Kepemimpinan sejak zaman dulu menjadi isu yang selalu relevan, hingga ada tulisan yang mengatakan bahwa pemimpin itu dibentuk dan bukannya dilahirkan.
Ketika kata pemimpin mengacu pada status orang yang memiliki otoritas, maka kata kepemimpinan merujuk pada karakter yang dimiliki terutama oleh pemimpin, tetapi juga dapat dimiliki oleh mereka yang tidak memiliki status tertentu. Karakter terbentuk karena proses pendidikan, baik yang bersifat formal maupun informal.
Dalam teori klasik pendidikan yang dituliskan oleh John Locke, dikatakan bahwa seorang anak adalah bagaikan kertas putih, di mana keluarga dan masyarakat menjadi penentu tulisan apa yang akan dicatatkan di sana. Apa yang dituliskan tersebut menjadi bangunan dasar kepribadian seorang individu hingga masa dewasa. Pendidikan yang baik akan menekankan pembentukan karakter sebagai pondasi kepribadian, sehingga kepribadian yang berkarakter memiliki pengaruh yang positif bagi lingkungan di mana pribadi tersebut berada. Sebagaimana ilmu sosial klasik lainnya menyatakan bahwa keluarga adalah masyarakat terkecil, maka kesiapan seorang pribadi untuk hidup bermasyarakat sangat ditentukan oleh kesiapannya yang dibangun di keluarga.
Pelopor pembaharuan
Kesiapan sebuah keluarga untuk membangun pribadi di dalamnya menjadi sosok yang berkarakter menjadi sebuah tanda tanya besar. Siap atau tidaknya seseorang membangun keluarga sangatlah subjektif. Kekerasan dalam rumah tangga menjadi salah satu contoh, bahwa ada persoalan yang tidak dapat diatasi dengan dialog. Salah satu penyebab kekerasan adalah perasaan frustrasi yang tidak dapat dikelola secara konstruktif. Beberapa teori psikologi menyatakan, bahwa kekerasan adalah sifat dasar manusia, yang didorong oleh life and death instinct. Kebudayaan kemudian membetuk rupa sifat dasar tersebut ke dalam bentuk yang lebih halus, sehingga tidak berdampak merusak. Alkitab mencatat bahwa kemarahan itu diijinkan, asalkan tidak menjadi dosa. Namun sayangnya, keluarga dibangun oleh pribadi yang sedang bertumbuh atau selalu mengalami proses perubahan, sehingga potensi kekerasan itu selalu ada. Kekerasan dalam keluarga tidak selalu dalam bentuk kekerasan fisik. Banyak kejadian nyata yang memperlihatkan bahwa kekerasan yang bersifat mental dan psikologis memberi dampak sangat buruk pada pembentukan kepribadian dan karakter seseorang. Pribadi yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga dengan kekerasan pasti memiliki masalah di dalam karakternya. Masalah karakter ada yang berbentuk kepahitan, dendam, tidak percaya diri yang kompleks ataupun masalah lainnya. Semua permasalahan ini pada intinya dapat menghambat proses pembentukan visi di dalam diri seseorang. Pribadi yang sibuk dengan masalah pribadinya akan lebih banyak menghabiskan energi untuk diri sendiri, bukan untuk orang lain atau sesuatu yang di luar dirinya. Ia akan kesulitan untuk mempersiapkan diri terhadap perubahan, dan cenderung akan menjadi korban perubahan. Oleh sebab itu, kemenangan atas masalah pribadi harus dimiliki, sehingga seseorang yang terlahir dari keluarga mana pun tidak akan menjadi beban bagi masyarakat dan peradaban, melainkan justru menjadi pelopor pembaharuan.
Kunci perubahan dalam keluarga: pengenalan akan Allah
Dalam injil yang ditulis oleh Matius 16:2-3, Tuhan Yesus menasihatkan bahwa para muridnya harus dapat membaca zaman. Membaca zaman berarti memahami secara cerdas perubahan apa yang terjadi dan menyiapkan kapasitas diri agar tidak tergerus zaman. Pada masa itu, banyak orang disesatkan oleh ilah zaman ini (2 Kor 4:4); dalam bentuk yang sebagaimana tertulis di dalam 2 Tim. 3:1-7, bahwa manusia akan mencintai dirinya sendiri, menjadi hamba uang, pembual, menyombongkan diri, pemfitnah, memberontak kepada orang tua, tidak tahu terima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti nafsu daripada menuruti Allah, dan secara lahiriah menjalankan ibadah tetapi memungkiri kekuatannya. Situasi ini harus diatasi, bukan hanya sekadar dikritik dan disesali. Oleh sebab itu, pada akhir zaman, orang percaya diharapkan dapat tampil sebagai sekelompok jamaah yang “mengusung iring-iringan pengantin”, yaitu menjadi bagian dari rombongan surgawi. Apapun perubahan yang terjadi, tujuan akhir manusia tidak berubah, yaitu memuliakan Allah hingga akhir hidupnya, bukannya justru menyatakan kebodohan bagi semua orang dengan menjalankan kesesatan.
Keluarga Kristen harus mampu menghasilkan sosok-sosok visioner yang menyatakan Kerajaan Allah. Merujuk dari apa yang tertuang di dalam surat Paulus kepada Timotius, maka karakteristik keluarga yang menghasilkan pemimpin rohani masa depan seperti Timotius adalah pengenalan akan Allah yang baik melalui pengajaran tentang kitab suci yang kuat sejak kecil. Catatan rasul Paulus ini tampaknya begitu sederhana. Jika diperhadapkan dengan isu kekerasan di dalam keluarga, bagaimana catatan ini menjadi sesuatu yang relevan bagi keluarga Kristen masa kini? Jawabannya sangat mudah, ketika keluarga bertumbuh di dalam pengenalan akan Allah, maka nilai-nilai kasih akan mendasari pembangunan keluarga tersebut, sehingga potensi kekerasan dapat diolah bukan untuk menjadi destruktif, melainkan konstruktif. Energi instinktif kekerasan yang dimiliki masing-masing pribadi dapat disalurkan menjadi kekuatan bersama untuk menghasilkan pembaharuan dan perubahan.
Keluarga dan suara kenabian
Untuk melahirkan pribadi yang visioner, maka keluarga pun harus memiliki kapasitas itu. Peran prophetic sangat penting dimiliki oleh orang tua yang menjadi cikal bakal berdirinya sebuah keluarga. Peran prophetic atau kenabian adalah kesanggupan untuk menyatakan dan menjalankan kebenaran di tengah perubahan zaman apapun. Untuk menjalankan kebenaran Allah, maka Dia bekerja melalui visi yang dikaruniakan kepada setiap pribadi sesuai dengan tujuan Allah menciptakan manusia. Perkawinan yang dibangun tidak dengan visi dan misi yang jelas, tidak akan mampu menghasilkan pemimpin yang bervisi pula. Suami dan istri ketika membangun keluarga harus menyadari bahwa mereka menikah adalah demi menjalankan misi Allah melalui perkawinan mereka. Sesuai dengan ketetapan dari janji perkawinan gereja, maka jika mereka dipercaya untuk memiliki anak, harus mendidiknya dalam kebenaran. Mendidik mereka dalam kebenaran tentu saja membangun pribadi yang takut akan Allah, sehingga mereka berhikmat untuk menjalankan misi kenabian di dalam perjalanan hidup mereka. Orang tua yang berhasil mendidik anak mereka untuk memiliki karakter kenabian berarti telah menjalankan fungsi kenabian di dalam keluarganya.
Keluarga: tempat Tuhan membentuk dan mendewasakan
Bagaimana jika keluarga itu sudah terbentuk, karena tidak seorangpun dapat memilih dilahirkan dari keluarga seperti apa? Dalam artikel sebelumnya saya menuliskan bahwa, “Kemampuan seseorang memahami pembentukan Allah melalui keluarga dengan karakteristik apapun, adalah hikmat utama sebagaimana dikatakan Amsal, bahwa permulaan hikmat adalah Takut akan Allah.” Tulisan ini mengandung makna bahwa cara Tuhan membentuk kepribadian dan kepemimpinan seseorang juga melalui masalah yang ada di dalam keluarga. Keberhasilan seseorang meresponi setiap permasalahan keluarga dengan hikmat Allah menjadi bekal kuat baginya untuk menghadapi tantangan yang lebih besar. Tuhan tidak pernah salah menempatkan seseorang di dalam keluarga manapun. Semua tergantung bagaimana persekutuannya dengan Roh Kudus mampu memaknai dan menjadi subjek, bukan korban dari masalah tersebut. Kekuatan yang terbentuk melalui proses mengenali kehendak Allah di dalam situasi keluarga manapun membangun cara berpikir visioner, dan secara mental juga dikuatkan untuk mengupayakan agar hanya Roh Kudus yang bekerja di dalam pribadi untuk mewujudkan visi yang dikaruniakan kepadanya. Langkah praktis keluarga untuk menghasilkan pribadi yang memiliki kemampuan membaca zaman antara lain sebagai berikut:
- Hidup di dalam Firman Allah, yang tidak hanya sekadar memiliki kebiasaan membaca dan merenungkan Firman Allah, tetapi juga ditindaklanjuti dalam monitoring penerapan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
- Komunikasi yang baik serta proses rekonsiliasi untuk menyelesaikan setiap permasalahan dan kepahitan masa lalu di dalam keluarga. Dalam proses ini, terjadi pemulihan, di mana pribadi di dalam keluarga harus berhenti mempersepsikan dirinya sebagai korban situasi, dan berubah untuk mendapatkan pelajaran terbaik tentang pembentukan Allah melalui situasi tersebut.
- Mendiskusikan dan mengatasi potensi kekerasan untuk menjadikannya kekuatan konstruktif, misalnya melakukan komitmen bersama untuk orang lain (proyek pelayanan), agar setiap pribadi memiliki semangat untuk menjadi subjek perubahan dan bukannya korban perubahan.
- Mendiskusikan dan mengevaluasi visi pribadi masing-masing sesuai karunia Allah, dan saling memberikan dukungan.
- Mendiskusikan masalah sekitar dan memulai sesuatu sebagai keluarga untuk menciptakan perubahan.
Kiranya masing-masing kita menjadi anggota keluarga yang dipakai Allah untuk mengadakan perubahan dan pembaharuan, baik di dalam keluarga, masyarakat, tempat kerja, gereja, maupun bangsa. Tuhan memberkati.
——–
*Penulis adalah konsultan HR, Ruth Yuni T. Imanti, saat ini melayani sebagai majelis jemaat di GPIB Petra Bogor
** Diterbikan dalam majalah Dia edisi III tahun 2013