Sekalipun dari tahun ke tahun jumlah pria dan wanita yang hidup melajang semakin meningkat –baik di barat maupun di timur, termasuk Indonesia; meskipun usia menikah juga semakin bergeser ke sekitar tiga puluh tahun lebih, namun pandangan masyarakat bahwa satu-satunya cara hidup yang normal, sehat, lengkap dan absah adalah menikah; tetap menjadi patokan untuk menilai cara-cara hidup yang lain, termasuk melajang.
Sungguh tidak mudah bagi seseorang yang masih melajang di usia 30-40 tahun, untuk dapat bertahan di tengah masyarakat yang memiliki pandangan seperti di atas. Karena ketika usianya mulai menginjak tiga puluh tahun dan belum menikah, ia akan menghadapi berbagai tekanan dan reaksi negatif yang berasal dari pihak keluarganya, dari masyarakat dimana ia berada, maupun dari dirinya sendiri. Ia harus menghadapi berbagai pertanyaan, desakan, tuduhan, penilaian, serta upaya-upaya untuk menjodohkan dari keluarganya, khususnya dari orang tua yang kuatir, bingung dan malu apabila anaknya, terlebih wanita, pada usia tiga puluh belum memiliki calon teman hidup, atau belum menikah. Pada umumnya setiap orang ingin menikah. Ada cukup banyak orang yang ingin menikah, membuat target kapan mereka akan menikah. Mula-mula merencanakan untuk menikah paling lambat pada usia tertentu. Ketika tidak terjadi mereka mengubahnya, lalu ketika itu pun tidak terjadi mereka kemudian menundanya. Dengan berlaku demikian mereka berulangkali membuat diri mereka berada dalam keadaan gagal, kecewa, tidak percaya diri, putus asa, dan depresi. Semakin mendekati usia empat puluhan, semakin banyak kekecewaan-kekecewaan yang mereka hadapi, serta semakin mengetahui dan menyadari bahwa apa yang pernah diharapkan oleh mereka, semakin takkan pernah terjadi. Semua itu dapat membuat mereka menjadi frustrasi, menarik diri, rendah diri, dan apatis.
Situasi dan kondisi di atas juga dihadapi oleh warga gereja yang masih melajang, oleh karena sikap dan pandangan masyarakat pada umum tersebut, ternyata tampa disadari juga telah mempengaruhi sikap dan pandangan jemaat. Namun warga gereja yang melajang dapat memiliki hidup melajang yang sehat, bila ia menyadari serta mengimani bahwa ia adalah ciptaan Allah yang berharga, yang tujuan hidupnya adalah memuliakan Allah; mempunyai karunia menikmati dan bersyukur untuk semua berkat Tuhan (Pengkhotbah 5:17-19); memasrahkan diri sepenuhnya dalam Tangan Bapa yang mengetahui dan mencukupkan kebutuhan anak-Nya, termasuk kebutuhan akan seorang teman hidup. Ia akan memberikan teman hidup yang sesuai (bukan yang sempurna), menurut waktu dan rencana-Nya bagi setiap anak-anak-Nya. Kalaupun tidak, pasti Ia menyatakannya dan memberi kekuatan untuk percaya sepenuhnya bahwa “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatang kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Roma 8:28). Yang terpenting adalah hidup penuh kekuatan, berjalan bersama dengan Allah, dari hari ke hari dengan selalu mengutamakan Tuhan (Matius 6:32-34).
Terkadang muncul beberapa pertanyaan yang mengusik di hati, “Apakah orang yang hidup melajang itu identik dengan orang yang ‘aneh, sulit, dan antik’? Mengapa ketika kita berjumpa dengan seseorang yang ‘aneh, sulit, dan antik’ yang kebetulan masih melajang, dengan cepat dan mudah kesimpulan sebab-akibat tersebut diambil? Mengapa ketika kita berjumpa dengan seseorang yang telah menikah namun begitu ‘aneh, sulit, dan antik’, tidak muncul penilaian dan kesimpulan yang sama?”