Ruth Yuni Imanti:
Kepribadian Penginjilan

Pembaca sekalian, judul di atas diberikan kepada saya dan saya tuliskan kembali di sini apa adanya. Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk memberi gambaran dari sudut pandang psikologis tentang karakterstik pribadi yang sesuai untuk konteks Indonesia dalam menjalankan misi penginjilan. Saya tidak cukup waktu untuk menemukan judul lain dengan makna yang sama, tetapi pada intinya apa yang akan dibahas diharapkan dapat memperkaya wacana pembaca sekalian mengenai profil kepribadian profesional yang diharapkan cukup efektif menjalankan misi amanat Agung Tuhan Yesus di tengah bangsa ini.

Seperti diketahui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat plural. Secara sosial politik demokratisasi di Negara kita masih dalam suatu proses yang terus mengalami pergesekan di antara kelompok SARA maupun kelompok politik dan institusi. Ditambah pula dengan kepemimpinan di Negara ini yang kekurangan figur moral serta kenyataan bahwa praktek penegakan supremasi hukum yang masih berdarah-darah, maka banyak aspek yang dibutuhkan seorang Kristen untuk mampu bersikap bijaksana. Misi penginjilan di tengah situasi kompleks dengan persoalan yang sedemikian rumit memang sesuai dengan apa yang Tuhan katakan bahwa misi penginjilan seperti kehidupan domba di tengah serigala. Oleh sebab itu kebutuhan penginjilan di Indonesia menuntut seseorang selain berbicara tentang Kristus juga mampu meyakinkan para pendengar Injil bahwa pewarta Kristus merupakan bagian dari solusi ke arah perubahan peradaban masyarakat yang lebih bersifat global –tidak terbatas hanya pada lingkungan ‘gereja’-. Masyarakat membutuhkan proses penginjilan yang tidak hanya berbicara di ranah pribadi yang sempit, sehingga memiliki gaung yang nyata sebagai solusi atas kerumitan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keagamaan yang tidak memberi solusi, atau bahkan menambah kerumitan masalah sosial dipahami sebagai penginjilan yang ‘gagal’. Karena dari sudut pandang Alkitab sendiri, orang kristen diharapkan mengusahakan kesejahteraan bersama, menjadi garam dan terang yang membawa misi damai. Dengan demikian pada saat penginjilan menyentuh ranah pribadi, maka penguasaan seseorang mengenai konteks sosial politik merupakan kriteria persyaratan pribadi yang sangat penting dimiliki pada saat injil diberitakan, agar proses penginjilan berjalan efektif dan bukannya justru menjadi sumber konflik. Dengan kata lain orang Kristen di Indonesia membutuhkan kompetensi keterampilan sosial budaya yang unik, sehingga pada saat Injil diberitakan melalui kehidupannya, ia tetap mensuport suasana yang makin maju dalam berbangsa dan bernegara. Ia mampu mewartakan Kristus sebagai solusi bagi Indonesia.

Saya setuju dengan apa yang Stephen R. Covey tuliskan di dalam buku The 8th Habit, bahwa kita diciptakan oleh Tuhan untuk mempertanggungjawabkan diri kelak dengan menjalankan suara pribadi dan membantu orang lain untuk menemukan suara mereka. Setiap manusia diberikan tujuan inheren saat ia diciptakan, dan ia berkewajiban untuk menjalankan keutuhan pribadinya meraih tujuan tersebut dengan mengembangkan karakteristik kepemimpinan dalam dirinya. Istilah agent of change, oleh Stephen R. Covey disederhanakan dalam definisi di atas, yaitu dengan membantu orang lain menemukan suara mereka. Menurut konsep yang ia kembangkan tersebut, orang-orang yang telah menemukan ‘suara’ dalam diri mereka masing-masing secara otomatis ‘berhak’ menjalankan panggilan nurani untuk melakukan misi kemanusiaan di dalam hidup mereka. Panggilan nurani bukanlah kewajiban, melainkan hak. Jika suara tersebut tidak dijalankan, maka dampak buruk yang dirasakan adalah pada dirinya sendiri, buah-buah dari pertanggungjawaban tentang makna hidup manusia di hadapan Sang Pencipta. Manusia yang terpanggil dan diberi hak menjalankan panggilannya akan menuai seuai dengan apa yang ia taburkan. Jika panggilan itu tidak dijalankan, maka pada dasarnya ia tidak menjalankan hak seutuhnya sebagai manusia yang telah mendapatkan anugerah panggilan Allah untuk misi kerajaan-Nya.

Kepemimpinan adalah sebuah pilihan yang membantu orang semakin mengenal panggilan hidup mereka sesuai kehendak Allah, yang dalam istilah Covey hidup dengan panggilan nurani berdasarkan prinsip. Covey terkenal sebagai ahli manajemen yang merumuskan konsep pribadi efektif secara sistematis. Ia menempatkan pirnsip dan nurani sebagai pusat kehidupan manusia utuh. Dalam pandangan kekristenan, nurani adalah tempat di mana kesadaran spiritual bertumbuh dan mengkoreksi seluruh aspek hidup dalam suatu proses saat menjalankan kehendak Allah. Sigmund Freud menyebutnya dengan istilah Superego. Akan tetapi dalam pemahaman Freud, superego bisa menjadi sumber penyebab penyakit jiwa jika dinamikanya tidak dikelola dengan baik oleh kesadaran manusia. Sedangkan nurani memiliki pengertian bahwa superego yang mengontrol perilaku yang berkonotasi seharusnya, tidak lagi dimaknai sebagai sebuah pemaksaan, melainkan telah ‘berubah’ menjadi makna hidup. Makna hidup tidak memaksa seseorang secara negatif sebagaimana superego bersifat ‘hanya memaksa dan memberi tekanan’, melainkan mengubah ‘apa yang harus’ itu menjadi ‘apa yang sebaiknya’ untuk dilakukan. Pribadi yang menjalankan makna hidup kemudian dikenal sebagai pribadi yang bertanggungjawab. Ketika manusia menjalankan misi panggilannya, maka ia dikatakan sebagai pribadi yang mampu menjalankan tanggungjawabnya sebagai manusia.

Makna hidup adalah suatu hasil ramuan antara kesadaran pribadi dengan suatu kerinduan untuk mengubah sesuatu di luar diri bersesuaian dengan prinsip kehidupan yang absolute. Kebenaran Allah adalah absolute. Keselamatan dan dosa adalah absolute. Proses pemaknaan bahwa Yang absolute menjadi mercusuar hidup kita membuat kehendak Allah bukan lagi diartikan sebagai paksaan dari luar melainkan tertransformasi ke dalam diri menjadi kebutuhan internal diri. Pada saat kehendak Allah menjadi kebutuhan diri, di sinilah kesadaran terbentuk, sehingga jika seseroang tidak melakukan panggilan kesadaran itu, ada perasaan bersalah akan muncul bahkan lebih jauh menjadi suatu perasaan tak bermakna. Kebermaknaan tersebut tidak ditentukan dari suatu pemuasan kepentingan pribadi melainkan kepentingan yang lebih luas karena Yang absolute tadi akan menjadi hakim. Oleh Covey, kepatuhan pada yang absolute disebut sebagai ketaatan pada prinsip. Dampak dari pelanggaran prinsip akan dialami oleh kita sendiri sebagai suatu konsekuensi hukum tabur-tuai. Kita sendiri yang akan menuai ketidakbahagiaan karena kita telah mengabaikan bagaimana kebahagiaan itu harus diwujudkan melalui kita di tengah hidup bersama orang lain. Jika injil tidak diberitakan, kerajaan Allah tidak dialami oleh kita pula, namun jika injil diberitakan kerajaan Allah dinyatakan, bapa dimuliakan dan kita berbahagia.

Tidak bisa dipungkiri bahwa untuk menjalankan komitmen untuk menjalankan makna hidup atas panggilan menjalankan kehendak Allah yang mengarah pada proses transformasi sosial. Oleh sebab itu kematangan emosional sangat dibutuhkan. Pemahaman sebagaimana yang telah dibahas bahwa penguasaan konsep masyarakat plural jadi sebuah keharusan dalam melakukan interaksi sosial termasuk penginjilan, dalam praktiknya perlu diwujudkan dalam sekumpulan perilaku memiliki kriteria tertentu. Sekumpulan perilaku ini tergolong sebagai kompetensi sosial. Kompetensi sosial terdiri dari: Kepekaan sosial, wawasan sosial yang luas, kemampuan komunikasi yang efektif, jejaring, negosiasi, diplomasi dan rasa keadilan, semangat kebangsaan. Jika disimpulkan, maka sekumpulan perilaku tersebut terdiri dari konsep sosial, sikap sosial dan kemampuan kerja sama yang efektif.

Ketika menjalankan panggilannya, orang Kristen perlu memiliki konsep yang tepat mengenai siapa yang ia layani. Jika tidak maka ia akan menabrak atau melakukan hal yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Pemgetahuan membuat orang berhikmat dan memilih pendekatan yang tepat. Konsep yang utuh tentang siapa masyarakat Indonesia membuat proses penginjilan tidak dalam rangka mencari gara-gara, tetapi merupakan upaya pendekatan untuk mengambil bagian penting dalam proses transformasi sosial ke arah yang lebih maju. Dalam praktiknya konsep sosial yang komprehensif membuat orang Kristen tidak di-cap sebagai orang yang kurang pergaulan, yang tidak menarik.

Hal kedua adalah sikap sosial. Pemahaman bahwa orang Kristen adalah yang dipilih sering kali membuat konsep diri orang Kristen bergeser atau menjadi berat sebelah. Ia gagal menempatkan diri sebagai sesama bagi orang lain yang belum percaya. Sikap arogan dan merasa yang paling benar kemudian menempatkan orang lain dalam posisi lebih rendah. Mereka diasumsikan selalu salah dan orang yang menginnjili adalah benar, sehingga sikap yang muncul adalah kurang berempati dan tidak bisa mendengar. Sikap sosial semacam ini jangankan dalam berbicara injil, dalam komunikasi biasa pun sudah menjadi sumber konflik. Meskipun orang Kristen meyakini kebenaran dalam Kristus sebagai sumber keselamatan, sikap yang muncul terhadap keyakinan orang lain dengan cara yang tidak simpatik justru membuat kekristenan menjadi tidak menarik. Untuk masuk ke dalam kehidupan inti seseorang, maka komunikasi yang dilakukan berlapis-lapis. Jika di permukaan saja orang Kristen sudah gagal menampilkan sebagai pribadi yang ramah dan rendah hati, maka makin sulit orang lain mempercayai kebaikan dan kebenaran yang diyakini oleh orang Kristen. Mendengar dan bersikap empati tidak selalu berarti setuju. Tetapi empati dan sikap mendengar membangun sikap saling percaya. Dengan saling percaya komunikasi terbuka dan dimungkinkan untuk terjadinya dialog secara mendalam. Ini adalah pintu terbukanya pemberitaan injil. Bahwa kemudian orang tersebut tidak memilih kebenaran yang kita bagikan, itu sebuah proses yang berikutnya, tergantung bagaimana karunia Roh Kudus bekerja untuk membuat orang tersebut memilih Kristus dalam hidupnya. Dalam proses dialog inilah dapat ditemukan hal-hal yang menjadi keprihatinan bersama sebagai sesama anak bangsa.

Hal terakhir adalah efektivitas bekerja sama. Berkaitan dengan sikap positif yang dimunculkan pada sikap sosial, maka sikap positif itu perlu dipertahankan untuk membangun komitmen demi kepentingan (kesejahteraan) bersama. Keprihatinan bersama yang diidentifikasi memalui dialog harus ditindaklanjuti dalam bentuk program kemasyarakatan yang berkesinambungan. Saat orang Kristen ikut mengambil peran dalam membangun kemajuan berbangsa lewat program kemasyarakatan, ia tidak bisa bekerja sendiri. Begitu banyak aktivitas sosial Kristen yang dituduh sebagai pola kristenisasi. Hal itu disebabkan oleh kurangnya koordinasi dan pelibatan setiap pihak yang berkepentingan. Untuk bisa bekerja sama secara efektif, dibutuhkan kemampuan berorganisasi dan manajerial agar setiap sumber daya yang ada dikelola dengan tepat dan terpercaya. Tingkat kepercayaan yang sudah dibangun lewat komunikasi empatik perlu dipelihara melalui kerja sama yang efektif sehingga orang Kristen menjadi bagian tak terpisahkan dari lingkungannya. Oleh sebab itu keterlibatan orang Kristen secara aktif dibutuhkan di setiap lapangan kehidupan, sebagaimana prinsip bahwa terang tidak diletakkan di bawah melainkan di atas gantang. Dengan demikian, maka injil diberitakan untuk memberikan solusi bagi bangsa, bukannya justru menjadi sumber konflik.

_______
*Ditulis oleh Ruth Yuni Imanti, Psikolog dan Redaksi Majalah DIA

** Diterbitkan dalam majalah Dia edisi Maret tahun 2010

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *