, tak sedikit di antara mereka yang justru menjadi tulang punggung keluarga.

September 2012, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan fakta yang mengejutkan bahwa ada 282 Peraturan Daerah di 100 kabupaten dan kota di 28 provinsi yang mendiskreditkan perempuan, mulai dari pembatasan waktu keluar rumah, sampai larangan membonceng sepeda motor dengan mengangkangkan kaki. Dari pantauan Komnas Perempuan, Sumatera Barat dan Jawa Barat adalah provinsi-provinsi yang paling “rajin” mengeluarkan Perda-perda bias gender yang mengekang perempuan.

Tersandera paradigma kepemimpinan

Perlu diingat, bahwa Perda merupakan produk hukum yang dikeluarkan bersama oleh Eksekutif dan Legislatif. Artinya, para pemangku kebijakan di banyak daerah di negeri ini tidak sensitif terhadap isu-isu gender. Salah satu penyebab yang mungkin adalah jumlah maupun kualitas perempuan yang menjadi anggota dewan. Memang, ada beberapa kemajuan yang dibuat dalam hal pembelaan hak-hak perempuan, seperti diterbitkannya Undang-undang tentang Pemilu yang mewajibkan alokasi minimal 30 % kursi di Legislatif untuk kaum hawa. Namun pada praktiknya, jatah tersebut tak pernah dipenuhi sejak diundangkannya UU Pemilu pertama kali pada tahun 2003.

Politikus perempuan hanya mencapai 11 persen dari 500 anggota legislatif terpilih pada Pemilu 2004, kemudian sedikit bertambah menjadi 18 persen dari hasil Pemilu 2009. Hingga saat inipun, sebagian partai politik peserta Pemilu 2014 masih memrotes dan bahkan mengusulkan penghapusan aturan minimal partisipasi perempuan tersebut. Mereka berdalih kesulitan menemukan caleg perempuan untuk dijagokan pada Pemilu mendatang.

Mengapa partai politik di sebuah negeri yang berimbang jumlah laki-laki dan perempuannya merasa kesulitan menemukan calon legislatif yang hanya dipatok 30 persen dari keseluruhan caleg yang diajukan? Apa yang membuat demand parpol dan supply perempuan sebagai calon pembuat kebijakan publik tidak bertemu?

Yang perlu dipertanyakan pertama kali adalah paradigma parpol itu sendiri terhadap peran maupun posisi perempuan dalam politik. Fakta adanya kuota perempuan yang tidak terpenuhi dalam dua Pemilu terakhir, selain menyiratkan absennya itikad mematuhi Undang-undang Pemilu, juga pengkaderan yang belum berpihak pada perempuan. Munculnya keberatan dan usulan untuk meniadakan angka minimal keikutsertaan caleg perempuan dalam Pemilu 2014 nanti juga sedikit banyak menunjukkan kurangnya prioritas parpol terhadap keterwakilan suara perempuan di tingkat pembuat kebijakan. Sepuluh tahun seharusnya merupakan waktu yang cukup untuk menyiapkan kader-kader perempuan yang berkualitas dan memenuhi kuota yang disyaratkan oleh Undang-undang.

Di sisi lain, perempuan sendiri juga dirasa enggan terjun langsung ke bidang yang satu ini. Keengganan yang cukup beralasan. Wakil Ketua MPR Melani Leimena Suharli dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa maraknya korupsi dan hal-hal tidak baik lainnya di parlemen berdampak pada bagaimana perempuan melihat politik. Politik akhirnya dipersepsikan sebagai arena yang tabu untuk dimasuki, sehingga banyak perempuan dengan potensi dan pemikiran yang baik memilih terjun dalam kegiatan-kegiatan sosial. Bahkan aktivis perempuan yang sangat rajin memperjuangkan keterwakilan kaum hawa dalam pencaleganpun belum tentu mau masuk dan berjuang di parlemen. Padahal, sebagaimana yang dikatakan oleh Melani dalam kesempatan yang sama, jika perempuan ingin melakukan perubahan secara langsung dalam masalah kebijakan, maka ia harus masuk partai dan berusaha menjadi anggota DPR agar terlibat dalam pembahasan legislasi.

Perempuan juga tersandera oleh konsepsi masyarakat tentang kepemimpinan yang digambarkan begitu maskulin. Pemahaman yang kurang tepat terhadap penerapan nilai-nilai tradisi, budaya, serta agama dalam hal kepemimpinan, membuat perempuan tidak leluasa merintis jalan sebagai pemimpin. Dalam kampanye-kampanye politik, kita masih mendapati pemuka agama yang posisi politiknya berseberangan dengan calon pemimpin perempuan, secara sengaja mengutip ayat kitab suci dan memberikan penafsiran yang merugikan kaum hawa dengan mengatakan bahwa agama tidak merestui seorang wanita menduduki kursi kepemimpinan.

Dalam “perlombaan” karir kepemimpinan, perempuan juga kurang diuntungkan. Pandangan terhadap usia ideal untuk menikah, misalnya, masih tidak berpihak pada kaum hawa. Rentang waktu yang dimiliki perempuan untuk berkarir relatif lebih singkat dibandingkan dengan laki-laki karena adanya tekanan dari keluarga ataupun lingkungan untuk menikah, padahal masih banyak diskriminasi jenjang karir di tempat kerja, di mana perempuan dibangkucadangkan untuk masalah kepemimpinan.

Dalam beberapa tradisi, menikahkan anak perempuan pada usia muda (setelah lulus SD atau SMP) justru menjadi kebanggaan bagi orang tua, dengan alasan dalam usia semuda itu sudah ada yang meminang. Hal itu diungkapkan oleh Kepala BKKBN Sugiri Syarif, yang dalam kesempatan yang sama mengungkap pula masih kentalnya anggapan masyarakat, terutama di pedesaan, bahwa peran dan posisi perempuan itu hanya di dapur, sumur, dan kasur. Selain itu, faktor ekonomi juga cukup berpengaruh, di mana orang tua menikahkan anak perempuannya dengan laki-laki yang kaya dan terkenal. Dengan kondisi-kondisi seperti itu, bagaimana kita bisa mengharapkan masyarakat yang berkeadilan bagi perempuan?

Kesetaraan, bukan keutamaan
Kita patut bersyukur bahwa perjuangan emansipasi bagi perempuan yang dirintis oleh R.A. Kartini seabad lalu tidak menguap begitu saja. Kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender dan perlakuan yang adil terhadap perempuan makin meningkat. Kebanyakan orang hanya mengingat masalah surat-menyurat ketika mendengar tentang Kartini, akan tetapi dia melakukan lebih dari sekedar “curhat” lewat korespondensi, melainkan juga menyebarkan pandangannya lewat tulisan-tulisan di surat kabar, baik terbitan Indonesia maupun Belanda.

Di negeri ini, ada cukup banyak lembaga formal maupun nonformal yang fokus utamanya memperjuangkan hak-hak perempuan. Dalam susunan kabinet, ada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, lalu ada pula Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Koalisi Perempuan Indonesia, Women Research Institute, Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika, Yayasan Jurnal Perempuan, dan masih banyak lagi.

Respon sebagian masyarakat terhadap ketidakadilan gender juga bisa dibilang baik. Pada waktu Fauzi Bowo berkomentar bahwa terjadinya perkosaan di angkutan umum karena perempuan memakai rok mini, tak lama berselang terjadilah gelombang protes dari banyak kalangan. Dengan komunikasi global yang makin tak bersekat, perempuan Indonesia juga banyak berpartisipasi dalam gerakan-gerakan internasional untuk mendukung penghentian diskriminasi terhadap perempuan. Gerakan One Billion Raising, misalnya, mengadaptasi gerakan yang sama di luar negeri untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh wanita di dunia lewat aksi bersama. Lalu ada pula gerakan yang dinamai Reclaiming The Night yang merupakan respon atas pemberlakuan “jam malam” khusus bagi perempuan di beberapa daerah. Bisa dibilang, perempuan Indonesia di masa kini sedang berada dalam masa transisi paradigma gender ke arah yang lebih baik.

Namun demikian, ada satu hal penting yang patut diwaspadai oleh perempuan maupun aktivis pembela perempuan. Gerakan untuk menuntut kesetaraan berpotensi untuk membias menjadi perjuangan menegakkan egosentrisme wanita itu sendiri, atau bahkan “membablas” menjadi gerakan yang menafikan laki-laki. Ungkapan seperti “wanita berhak atas tubuhnya sendiri” yang tadinya dibuat dalam konteks protes terhadap budaya patriarki yang menganggap wanita sepenuhnya berada dalam kendali otoritas, entah orang tua ataupun suami, di beberapa tempat membias menjadi slogan untuk menjustifikasi tindakan-tindakan egois seperti merokok, operasi plastik, hingga aborsi. Gerakan untuk membela hak wanita juga bisa membablas, seperti upaya-upaya untuk membesarkan anak lewat teknologi bayi tabung dan memanfaatkan bank sperma, seperti yang cukup banyak dilakukan oleh wanita-wanita di Amerika, karena menganggap bahwa keberadaan laki-laki sebagai pasangan untuk membesarkan anak sebagai hal yang merepotkan.Padahal, anak yang dibesarkan tanpa figur ayah dan ibu cenderung bermasalah secara kejiwaan. Hal-hal seperti ini yang tidak sungguh-sungguh dipikirkan oleh sang ibu.

Menengok teladan Kristus

Lantas landasan apakah yang cukup kuat untuk membangun masyarakat yang berkeadilan bagi perempuan? Alkitab adalah jawabannya. “Pada mulanya Allah…” merupakan pondasi yang tak tergoyahkan setiap kali Kekristenan menyapa berbagai bidang. Semua berasal dan berawal dari Allah, termasuk laki-laki dan perempuan. Alkitab memberikan kesaksian yang gamblang bahwa manusia, baik laki-laki maupun perempuan, diciptakan oleh Allah, segambar dan serupa dengan Allah. Tanpa adanya pengakuan akan keberadaan dan kedaulatan Allah, segala sistem pemikiran cepat atau lambat akan runtuh, termasuk pemikiran feminis-ateis. Tanpa penghayatan akan kedaulatan Allah, perjuangan emansipasi berpotensi untuk berakhir pada pembiasan atau pembablasan.

Dalam budaya masyarakat Palestina pada abad pertama, keberadaan perempuan sebagai “mahasiswa teologi” adalah mustahil, hingga Yesus datang dan menerima mereka untuk ikut dalam rombongan-Nya. Demikian pula dengan kisah Maria yang duduk di dekat kaki Yesus, beberapa ahli mengaitkan frasa “duduk di dekat kaki” itu dengan “berguru,” layaknya Paulus (sewaktu masih bernama Saulus) menjadi murid Gamaliel. Mungkin, Yesus adalah satu-satunya guru yang menerima murid perempuan (meskipun tidak dimasukkan dalam jajaran para rasul) pada masa itu. Tuhan juga dikenal banyak bersahabat dengan kaum yang terpinggirkan oleh sistem kemasyarakatan, dan salah satunya adalah kaum hawa. Ia tidak menolak ketika kakinya dibasuh oleh seorang wanita. Ia memulai percakapan dan bahkan berterus terang membuka identitas-Nya sebagai Mesias kepada seorang perempuan Samaria. Dan pada waktu bangkit, Ia menampakkan diri pertama kali kepada wanita, yang secara sosial pada masa itu, kesaksiannya tidak valid di pengadilan.

Injil dan kesetaraan gender
Penghargaan terhadap perempuan, pertama-tama haruslah diawali dengan penghargaan terhadap Allah, yang menciptakan mereka. Sebaliknya, setiap perempuan haruslah pula menyadari keberadaannya di mata Tuhan. Sebagai umat tebusan-Nya, kita haruslah meneladani Sang Kristus yang, meskipun tidak menghukum wanita yang dihadapkan kepadaNya sebagai pezinah, memerintahkan pertobatan dengan menyuruh wanita itu untuk “pergi dan jangan berbuat dosa lagi.”

Orang tua yang memandang anak—laki-laki maupun perempuan—sebagai anugerah Allah untuk menjadi partner-Nya dalam rangka mewujudkan kerajaan Allah di bumi, akan merawat dan memperlakukan anak-anak mereka dengan bijak. Orang tua yang menjunjung nilai-nilai kebenaran Alkitab akan menolong anak-anak mereka untuk memahami bahwa meskipun memiliki karakteristik yang berbeda, laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapan Tuhan, sehingga bisa saling memperlengkapi. Anak-anak yang diajarkan kebenaran firman Tuhan “hormatilah ayahmu dan ibumu” akan tumbuh dewasa dengan penghargaan yang sama tinggi terhadap laki-laki maupun perempuan.

Sebagai komunitas orang-orang percaya, gereja ataupun lembaga pelayanan Kristen seharusnya menjadi teladan akan sebuah komunitas yang tidak mengabaikan kaum perempuan. Jika Alkitab diakui sebagai standar kebenaran dan Tuhan Yesus menjadi teladan bersama, maka sudah sewajarnya gereja dan lembaga pelayanan Kristen terus menyuarakan kesetaraan gender sebagai bagian tak terpisahkan dari pemberitaan Injil. Jika ada yang menyangka bahwa kesadaran akan kesetaraan gender adalah produk budaya modern, maka sangat mungkin dia melewatkan surat Paulus kepada jemaat di Galatia, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Bagi rasul Paulus, kesetaraan gender dan bahkan kesetaraan kemanusiaan tidak bisa dipisahkan dari pesan Injil.

Ketika gereja dan lembaga pelayanan Kristen memasukkan topik-topik mengenai implikasi Injil terhadap kehidupan orang percaya dalam hal kesetaraan gender dan bagaimana seharusnya tiap keluarga menerapkan penghargaan yang seimbang terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam rangka mendidik mereka untuk menjadi generasi yang peka gender, maka seandainya jemaat mengaplikasikan prinsip-prinsip yang diterima dalam keluarga masing-masing, sesungguhnya perbaikan kualitas hidup masyarakat sedang terjadi.

Keluarga-keluarga Kristen di tengah masyarakat, mahasiswa-mahasiswi Kristen di kampus, atau alumni Kristen di tempat kerja seharusnya menjadi pionir dalam hal perjuangan kesetaraan bagi kaum perempuan. Keluarga Kristen, misalnya, bisa menjadi pendorong berkurangnya kasus KDRT di lingkungannya, setidaknya lewat teladan relasi suami-istri yang baik. Mahasiswa atau alumnus Kristen bisa menjadi contoh bagi teman-temannya dalam hal menghindari pembicaraan-pembicaraan atau lelucon-lelucon yang mendiskreditkan perempuan. Jika pria, ia bisa menjadi teladan dalam hal memerlakukan wanita dengan hormat. Sebaliknya jika wanita, ia bisa menjadi teladan dalam hal menjaga martabatnya sebagai wanita terhormat.

Salah satu implikasi dari tiap orang yang mengutamakan kebenaran Kristus adalah memiliki sensitivitas terhadap permasalahan diskriminasi gender dan akan berupaya maksimal untuk mencari solusinya. Selama kebenaran firman Tuhan tidak diutamakan, selama itu pula perempuan akan dinomorduakan. Jika ayat-ayat kitab suci sekedar menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan atau piranti untuk membenarkan tradisi, maka perempuan takkan memiliki kesempatan untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan laki-laki.

Pada waktu melakukan kunjungan kerja di lingkungan kantor barunya, Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ahok, meminta agar tiap area disediakan ruangan khusus bagi ibu dan anak.

Sebuah kebijakan pro-perempuan yang tak terpikirkan oleh pemimpin sebelumnya.

Dari satu contoh peristiwa tersebut, kita melihat gambaran nyata bahwa perbaikan terjadi karena anak-anak Tuhan seperti sang Wagub ikut melibatkan diri dalam menggerakkan dan mengarahkan roda zaman sesuai dengan prinsip-prinsip firman-Nya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita memimpikan pula akan sebuah masyarakat yang berkeadilan, khususnya bagi kaum perempuan?

Kiranya kita menjadi orang-orang yang mewujudkan visi keadilan Tuhan untuk masyarakat dan dunia, seperti yang difirmankanNya melalui nabi Amos: “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir.” (Ays)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *