Fokus:
Perubahan Memungkinkan Adanya Peluang

Menurut para ahli ilmu-ilmu sosial,Indonesia sedang mengalami pergeseran nilai, etika dan moral karena adanya berbagai paham yang merusak kehidupan masyarakat. Ada yang mampu bertahan dalam nilai, moral dan etika agama yang dianutnya. Ada yang mencoba memadukan nilai, moral dan etika agama dan isme yang berkembang. Ada pula yang hanyut oleh arus. Mengapa dan dapatkah masyarakat memadukan nilai, etika dan moral agama dan dunia? Perlukah standart nilai? Apa yang bisa dijadikan pedoman?

 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, DIA mewawancarai Elis Tjasa M.Th, Kepala perpustakaan Sekolah Tinggi Theologia (STT) Jakarta, dosen beberapa perguruan tinggi seperti Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida), Institut Misi dan Alkitab Nusantara (IMAN), ITKI; Ir. Drs. Djuhadi Kusuma, dosen Ukrida, Akademi Manajemen Kesatuan Bogor,  Dosen tamu Institut Pertanian Bogor (IPB) dan sales support wireless di Perusahaan AT&T Network Systems Systems Indonesia; Ir. Daniel Murdiyarso MS, Ph.D., dosen Pascasarjana, Koordinator Tim Pengajar Agama Protestan IPB dan aktif berbagai pertemuan nasional dan internasional yang berkaitan dengan lingkungan; Drs. Markus Hidayat, alumnus fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang bekerja di PT Astra Internasional.

 

Fenomena Si Boy

Si Boy dalam film Catatan Si Boy diceritakan sebagai seorang yang sangat saleh melakukan ibadaha agamanya. Namun di sisi lain dia tidak melepaskan diri dari kehidupan muda yang hura-hura terlihat dalam berbagai aktivitas dan hidup mewah dunia dinikmati dan akhirat pun ingin dicapainya. Mungkinkah?

“Sebenarnya itu mustahil terjadi pada suatu pribadi. namun kalau dalam satu bangsa, itu dapat terjadi. Sekarang pun sedang terjadi dalam bangsa kita.” kata Markus Hidayat menanggapi hal diatas

Menurutnya, kini ada gap antara generasi muda dan generasi tua, walaupun tidak semuanya. Kedua generasi ini memberi reaksi yang berbeda terhadap kemajuan zaman. Generasi muda kurang menyaring hal-hal yang boleh dan tidak boleh, berguna dan tidak berguna bagi dirinya. Nilai, etika dan moral mereka sudah sangat longgar (permissive)

Sedangkan orang tua biasanya lebih ketat pada aturan, namun seringkali kurang konsekuen dengan yang dikatakan. Ia mengatakan A, sedang yang dilakukan B. Akibatnya kedua generasi ini sering bentrok! Menurut generasi muda yang kritis, orang tua sekarang banyak yang munafik. Mendengung-dengungkan sesuatu padahal ia tidak melakukannnya.

Menurut Markus bila seseorang menganut nilai, moral dan etika agama, dia pasti memiliki satu konsekuensi yang harus ditanggung. Sebab nilai agama bertentangan dengan nilai duniawi.

Sedangkan Murdiyarso berpendapat lain. Ia mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia, termasuk umat Kristen, banyak yang seperti Si Boy. Mereka mencoba hidup saleh tanpa meninggalkan kenikmatan dunia. “Memang sering terjadi hal yang kontras. Di satu pihak ada yang tidak tahu kemana mencari bantuan dana, dipihak lain tidak tahu cara memanfaatkan sebaik mungkin dan menyalurkan fasilitas yang dimilikinya” ujar Murdiyarso

Sementara Elia Tjasa melihat transisi nilai pada manusia seperti Si Boy akan terjadi terus menerus. Dan, perkembangan tersebut sejalan dengan gerak perubahan serta perkembangan hidup manusia. Bila masyarakat longgar terhadap nilai-nilai, menurutnya, hal itu sebagian besar dipengaruhi oleh berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, yang dampaknya mempengaruhi dan membentuk jiwa konsumtif masyarakat. Dengan semakin memiliki materi yang beragam, masyarakat merasa harga dirinya semakin terangkat. Akhirnya materi bukan lagi alat, tapi menjadi tujuan yang dikejar. Tidak heran bila manusia selalu terfokus bahkan bila mungkin menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Ia tidak peduli lagi dengan nilai, etika dan moral yang berlaku di masyarakat maupun imannya. “Itu memang akibat logis dari negara yang mengarah ke negara industri.” tegas anggota Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pondok Indah, Jakarta ini.

Djuhadi mendukung pendapat Elia Tjasa di atas. Ia menambahkan bahwa di era globalisasi ini dampak teknologi semakin merongrong nilai, etika dan moral masyarakat. Setiap orang tidak mungkin mengisolasi diri. “ Kita memang diperhadapkan pada situasi sulit dan harus bersikap tegas. Bagaimana caranya? Tentu harus bijaksana” tutur pria yang dilahirkan 2 Agustus 1953 ini.

 

Standar Hidup

Djuhadi yang juga sebagai anggota The Institute of Electrical and Electronics Engineers (I.E.E.E) ini, mengakui standar nilai, moral dan etika manusia sekarang sudah berubah. Manusia telah membuat standart nilai, etika dan moralnya hidupnya. Ia sendiri tidak selalu menyetujui perubahan itu. Ia melihat bahwa standart manusia sudah ditentukan sejak penciptaan. Karena kurun waktu yang panjang manusia semakin jauh dari standart yang telah ditentukan. Oleh karena itu Ia menyarankan “kita harus kembali ke standar moral, etika dan nilai hidup yang telah ditentukan.”

Murdiyarso maupun Elia Tjasa setuju terhadap apa yang diungkapkan Djuhadi. Pergaulan manusia sekarang sangat luas. Hal ini dimungkinkan karena teknologi telah membuat dunia tanpa batas. Akibatnya, pola pikir dan sistem nilai, etika dan moral masyarakat sangat mudah berubah. “kita harus melek dengan hal-hal yang terjadi, tapi bukan berarti ikut. Peristiwa yang terjadi seharusnya justru menyadarkan kualitas hidup kita sebenarnya. Kesadaran itu akan membuat kita berpikir positif, selektif dan mawas diri.” kata bapak anggota GKI Bogor ini.

Apalagi menurut Elia Tjasa, bukan hanya materalisme dan konsumerisme saja yang berkembang, tetapi juga sikap egoisme, hedonisme maupun paham relativisme pun berkembang pesat ditengah masyarakat. Manusia sekarang bukan di bentuk berdasarkan nilai kemanusiaan, tapi bagaimana supaya mampu berproduksi. Manusia sering lupa bahwa dirinya adalah makhluk sosial, makhluk yang membutuhkan orang lain. Dalam keadaan seperti ini Elia Tjasa justru melihat adanya peluang untuk bertindak, sesuai dengan kemampuan dan penggilan Kristen. “Kita harus memutuskan dan mengambil keputusan terhadap nilai, etika dan moral dalam mengisi dan menjalankan hidup ini. Bila tidak, kita akan kehilangan pegangan. Karena nilai, moral dan etika yang berkembang dimasyarakat sifatnya sangat relatif. Tiap tahun mungkin akan mengalami perubahan.” katanya

Melihat perkembangan dan dampak teknologi yang diungkapkan para narasumber diatas, Markus Hidayat menyarankan supaya umat Kristen membuat standar nilai yang sesuai dengan status dan jabatannya. Melalui standar nilai tersebut Markus berharap, nilai, etika dan moral kemanusiaan seseorang tidak terlalu ditinggikan atau sebaliknya diinjak-injak.

Mahatma Gandhi, menurutnya, sosok manusia yang perlu diteladani. Pada waktu mati ia hanya mewariskan beberapai helai pakaian hasil tenunannya, sepasang sendal kulit dan martabat bangsanya yaitu melawan kekerasan tanpa kekerasan (ahimsa). Selain itu, kesaksian hidupnya menarik. Setiap hari Gandhi bertemu dengan orang dari berbagai kalangan, orang yang paling top maupun orang yang paling tersisih dari masyarakat. Pada pagi hari, dia pergi dan bertemu dengan pajabat negara, berada ditempat yang sangat indah dan menyenangkan. Malam harinya dia selalu menyempatkan diri bertemu komunitas yang paling hina seperi pengemis dan para gembel. Dia bertemu mereka tanpa merasa risih dan sungkan. Motivasi Gandhi melakukan hal tersebut, menurut Markus, untuk membuatnya tetap rendah hati dan melihat manusia nilainya (baca: derajat) sama. Tidak ada yang tinggi atau rendah. Melalui pertemuan tersebut, Gandhi diingatkan akan asal usul dan keberadaannya. “Bukankah teladan kita, yaitu Yesus Kristus jauh melebihi Gandhi?” tanya Markus.

Markus mengamati, kebanyakan orang sekarang mengotak-kotakkan manusia berdarkan kemasan harta bendanya. Akibatnya, masyarakat termasuk umat Kristen, banyak bermain peran. Keberadaan mereka sebenarnya ditutup-tutupin dengan kemilauan harta benda. Sehingga tidak perlu heran jika ada orang menganggap sesamanya lebih rendah. Padahal seharusnya tidak perlu. Setiap orang harus peka melihat keberadaan orang lain. Ia memberi contoh. Seseorang yang memiliki mobil tak berarti derajatnya lebih tinggi. Seharusnya ia tetap peka dan menyadari bahwa ada orang lain yang berjalan kaki. Dengan demikian ketika mengendarai mobil ia akan hati-hati, karena kendaraan tersebut dapat menyerempet bahkan menewaskan sesamanya. “Itulah sebabnya pandangan hidup yang kita anut harus ditarik sampai ke implikasinya. Bila tidak, kita hanya bersandiwara.” kata Markus yang memiliki 4 orang anak ini.

 

Perbedaan Sudut Pandang

Keempat nara sumber setuju bahwa nilai, moral dan etika manusia harus dikembalikan ke standar yang telah ditentukan Allah, sejak penciptaan. Kerangka itupun hingga sekarang tetap ada didalam diri  manusia. Buktinya! Manusia tetap merasa bersalah dan berdosa bila melakukan hal-hal yang menyimpang dari nilai, moral dan etika yang ditetapkan bersama, maupun oleh Allah.

Sulitnya, banyak aliran Kristen Protestan menekankan satu sisi Alkitab. Sehingga antara aliran yang satu dengan lainnya memiliki aturan berbeda. Sedangkan penganutnya sering kurang mendalami sumber dasarnya yaitu Alkitab. Tidak heran bila di antara penganutnya bingung, bila bertemu dalam persekutuan bersama. Keadaan ini pun kerap kali dialami Murdiyarso dalam membina mahasiwa baru IPB. Hal yang tidak prinsip, menurutnya, menjadi prinsip. Atau sebaliknya, apa yang prinsip malah dilupakan. “Kami pembina mahasiswa Kristen IPB, sering mengingatkan mahasiswa baru bahwa aturan masing-masing denominasi gereja itu bisa saja berbeda, karena aturan itu dibuat dan diterjemahkan oleh konsep manusia. Karena itu kami mengajak mahasiswa untuk menggali dan mengembangkan langsung dari sumbernya. Sedangkan perbedaan di antara denominasi yang tidak prinsip, supaya dibuat sebagai pengembangan diri. Ini memang sulit dipraktekkan, tetapi bisa dicoba,” ujar bapak tiga anak ini

Djuhadi dan Markus Hidayat pun mendukung pendapat Mudiyarso diatas. Menurut Djuhadi perbedaan terjadi karena pengaruh situasi dan budaya setempat. “jadi tidak usah bingung dalam soal standar. Justru penerapannya sehari-hari yang harus kita pikirkan dan wujudkan,” ujarnya

Menurut Markus yang terpenting adalah sumbernya. Kalaupun ada perbedaan antar denominasi harus dikembangkan kembali dengan sumbernya, yaitu Alkitab. “Perpecahan gereja seringkali terjadi karena perbedaan aturan manusianya, bukan karena perbedaan sumbernya,” ujarnya yakin

Menanggapi masalah denominasi ini, Elia menekankan supaya aturan denominasi dibuat berdasarkan firmanNya. Bila dalam berhubungan dengan kaum awam berselisih pendapat terhadap denominasi lain, Elia pun persis seperti Markus Hidayat menganjurkan untuk kembali pada sumbernya, yaitu Alkitab. “Aturan dibuat supaya manusia mentaati Allah, bukan  manusia!” ujarnya tegas

 

Peran Pemerintah dan Rohaniawan

Nilai, etika dan moral hidup dan berkembang dalam komunitas yang sangat dipengaruhi latar belakang suku, agama, ekonomi, sosial dan sistem politik setempat. Dalam hal ini, menurut keempat nara sumber pemerintah rohaniawan sangat kompeten sebagai pagar yang menjaga masyarakat agar tak lari dari nilai yang dianutnya.

Pertama, pemerintah melalui kebijakan. Misalnya pemerintah menganjurkan masyarakat untuk mendalami kembali nilai, etika dan moral agama yang dianutnya. Bila diamati, Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 1995/1996 untuk bidang keagamaan naik bila dibandingkan RAPBN 1994/1995, dari Rp. 910 milyar menjadi Rp. 1.056 Triliyun.

Tindakan pemerintah tersebut menurut Markus Hidayat dilandasi oleh pertama, keinginan pemerintah agar masyarakat tidak mengalami kekosongan batiniah masyarakat. Kedua pemerintah melihat longgarnya nilai moral dan etika masyarakat bisa menjadi gejala yang dapat merongrong persatuan dan kesatuan bangsa. “Tindakan tersebut juga dapat dilihat untuk menjaga stabilitas nasional.” ujarnya

Sedangkan Djuhadi berpendapat bahwa pemerintah mulai menyadari kemajuan yang dicapai manusia tidak ada yang sempurna. Manusia harus kembali ke perintah Tuhan “Pemerintah itu kan wakil Tuhan yang harus mengajak rakyat melakukan apa yang diperintahkan oleh-Nya. Oleh karena itu kita harus turut bergembira.” kata Djuhadi sambil mengingatkan firman Allah dalam Roma 13:1-7

Berbeda dengan Markus dan Djuhadi, Murdiyarso melihat ajakan pemerintah tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Bila pemerintah tidak menganjurkan masyarakat untuk menggali dan mengembangkan nilai agama dan leluhur, mentalitas bangsa akan dipengaruhi oleh etika dan moral luar/barat. “Kita bersyukur pemerintah mendasari semua program dengan ketaqwaan. Itu dapat kita lihat dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Perihal ketaqwaan merupakan dasar dari pengembangan teknologi dan bidang lainnya.” katanya.

Kedua, peran rohaniawan pun sangat penting. Manusia itu ibarat pohon. Semakin dalam akarnya, maka pohon itu semain kokoh. Manusia pun demikian. Bila sejak kecil telah ditanamkan nilai, etika dan moral agama, maka setelah besar pun tidak akan menyimpang. Mulai longgarnya nilai, moral dan etika masyarakat sekarang, menurut keempat nara sumber, dipengaruhi oleh menipisnya ketaatan pada agama.

“Degradasi tersebut terjadi karena akarnya kurang kuat.” ungkap Markus Hidayat.  Menurutnya segudang aktivitas di PMK dan gereja bukan ukuran seseorang medalami dan mempraktekkan firman Tuhan dalam kehidupannya. “Testnya akan tampak ketika dia menghadapi problem dan harus mengambil keputusan. Bila dia belum terbentuk, maka ketika diperhadapkan tantangan dia akan hanyut. Paling dia akan mengatakan bahwa yang telah “ditanamkan” padanya tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di masyarakat.” ujarnya.

Mudiyarso menganjurkan agar etika, nilai dan moral Kristen bergaul dengan etika lain yang berkembang. Dia harus tampil beda dan mewarnai kehidupan. Di pergaulan itulah perintah Kristus menjadi garam dan terang dunia menjadi berkembang dan realistis. “Kita itu harus seperti pelita yang menerangi sekitarnya. Kita harus menjawab tantangan yang muncul. Mahasiswa kristen jangan menjadi kelompok eksklusif, di kampus maupun di masyarakat. Kalau mereka aktif di persekutuan, itu berarti melatih diri, bukan untuk mengamankan atau meninabobokan diri. Justru di pergaulan kita dapat memperlihatkan iman kita kepada sesama.” ujar Mudiyarso yang juga menjadi pendiri dan ketua Yayasan Persekutuan dan Pembinaan Alumni Kristen.

“Dalam keadaan seperti inilah peran rohaniwan (lembaga gereja dan yayasan yang melakukan pembinaan) sangat diperlukan.” cetus Elia. Dalam melakukan pembinaan mereka harus melihat kebutuhan masyarat yang dilayani. Sehingga nilai, moral dan etika Kristen tertanam, tumbuh dan berbuah di tengah-tengah dunia. Oleh karen itu Elia mengajak setiap orang mengenal tugas dan panggilan masing-masing. “Bila itu kita lakukan, maka kita dapat berperan ganda, baik di dunia sekuler maupun secara kristiani. Karena iman memandu kehidupan sekuler kearah kesaksian iman yang hidup. Bila demikian kita akan melihat peluang mengisi kekosongan diri masyarakat,” demikian tutur Elia Tjasa. Ya, bukankah perubahan juga merupakan peluang? (06)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *