Antara wanita karier dan wanita tidak menikah mempunyai pengertian dan ‘bobot’ sendiri-sendiri, Seorang wanita harus memandang hidup karya secara serius, sebagai bagian dari dirinya sendiri dan bagian dari kepercayaannya. Untuk mengambil keputusan dirinya sendiri dan bagian dari kepercayaannya. Untuk mengambil keputusan seorang wanita harus mengenal, mencintai dan menghormati dirinya sendiri. Ia harus mengenal dunia tempat ia berkarya dan memilih: perkawinan, membesarkan anak atau hidup melajang.
Langkah pertama yang penting bagi seorang wanita (muda) untuk mencoba memenuhi panggilannya adalah percaya, beriman dan mengetahui bahwa ia memiliki kebebasan memilih, termasuk memilih menikah atau tidak menikah (baca: melajang). Memang kebanyakan orang dewasa menempuh hidup menikah. Tetapi itu bukan berarti bahwa hidup melajang adalah penyimpangan. Melajang juga merupakan suatu pilihan.
Sebagaimana masyarakat (juga karier) mempunyai ruang untuk mereka yang menempuh hidup nikah demikian juga masyarakat (juga karier) perlu menyediakan ruang bagi merek yang hidup melajang.
Yesus Kristus Tuhan kita Rasul Paulus, Nabi Yeremia, Pascal, Erasmus adalah pria yang hidup melajang. Sedangkan Florence Nightingale dan Ibu Theresia adalah wanita yang melajang.
Wanita yang melajang cukup banyak segi positifnya. Ia mempunyai banyak waktu karena tidak terikat pada kewajiban-kewajiban sebagai anggota keluarga, lebih banyak kesempatan pengembangan diri untuk karier, profesi, pelayanan gerejawi atau pengabdian kepada masyarakat.
Dalam hal ini, pakar ilmu jiwa Erik Erikson mengatakan bahwa salah satu ciri kedewasaan adalah sifat generativitas. Ini jangan diartikan berproduksi atau berkembang biak secara biologis, melainkan pengembangan mutu hidup bagi generasi selanjutnya. Wanita karier yang melajang pun bersifat generatif yang artinya dapat mewariskan atau menyalurkan kecakapan, pengetahuan dan nilai-nilai hidup kepada generasi selanjutnya. Bahkan wanita yang melajang mungkin dapat melakukan pewarisan itu dengan lebih ampuh dan dengan jangkauan yang lebih luas.
Dari sudut itu kita melihat peran wanita yang melajang yang membaktikan hidupnya untuk kesejahteraan manusia seperti Ibu Theresia dan Florence Nightingale yang disebut di muka. Orang-orang itu hidup sendiri, tetapi mereka tidak hidup untuk diri sendiri melainkan untuk kalangan luas. Siapa yang dapat menyangkal besarnya peranan mereka untuk umat manusia?
Sayang di negara kita ini masih ada kecenderungan meremehkan wanita yang tidak menikah. Orang perlu merasa bahagia walaupun tidak menikah. Kita tidak bisa memandang wanita yang melajang sebagai orang yang eksentrik, tidak laku, ada kelainan, atau orang yang dikasihani. Gambaran begitu harus dihapus dari pikiran masyarakat apalagi gereja, sebab baik hidup menikah maupun hidup melajang adalah hidup yang utuh, penuh dan wajar. Janganlah arti hidup manusia diukur dengan hal menikah atau tidak. Yesus Kristus bersabda dalam Mat. 19:12 berbunyi, “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena kerajaan sorga.”
K. H. Soekamto Redjahandaja