Rohana Purnama Silalahi:
Hidup Melajang: Panggilan atau Pilihan?

Melajang atau menikah, mana yang dipilih? Masyarakat umum lebih menekankan bahwa setiap orang harus menikah karena perlu memiliki keturunan. Keharusan ini tergambar dari obrolan banyak kalangan, misalnya, “Mengapa si gadis A sudah umur kepala tiga belum menikah?” atau “Si pria B sudah kepala empat belum dapat menentukan siapa pacarnya,” dan masih banyak obrolan lainnya. Pemahaman ini diwarisi turun-temurun sehingga manusia pada usia yang dianggap dewasa (menurut latar belakang sosial budaya) diharapkan sudah menikah. Tidak dapat disangkal, orang yang mewarisi pemahaman ini kenal betul dengan perintah Tuhan kepada manusia pertama bahwa mereka patut beranak-cucu dan bertambah banyak serta memenuhi bumi. Tentu saja ada benarnya pemahaman tersebut. Akan tetapi, pemahaman ini kurang tepat karena penggalannya tidak diingat, yaitu “taklukan bumi”. Coba pandang bumi dan sekitarnya dengan ekor mata Anda. Mungkin kesan Anda dan saya sama yaitu bahwa “bumi sudah penuh”.

Bumi justru menderita oleh sesaknya manusia yang berdiri di atasnya. Kalau sudah begini, kita patut menanyakan apakah Tuhan tetap mewajibkan manusia untuk menikah. Bukti yang mendukung: Allah justru memberikan permasalahan lain yang berkaitan dengan pernikahan. Manusia semakin sibuk mengolah bumi sehingga tidak ada waktu untuk bersosialisasi. Manusia oleh karena kemajuan zaman dan teknologi dipaksa lebih selektif memilih sesuatu, termasuk teman hidup. Manusia, juga oleh karena kesulitan ekonomi merasa tidak mampu menghidupi anggota keluarganya sehingga memilih hidup melajang. Dan masih banyak masalah lain yang dihadapi. Masalah terus berkembang sejalan dengan tetap abadinya pandangan bahwa manusia harus menikah. Maka tak heran ada orang yang heran mendengar si A atau si B belum menikah. Kok bisa? “Ah, dia terlalu milih-milih,” tuding orang, seakan-akan dirinya tidak perlu menimbang-nimbang untuk memilih pasangan hidup. Daripada menuding, lebih baik kita menengok ke sisi Alkitab. Apa yang Alkitab katakan tentang hidup melajang?

Ketika menjawab topik perceraian kepada orang Farisi, Tuhan Yesus justru memunculkan masalah baru. Ia mengatakan, ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, atau kemauan sendiri maupun karena lawan jenisnya. Orang-orang seperti ini kemungkinan besar perlu memikirkan adanya panggilan Tuhan untuk hidup melajang.

Selanjutnya, Paulus juga membahas bahwa ada orang-orang yang dengan sengaja memilih hidup melajang. Mereka perlu menguji di hadapan Tuhan bahwa pilihannya itu merupakan karunia Tuhan baginya, yakni karena Kerajaan Sorga (Matius 19:11-12). Perkataan Tuhan ini telah membelalakkan mata para murid. Dari pernyataan yang bersifat “omong semaunya” (ayat 10), para murid dihadapkan pada tuntutan Tuhan untuk lebih melihat adanya karunia lain. Ya, karunia hidup melajang! Pemahaman kita memang terbatas untuk mengetahui siapa saja yang pernah hidup melajang karena sudah demikian dari rahim ibunya (misalnya karena cacat fisik/mental atau karena alasan lain). Di sisi lain, kita pun sering mendengar banyak orang yang pernah dikecewakan lawan jenisnya menyimpan kekecewaannya dan enggan memulai kembali hubungan yang baru. Ada juga yang tidak mau menikah karena trauma melihat bapak-ibunya bercerai. Namun, ada yang memang sengaja memilih hidup melajang. Sekarang, bagaimana dengan karunia memilih hidup melajang oleh karena Kerajaan Sorga?

Alkitab berbicara jelas tentang karunia hidup melajang untuk tujuan membina hubungan yang lebih dekat dengan Allah (1 Korintus 7). Paulus menjelaskan jika seseorang tidak memiliki karunia ini, maka lebih baik ia menikah saja (1 Kor 7:2). Jika seseorang oleh keadaannya “diarahkan” untuk hidup melajang, maka ia perlu meminta kepada Allah supaya mampu menjalaninya, dan produktif dalam menghayati ketentuan Allah (1 Kor 7:29-34). Ada dua keuntungan bagi orang yang sedang menggumulkan karunia ini, yaitu: hubungan yang lebih dekat dengan Allah dan keyakinan untuk dapat bekerja luas melayani Allah (1 Kor 7:35-40). Pembahasan ini membuka wawasan kita bahwa setiap orang yang sedang menanti kepastian untuk hidup melajang atau tidak, tidak perlu memiliki nilai diri yang rendah dibandingkan dengan mereka yang menikah. Mereka yang menikah disibukkan dengan urusan rumah tangga. Ia pun harus menuntaskan pilihan tersebut sampai ia dipanggil oleh Allah. Kelajangannya yang bersifat menanti ia hayati, dan ia percaya bahwa Tuhan mengerti kondisinya. Ia pun yakin, Tuhan akan melakukan yang terbaik dalam kondisi demikian. Ini adalah nilai positif atas kelajangannya. Pertanyaan banyak orang mengapa ia belum menikah dapat dihadapinya dengan besar hati.

Pemikiran ini membawa kita pada pengertian selanjutnya yaitu, bagi orang Kristen yang hidup melajang tidak dalam iman, dampaknya akan terasa buruk karena ia terus berupaya mencari alasan mengapa ia belum menikah! Atau kemungkinan paling buruk adalah ia tidak dapat mengembangkan diri dan membuat hidupnya kurang bergairah, bahkan mengundurkan diri dari pelayanan. Menurutnya, Tuhan bertindak tidak adil.

Dari manakah orang Kristen tahu bahwa ia berada dalam taraf “menunggu dan mencari kehendak Tuhan tentang apakah ia memiliki karunia melajang atau tidak?”, Paulus memberikan jawabannya. Pertama, seseorang yang tidak selalu dibakar oleh hawa nafsu (ayat 8-9) memberi petunjuk bahwa ia “memiliki karunia untuk hidup melajang” tetapi orang yang selalu dibakar hawa nafsu lebih baik menikah! Kedua, Paulus juga memberi petunjuk bahwa orang yang dapat menguasai diri dan tidak dalam keadaan terikat dengan lawan janis (ayat 37), juga “memiliki karunia hidup melajang”. Ini dapat diartikan bahwa seseorang yang masih melajang dan tidak termakan oleh pikiran harus menikah atau tidak dipusingkan dengan hubungan lawan jenis kemungkinan besar perlu memikirkan adanya panggilan untuk hidup melajang.

Selanjutnya, Paulus juga membahas bahwa ada orang yang memilih dengan sengaja untuk hidup melajang. Orang seperti ini juga perlu mencari kehendak Tuhan bahwa pilihannya itu adalah karunia Tuhan baginya. Dalam hal ini, tidak ada tempat bagi orang Kristen yang ingin melajang hanya karena takut punya anak, takut dikecewakan pasangannya, atau karena merasa tidak mampu mengatur rumah tangga, dll. Hidup melajang semata-mata karena kehendak Tuhan.

Kasus lain yang dibahas oleh Paulus tentang hidup melajang adalah adanya orang yang ingin menikah, tetapi keadaan memaksanya untuk melajang. Di sini ia harus menyadari bahwa hal itu pun merupakan karunia Tuhan. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan Tuhan Yesus dalam Matius 19:11-12 yang sudah dikemukakan diatas.

Harus menikah, bukanlah prinsip yang alkitabiah. Hidup melajang pun sama derajatnya dengan menikah. Pilihan untuk melajang sama-sama harus digumulkan seperti dalam pernikahan. Status melajang (tidak/belum menikah) harus diisi dengan aktivitas yang sesuai dengan panggilan-Nya. Kalaupun status melajang merupakan keputusan akhir, itu tidak boleh mematikan semangat melayani Tuhan. Hidup melajang memberi kesempatan kepada orang yang bersangkutan untuk menikmati persekutuan dengan Tuhan secara lebih mendalam dan paling unik.

————————————

Penulis adalah alumnus Institut Pertanian Bogor dan Singapore Bible College. Sejak 1987 sampai sekarang bekerja sebagai Staf Siswa-Guru di Persekutuan Pembaca Alkitab (PPA).

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 pemikiran di “Hidup Melajang: Panggilan atau Pilihan?”