Partogi Samosir:
Terbuka Terhadap Sesuatu yang Relevan

Serbuan terhadap kekristenan dari waktu ke waktu selalu ada. Lihat saja, di berbagai bioskop dan toko buku, banyak film dan buku-buku populer yang menggugat kekristenan. Ratusan tahun gugatan itu bertubi-tubi ada. Begitu gugatan yang satu gugur, ia akan digantikan oleh gugatan baru. Uniknya hingga kini belum ada yang mampu meruntuhkan kebenaran Alkitab.

Fakta sudah menunjukkan, buku-buku dan film-film yang menggugat Yesus Kristus lebih merupakan sensasi sesaat yang diproduksi demi popularitas, uang dan semangat-anti-Kristus Gugatan yang berbasis iptek pun tidak jauh dari ketiga tujuan itu. llmu yang berpretensi “obyektif, deskriptif dan faktual” sesungguhnya memang dibangun oleh skema ideologis (Manx), konseptual (Kant), atau paradigma (Kuhn).  Akibatnya dalam iptek, tak ada yang netral (bebas nilai). Prioritasnya, fokusnya, metode dan prosesnya, serta worIdview -nya ditentukan oleh kepentingan iImuwannya.

Padahal bagi kekristenan, pencarian iptek hanya bermakna jika ditujukan guna memuliakan Jilhan. ltu sebabnya tidak semua pencarian iptek adalah ibadah, misalnya astrologi dan teknologi mititer: Kegiatan ilmiah yang misalnya, membuat terjadinya konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang dan kerusakan lingkungan adalah kegiatan yang tidak diperkenan Allah.

Secara implisit, ajaran Alkitab membagi ilmu dalam 2 kategori. Pertama, ilmu yang diwahyukan yang menyediakan kerangka etika/moral. Kedua, ilmu yang tidak diwahyukan, yang pencariannya menjadi kewajiban manusia.

llmu ke-2 ini dibagi menjadi 2 sub kategori. Pertama, ilmu yang esensial bagi  manusia untuk mewujudkan etika dan moral. Kedua, ilmu yang diperlukan untuk kelangsungan hidup masyarakat. Disinilah konteks pencarian iptek disebut sebagai ibadah.

Alkitab mengajarkan, iptek bertanggungjawab untuk mengembangkan kesadaran ke-Tuhan-an, mengharmonisasikan tujuan dan cara dalam mencari ilmu. Serta mementingkan kepentingan kemanusiaan dalam pencarian dan penerapan iptek.

Yang penting, kita harus lebih terbuka pada refleksivitas kritis modern secara lebih konsekuen, sehingga iman kita mampu membongkar kecenderungan narsistik iptek. Kita pun harus selalu menyadari, bukan Kekristenan yang perlu dibuat relevan untuk iptek. Tapi iptek yang harus dibuat retevan untuk kekristenan. Kekristenan adalah sesuatu yang secara apriori relevan untuk semuanya.

Berangkat dari pemahaman di atas, jika ada film atau buku yang menghina Kristus, kita tidak perlu langsung menanggapi film/buku itu, sebab sikap kita itu justru malah akan mempopulerkan film/buku itu. Kita baru membahasnya bila film/buku itu sudah menjadi buah bibir di masyarakat seperti yang sudah terjadi dengan buku/film ‘The Da Vinci Code,’ dan film ‘The Lost Tomb of Jesus’ yang dipopulerkan melalui  Discovery Channel.

 

 —–Dituliskan oleh Partogi Samosir

— Majalah Dia Edisi 1/ Tahun XXIII/2008

Berikan tanggapan