Pdt. Dr. Dorothy Irene Marx adalah salah satu teolog di Indonesia yang tetap konsisten dalam pelayanannya. Saat ini, ia menjabat Rektor Sekolah Tinggi Theologia (STT) Bandung sejak 1992. Ia menempuh pendidikan musik di Royal Academy of Music, London 1945. Untuk mendukung visi pelayanan secara penuh waktu, Dorothy mengikuti pendidikan Teologia Tahap I di Ridgelands Bible College Bexley Kent di Inggris. Pendidikan Teologia Tahap II-nya di tempuh di London Bible College, 1966-1967 dan 1975-1976. Kemudian 1983-1988 ia mengambil doktor teologia di Universitas Tubingen, Jerman.
Dorothy, pertama kali melayani Indonesia tahun 1957, sebagai misionaris dari Overseas Missionary Fellowship (OMF). Tahun 1961 mulai menjadi pengerja resmi di lingkungan GKI dan empat tahun kemudian ditahbiskan menjadi pendeta GKI Jl. Kebonjati, Bandung.
Selain melayani jemaat, ia juga mengajar. Ia mantan dosen Sekolah Tinggi Teologia Jakarta (STT), pendeta kampus di Universitas Kristen Indonesia (UKI) Jakarta selama 4,5 tahun, dan di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung selama 15 tahun. Sekarang di usianya yang ke 72, ia masih aktif melayani berbagai gereja dan menjadi dosen di empat perguruan tinggi, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Kristen Maranatha (UKM), Institut Misi dan Alkitab Nusantara (IMAN) Jakarta dan Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Selain itu, ia telah menulis beberapa buku. Tiga diantaranya adalah ‘New Morality’, Bolehkah Aku Percaya, dan Itu ‘kan boleh.
Dalam perbincangan, Dorothy tidak pernah meninggalkan ciri khasnya, yaitu memakai akronim tertentu untuk menekankan ungkapan yang disampaikan, misal BDB (bohong demi bisnis), Juplop (maju dengan amplop) dan lain-lain. Simak perbincangan DIA dengannya di bawah ini.
Apa yang terkandung dalam moral dan etika?
Dalam moral terkandung prinsip etis yang mengatur tingkah laku manusia. Moral membahas kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah, mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut.
Bagaimana New Morality bisa hadir di tengah-tengah masyarakat?
New Morality muncul pertama kali sekitar abad 20 di Eropa. New Morality hadir sebagai pemberontakan terhadap nilai old morality yaitu nilai yang bersumber dari Alkitab. Pemberontakan tersebut menolak kemutlakan otoritas Alkitab, otoritas gereja dan otoritas iman. Dengan pemberotakan ini lahirlah sistem etika yang baru. Nilai-nilai mutlak diganti dengan nilai-nilai relatif, kebenaran relatif tersebut juga menghasilkan permissive society.
Bagaimana dengan New Morality yang ada di Indonesia? Apakah dilatarbelakangi hal yang sama?
Pada prinsipnya sama, yaitu menolak etika dan prinsip-prinsip yang telah ada. New Morality masuk ke Indonesia melalui literatur dan audio visual. Sekarang ini antara dunia barat dan timur sudah seperti tanpa batas. Pemikiran dan pengaruh dari barat, positif maupun negatif, mudah masuk. Media massa, khususnya audio visual, turut menciptakan era globalisasi dan menjadikan dunia sebagai global village. Setiap hari kita dapat menyaksikan peristiwa pembunuhan, perang, dan sebagainya yang terjadi secara nyata di luar ‘dunia’ timur maupun melalui tayangan film. Kesadisan yang sama pun dapat terjadi di Indonesia. Bagaimana masyarakat bisa melakukan hal itu bukankah karena informasi dan ‘hiburan’ yang dilihatnya di televisi?
Ajaran apa yang mendominasi dalam New Morality?
Situasi dan kasih! dalam Etika Situasi tiada ada standar kemutlakan. Setiap bentuk tingkah laku diwujudkan dalam tindakan kasih, tetapi tanpa standar etika yang tegas. Walaupun New Morality sangat menekankan kasih, tetai tidak berdasarkan standar Alkitab. Hukum Allah yang mutlak tidak lagi menentukan tingkah laku manusia. Apa saja yang dianggap baik, itulah yang dilakukan. Manusialah penentu standar baik dan tidaknya tindakan. Baik barangkali memang baik, tetapi belum tentu benar. Ketika kena tilang misalnya, kita menyogok polisi supara urusan cepat selesai. Kita bisa katakan itu baik karena situasinya menuntut demikian. Tetapi apa itu benar? Bukankah dengan demikian kita telah membiarkan polisi kompromi terhadap pelanggaran kita?
Kasih. Ini sangat ditekankan dalam etika situasi. Kasih di sini pengertiannya sangat relatif. Sehingga dalam setiap pengambilan keputusan paham relativisme sangat dominan. Seseorang yang sakit misalnya, menanyakan pada dokternya, “apakah saya akan mati?” dokter itu tahu melalui diagnosa bahwa umur pasiennya tinggal tiga minggu lagi. Demi kebaikan si pasien, menurutnya tidak perlu mengatakan hasil diagnosa tersebut. Ia berbohong, dengan alasan cinta kasih. Benarkah?
Dalam Alkitab, kita tidak bisa melakukan hal demikian! Kasih dan kebenaran harus menjadi standar perilaku etis kita. Tujuan benar harus dijalankan dengan cara yang benar. Berbeda dengan etika situasi! Tujuan benar dan baik, dapat ditempuh dengan segala cara. Pokoknya apa yang dianggap benar dan baik, segala metode boleh dilakukan.
Tujuan dokter itu baik. Ia ingin agar pasien tidak depresi, karena tahu akan mati. Bukankah ini pertolongan yang tepat secara psikologis?
Saya pernah melayani seorang perwira tinggi militer yang menanti kematiannya. Keluarganya tidak berani memberi tahu bahwa sebentar lagi ia akan meninggal. Saya menanyakan padanya “apakah dia telah menyelesaikan masalah dosa? apakah ia tahu pasti ia sudah diampuni Tuhan dan memperoleh damai dengan Allah?” jawabnya, “saya sangat rindu!” Maka ia diinjili dan menerima Kristus. Beberapa minggu setelah itu beliau meninggal. Betapa indahnya ia ‘pulang’ kerumah Bapa di surga. Bila tidak diinjili, dia tidak akan mengetahuinya apa yang akan dia jalani bila kehidupan di dunia berakhir. Injil Kristus harus kita beritakan. Itulah tugas kita!
Bayangkan jika saya tidak memberi kesempatan padanya untuk menyelesaikan perkara kehidupannya dengna Tuhan. Apa yang akan terjadi? seorang dokter bisa saja bohong demi kebaikan. Tetapi, baik itu harus mencakup kebenaran. Dalam prakteknya memang sulit. Kita membutuhkan hikmat dan kebijaksanaan.
Sekarang kita lihat bagaimana Etika Situasi menerapkan prinsip soal hubungan pria dan wanita. Mereka berpendapat bahwa lebih baik orang yang saling mengasihi hidup bersama walaupun tanpa menikah, daripada menikah tetapi selalu diwarnai dengan percekcokan. Nah, apa artinya? Demi tujuan baik, mereka menghalalkan cara yang salah atas nama kasih. Berarti mereka juga menyetujui manusia ‘kumpul kebo’.
Mengapa justru moral seperti itu yang paling diterima masyarakat zaman ini?
Karena etika situasi lebih mudah diikuti daripada etika deontologis (deontologis berasal dari bahas Yunani yang berarti pengetahuan tentang keharusan atau kewajiban-red). Semua bisa dilakukan demi kebaikan. Bohong demi bisnis dilakukan untuk menyelamatkan situasi ekonomi di perusahaan. Juplop (maju dengan amplop-red) agar segala urusan cepat selesai. Segala macam cara dilakukan asal tujuannya tercapai. Dari sinilah muncul pandangan pragmatisme dan utilitarianisme. Penganut pragmatisme dalam mencapai tujuannya ingin menempuh cara yang benar. Namun jika cara yang benar tidak berhasil mencapai tujuan, cara lain pun boleh, walaupun salah. Yang penting tujuannya tercapai. Semua orang tahu berbohong itu tidak dibenarkan. Namun, dalam New Morality berbohong dibenarkan jika tujuannya baik. Dalam Alkitab tindakan demikian tidak dapat dibenarkan, karena itu melanggar perintah Allah. Standar yang ditetapkan Allah adalah standar yang ketat. Dari sini kita melihat standar Alkitab sangat berbeda dengan standar Etika Situasi.
Kita tahu bahwa tindakan etis merupakan penerapan praktis dari teologi. Tetapi tidak semua orang Kristen cukup memahami teologis. Jika ajaran dan konsep teologi seseorang masih tertanam, bagaimana ia dapat menerapkan prinsip etis dan moral secara benar?
Yang pasti akan terjadi banyak konflik dalam kehidupan umat Kristen. Mengapa? Banyak penyebabnya. Pertama, ajaran diberikan, tetapi mereka tidak memahami bahwa mengikut Kristus berarti memikul salib. Mereka mau menikmati berkat Allah tetapi tidak mau taat untuk memikul salib Kristus. Kedua, mereka tidak bisa membedakan mana yang patut dilakukan dan yang tidak. Akibatnya, mereka kompromi. Berkat Tuhan memang dibutuhkan dalam hidup manusia, tetapi bukan berarti menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Kita pun harus mengerti kehendak Allah dalam hidup kita. Ketiga, bisa jadi mereka beranggapan ajaran gereja harus direvisi. Ajaran tersebut sudah tidak cocok lagi pada zaman ini. Keempat, masyarakat sedang berada dalam masa transisi nilai. Ini dapat kita lihat pada remaja sekarang. Mereka bingung dengan nilai-nilai baru yang dilihatnya. Disatu sisi mereka menyaksikan perkembangan dunia yang begitu pesat dengan segala fasilitasnya. Di sisi lain, mereka masih hidup dan tinggal di dunia yang sama sekali berbeda. Jadi, mereka tidak mengerti apakah mereka merupakan kelompok yang sudah maju atau sebaliknya. Keadaan seperti ini yang seringkali membuat mereka frustasi dan mendorong timbulnya kenakalan remaja.
Jika demikian, sejauh mana konsep teologis seseorang (pemahamannya tentang Tuhan) mempengaruhi moralitas hidupnya?
Sangat kuat pengaruhnya! Moral adalah hasil ajaran. Kalau kita beranggapan bahwa Alkitab tidak lagi otoritatif dan normatif, maka kita tidak lagi terikat pada nilai dan hukum Alkitab. Kita bebas dan bisa menghasilkan tindakan yang keliru. Katakanlah kita beranggapan bahwa Alkitab hanya mengandung firman Allah. Artinya, isi Alkitab bukan seluruh firman Allah. Padangan seperti ini tentu akan menghasilkan tindakan moral yang tidak sesuai dengan tuntutan Allah. Ia tidak akan menaati semua perintah Allah dalam Alkitab.
Kalau kita melihat prinsip, aturan, nilai dan moral negatif yang berkembang di tengah-tengah masyarakat dewasa ini, apakah hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman teologi seseorang atau karena pengaruh lingkungan?
Keduanya. Di satu sisi, umat Kristen kurang memiliki kerelaan menjalankan ajaran dan konsep teologinya. Dalam 2 Tim 3:5, disebutkan orang-orang menjalankan sistem dan peraturan agamanya, tetapi mereka memungkiri kuasa dari agama tersebut, sehingga mereka bertindak bebas sesuai dengan keinginannya.
Sebaliknya, banyak yang pemahaman teologisnya minim justru amat menjunjung tinggi nilai moral. Mengapa ini terjadi?
Saya kira itu terjadi pada orang-orang yang kurang memahami kekristenan yang benar. Sesuai dengan ideal mereka menjunjung tinggi moralitas. Tetapi mampukah mereka menjalankannya? Rasul Paulus, meskipun sangat menyetujui adanya hukum, tetapi ia juga mengingatkan bahwa jika manusia tidak mampu menjalankannya juga, percuma. Standar ideal itu bila Roh Allah memampukannya untuk melakukan.
Kita bangsa Indonesia, memang mempunyai konsep ideal yang harus direalisasikan. Hanya, kemampuan merealisasikan itu masih rendah. Banyak faktor penyebab yang saling mempengaruhi hal tersebut, antara lain masalah sosial dan ekonomi. Tapi yang paling utama kedagingan kita terlalu kuat.
Jika demikian, moralitas seperti apa yang akan dimiliki masyarakat?
Pancasila. Sebetulnya, standar nilai Pancasila itu sangat ideal. Jika semua sila Pancasila dijalankan, tentunya akan tercipta moralitas bangsa yang baik. Kita akan hidup rukun, saling menghormati dan toleransi. Tetapi yang terjadi kadang-kadang sebaliknya. Mengapa? Karena kita masih belum melepaskan nafsu keserakahan dan pementingan diri sendiri, padahal Pancasila diajarkan sejak SD. Oleh karena itu, kita perlu evaluasi ‘apakah konsep ideal yang sudah menjadi kenyataan? Apakah semua pihak saling menghormati? Apakah pendanaan semua proyek pembangunan di negeri ini dapat dipertanggungjawabkan?
Mengapa antara yang ideal dan riil itu tidak sinkron?
Karena nilai duniawi dan paham seperti sekularisme, individualisme, materialisme dan lain-lain sulit dihilangkan di era globalisasi ini. Paham-paham tersebut timbul seiring kemajuan teknologi.
Bagaimana kita mengimbangi nilai tersebut? Tentu dengan mengajarkan dan menanamkan nilai kekal Allah. Namun bila pengajaran hanya sampai di otak, tidak masuk di hati, itu pun belum cukup. Memang ada pengaruhnya, orang tahu kesalahannya, tetapi tidak mengubah hidupnya. Setiap individu bertanggung jawab terhadap apa yang telah diketahui dan diperbuatnya. Rasul Paulus pun telah mengingatkan hal itu dalam Roma bahwa manusia tanpa pertolongan Allah tidak akan mampu menjalankan ajaran itu, karena didalam dirinya ada hukum dosa, sesuatu kekuatan yang hanya teratasi dengan hukum Roh (Rom 7:25-8:2). Sehingga apa yang kita inginkan tidak sejalan dengan yang kita lakukan. Sebaliknya, yang tidak diinginkan, justru itu yang dilakukan. Paulus sendiri mengeluh. “Aku manusia celaka! siapa yang akan melepaskan aku dari tubuh maut ini? Syukurlah kepada Allah! Oleh Yesus Kristus, Tuhan kita.” (Rom 7:14-25).
Kita seringkali merasa harus kompromi dengan mengatakan, “yah, ini kan konsekuensi kemajuan zaman. Mau tidak mau kita harus ikut arus.”
Itu artinya kita melemparkan tanggungjawab kita kepada pihak lain. Kita memang pinter sekali melempar dan memindahkan tanggung jawab pribadi kepada massa, dengan mematikan kata hati nurani. Memang bukan berarti semua yang kini berkembang itu negatif. Kita tidak dapat menutup mata terhadap kemajuan-kemajuan yang ada. Hal-hal yang menuntut profesionalisme, itu positif. Dan untuk melakukannya dibutuhkan pemimpin yang berkualitas dan menjadi teladan di masyarakat. Contoh, bila sebuah perusahaan maju, itu karena pemimpinnya berkualitas dan memberi pengaruh positif kepada bawahannya. Memang tidak semua perusahaan seperti itu. Namun kenyataannya sebagian besar masyarakat kita merindukan pemimpin yang berkualitas dan dapat diteladani.
Bagaimana agar umat Kristen mempunyai standar moralitas yang tinggi dan mempunyai andil dalam pembangunan bangsa?
Setiap orang Kristen harus mengerti eksistensi dirinya. Ia memiliki dua dimensi, yaitu dimensi dunia tempat kita tinggal dan dimensi spiritual dimana kita memiliki kuasa damai dan sukacita Allah. Dimensi inilah yang memberi kita dwifungsi. Fungsi itu mencakup pelayanan kita kepada Allah dan sesama. Dan, salah satu wujud konkritnya adalah pelayanan yang mencerminkan nilai-nilai kekristenan di masyarakat. Mengapa itu tidak terjadi? Karena dedikasi kita rendah. Ajaran yang diterima seringkali tidak kita terapkan. Selain itu, kita tidak kurang melakukan eksposisi dan penggalian Alkitab yang mendorong kita untuk taat.
Sejak mahasiswa sudah dibina namun ketika alumni ‘hilang’. Mengapa itu bisa terjadi?
Adakah tanggung jawab pada kita masing-masing. Tanggungjawab kita adalah membina dan mengajar dengan benar dan baik. Kita dapat dapat belajar dari Yehezkiel yang mengatakan, kalau orang sudah diperingati namun tidak mendengar, mereka akan dihakimi. Jiwa mereka tidak lagi Tuhan tuntut dari Yehezkiel. Asal kita melakukan tugas pengajaran dengan setia, kita telah menjalankan tanggung jawab kita dalam Tuhan, meskipun ajaran tersebut tidak diterapkan.
Karl Barth merupakan satu teladan. Ketika menghadapi Nazi di Jerman, ia tahu yang harus dilakukan untuk mahasiswanya, yaitu teologi harus terus diajarkan. Ketika ditanya mengapa ia melakukannya, jawabnya adalah bahwa itu merupakan tanggungjawabnya. Bila ajarannya tidak dipraktekkan mahasiswa, itu tanggungjawab mereka pada Tuhan.
Dapatkah itu terjadi karena dunia mahasiswa adalah ‘dunia’ ideal, sedangkan dunia alumni adalah ‘dunia’ nyata ? Jadi wajar saja bila terjadi banyak benturan etika?
Saya juga sering membicarakan hal itu dan meminta kepada para alumni, juga kepada Akademi Leimena, kepada Perkantas dan lembaga-lembaga lain untuk memikirkan dan merumuskan pemahaman prinsip etika Kristen dalam bidang bisnis, khususnya tentang korupsi, komisi, dan sejenisnya. Tetapi belum terwujud sampai sekarang. Padahal, ini merupakan hal penting yang harus kita rumuskan bersama.
Mahasiswa setelah alumni diharapkan memiliki tiga hal, yaitu tinggi ilmu, tinggi iman dan tinggi pengabdian. Namun yang banyak adalah orang menonjol di satu sisi saja, ilmunya misalnya. Mengapa ini terjadi?
Ini sangat tergantung hati manusia! Apakah ia sangat mendewakan ilmunya? Bila kita hanya menonjolkan ilmu dan mengabaikan iman, dunia akan mengalami kerugian besar. Kondisi tersebut akan membuka peluang terjadinya segala macam praktek dan pelanggaran etika, moral dan nilai kemanusiaan. Misalnya: seorang ahli biologi yang tidak memperdulikan batas-batas manusia di bidang etis, moral dan spiritual akan melakukan percobaan tanpa batas. Rekayasa genetika contohnya. Para ilmuwan memang melakukannya dengan alasan demi perkembangan ilmu pengetahuan. Meskipun terjadi konflik nilai, mereka tetap mencobanya. Sebaliknya, orang-orang yang tidak meninggalkan iman, takkan melampaui batas etika Kristen sehingga percobaan-percobaan tertentu tidak dilanjutkan.
Apakah pelanggaran itu terjadi karena waktu yang digunakan untuk mendalai ilmu lebih banyak ketimbang mendalami moralnya?
Sekali lagi, hati manusia merupakan persoalannya! Allah menuntut kita untuk mengasihiNya dengan segenap hati, seperti yang tertulis dalam firman-Nya. Ini mutlak! Namun, ini pula yang sering kita lupakan! Padahal dengan tidak terkontrolnya hati manusia, temuan-temuan yang terjadi karena kecemerlangan otak manusia semakin menakjubkan dan sekaligus menakutkan. Kepala tikus sudah lama bisa diperbesar, bahkan telah ada metode cloning, yaitu menciptakan manusia sesuai ciri-ciri, karakter dan kepandaiannya yang diinginkan. Saat ini pun kita melihat persoalan lain yang makin parah. Semua ini menuntut pemecahan. Sebut saja masalah lingkungan hidup seperti lapisan ozon, limbah, sampah, polusi air, udara dan sebagainya terpampang di hadapan kita. Yang kita hadapi itu belum ada penyelesaian. Semuanya itu terjadi karena kemajuan teknologi manusia dan juga karena keterbatasan kemampuan manusia mencari jalan keluarnya.
Di ekstrem lain, banyak orang cenderung kembali ke agama. Mengapa?
Teologi itu tidak hanya menggumuli masalah-masalah agama. Teologia berusaha menjawab permasalahan kehidupan manusia termasuk zaman ini. Ini prinsipnya. Maka, jika teologi tidak diterapkan dan umat Kristen tidak lagi menyuarakan suara kenabian di masyarakat, kita benar-benar bersalah!
Beberapa orang yang mendalami teologi, sepertinya ‘kurang membumi’. Mengapa ini terjadi?
Kembali lagi, ini masalah hati manusia dan kesanggupannya untuk taat. Selain itu, bila teologi kita tidak ‘membumi’ kita harus introspeksi diri. Setelah mengetahui banyak hal bersediakah kita taat melakukannya? Seringkali apa yang diketahui, belum tentu kita lakukan, karena belum bersedia dipimpin Roh Kudus
Apakah yang dapat kita lakukan untuk mengembalikan moralitas yang ideal di zaman yang semakin maju ini?
Setia mengajar, menanam, dan membina anak-anak hingga dewasa, supaya mereka tidak kompromi dengan nilai-nilai dunia. Kita bisa melihat teladan dan loyalitas Daniel kepada Allah, ketika ditantang memilih antara setia dan asal selamat, tetapi menyangkal Allah. Daniel tetap setia kepada Allah. Daniel bisa saja menyelamatkan dirinya dengan pura-pura menyenangkan raja. Tetapi itu tidak dilakukannya. Demi loyalitas kepada Allah, Daniel memilih masuk gua singa. Ini harus diajarkan pada umat Kristen zaman sekarang.
Siapa yang harus mengajarkan hal ini?
Semua pihak! baik itu pelayan-pelayan gereja, dan para-church, atau kaum awam umat Kristen. Siapa pun yang mengakui dirinya pengikut Kristus harus melakukan tugas penting ini. Ini tidak bisa ditawar! Selain itu peranan kelompok doa untuk mendukung keberlangsungan pengajaran tersebut tidak dapat diabaikan.
Saran ibu bagi mahasiswa dan alumni beragama Kristen untuk mempertahankan moralitasnya?
Setia kepada Tuhan Yesus sambil berpegang teguh pada firman Allah tanpa kompromi. Itu saja! (10/06)