Rambut saya sudah memutih, itulah yang saya lihat saat bercermin. Usia telah membuat proses ini terjadi tanpa bisa dihindari dan dicegah. Perubahan yang bersifat alamiah tidak bisa ditahan, mungkin bisa diperlambat di sebagian aspek. Akan tetapi, upaya untuk melakukan ini hanyalah menghabiskan waktu. Menjadi tua dan terlihat kurang segar bukanlah perubahan yang diinginkan. Dalam kondisi seperti ini, manusia menjadi korban perubahan. Akan tetapi, benarkah istilah menjadi korban selalu bisa dipakai dalam kondisi seperti ini? Bukankah kadang kala manusia menikmati pula perubahan menjadi tua sebagai sesuatu yang berharga karena pengalamannya? Rambut putih saya bisa menjadi modal untuk membangun citra kematangan pada saat saya menjalankan peran sebagai seorang konsultan atau pengajar. Perubahan alamiah bisa membuat kita tidak menjadi korban saat kita mengubah sisi pandang dari yang hanya satu sisi menjadi sisi lain, dari yang sempit menjadi lebih luas, dari yang picik menjadi bijaksana.
Perubahan sering kali dibutuhkan. Dulu saat pulsa HP begitu mahal, saya berharap sekali bahwa suatu ketika bisa menjadi murah. Daripada sekedar mengganti-ganti nomor demi mendapatkan operator yang murah, saya ‘menunggu’. Dan ternyata memang benar, operator telepon selular yang saya pakai mengubah kebijakan harga mereka demi kelangsungan bisnis mereka. Segala upaya dilakukan oleh perusahaan operator saya, sehingga justru mereka tetap memiliki pelanggan terbesar. Upaya mempermurah pulsa hanya salah satu hal yang mereka lakukan untuk tidak kalah dalam persaingan. Mereka cukup berhasil untuk tidak menjadi korban perubahan. Saat situasi sekitar bergerak maju, jika tidak ikut maju maka kita akan tertinggal. Tetapi bergerak bisa juga mundur atau bergerak lebih lambat. Bergerak atau berubah membutuhkan arah dan strategi yang tepat. Saat seseorang terus mengikuti perubahan mode misalnya, maka ia bukannya menjadi subyek atas perubahan, tetapi tetap menjadi korban, karena ia menjadi konsumtif dan tidak memiliki kebebasan untuk memiliki posisi yang menentukan di lingkungannya.
Menjadi subyek perubahan bukan sekadar tidak diam agar tidak dimakan perubahan, tetapi ia bisa menentukan perubahan yang tepat ke arah yang tepat dan dengan cara yang tepat pula. Tidak menjadi korban perubahan membutuhkan kekuatan spiritual dan mental agar bisa mengidentifikasi serta berupaya memilih langkah tepat yang perlu dituju. Kita harus bisa memilah bahwa ada yang tetap dan ada yang bisa diubah, supaya perubahan bisa dikendalikan menjadi sesuatu yang tidak melemahkan inti kemanusiaan.
Berbicara tentang masyarakat, perubahan menjadi sesuatu yang dipastikan tidak bisa dihindarkan. Proses interaksi nilai-nilai dan kondisi sosial yang berubah berlangsung secara dinamis dan sulit dikontrol. Sebab manusia di dalamnya sebagai bagian dari sistem adalah organisme yang senantiasa berubah. Manusia mencari proses keseimbangan, namun setelah keseimbangan tersebut tercapai, maka ia akan mencari ketidakseimbangan baru sebagai bagian dari spiritualitas manusia yang terus menemukan makna baru dalam hidupnya. Meskipun manusia itu berusaha diam, perubahan yang terjadi di sekitarnya pasti memicu suatu ketidakseimbangan baru, yang mendorongnya untuk terus menemukan makna baru. Manusia hidup untuk bermakna. Tanpa makna manusia tidak punya motivasi.
Di satu sisi manusia mencari situasi aman dan nyaman, karena dengan situasi ini kreativitas muncul dan kebutuhan mendasarnya terpenuhi. Dalam situasi aman dan nyaman, seseorang tidak mengalami tekanan dan merasa bahagia. Tidak jarang seseorang mengejar status dan level ekonomi yang mapan demi mendapatkan rasa aman dan nyaman. Dan memang itulah salah satu indikator kesuksesan seseorang: hidup mapan. Sebagaimana kisah tentang Abraham yang diutus Allah untuk keluar dari Ur Kasdim meninggalkan kemapanannya demi memperoleh sesuatu yang lebih bermakna dalam hidupnya (menjadi Bapa orang beriman), maka ternyata kemapanan bukanlah indikator utama dari MAKNA HIDUP seseorang di mata Sang Pencipta. Bukti Pemeliharaan Tuhan ternyata tidak HANYA berupaya kecukupan materi dan rasa nyaman (mapan), tetapi kesanggupan untuk menjalankan misi. Dalam perjalanan hidup manusia, ketika seseorang sudah merasa mapan, maka ia tidak lagi merasa membutuhkan Allah, karena merasa segala sesuatu berada dalam kendalinya. Allah menghendaki bahwa di dalam hidupnya manusia yang benar dan setia justru ditentukan oleh indikasi kebergantungan semakin kuat dengan Allah. Ini adalah indikator kesuksesan rohani. Dalam situasi ini keamanan dan kenyamanan tidak berbasis pada kontrol manusia atas dirinya sendiri, akan tetapi berlandaskan kontrol Allah sepenuhnya. Dan dalam kontrol Allah tersebut, manusia harus menjalankan misi hidup. Misi berarti menciptakan perubahan menuju apa yang Allah mau untuk terjadi. Allah mau agar Ia dipermuliakan oleh seluruh ciptaannya di bumi.
Menjalankan misi dalam kehidupan sosial berarti melakukan sebuah proses yang disebut transformasi. Transformasi adalah perubahan yang mendasar, meliputi paradigma dan arah hidup. Perubahan yang tidak hanya bersifat fisik di permukaan, melainkan juga perubahan yang fungsional. Transformasi adalah hasil belajar yang bersifat permanen. Ia bukan perubahan sementara untuk kepentingan tertentu pada suatu upaya memenuhi kepuasan jangka pendek semata. Transformasi mengubah struktur pemaknaan bahkan struktur watak manusia, sehingga memiliki sistem nilai hidup yang baik menurut ukuran nilai moral dan spiritual. Memberantas korupsi di Indonesia, untuk mencipt
akan pemerintahan yang bersih dan berwibawa tidak bisa dilakukan hanya dengan mengubah tampilan luar dan dilakukan oleh dan pada sebagian dari sistem sosial saja. Perlu proses perubahan yang disebut dengan transformasi secara total. Nilai-nilai yang mengutamakan pemenuhan kepentingan sendiri yang melahirkan ketamakan dan perilaku korupsi tidak bisa diubah hanya dengan menciptakan aturan baru. Perlu ada proses penyadaran akan kepedulian bersama dan kemudian pada akhirnya membentuk sistem yang baru sesuai dengan nilai-nilai tersebut.
Menurut Teori Experiential Learning yang dipopulerkan oleh Kolb (seorang ahli Psikologi), maka perubahan sosial melibatkan 3 fase: unfreezing, moving, dan freezing. Unfreezing adalah situasi di mana dalam kesadaran manusia mulai mempertanyakan kebenaran dari prinsip dan cara yang ia miliki selama ini dan apakah dapat menjawab persoalan hidupnya. Pada tahap ini, upaya perubahan biasanya mengalami resistensi, karena paradigma lama biasanya akan membela diri untuk menentang paradigma baru. Perlu ada proses convincing melalui apa yang dilihat dan dirasakan, sehingga sampai pada suatu penilaian bahwa paradigmanya selama ini keliru dan tidak memberikan keuntungan bagi dirinya. Atau paling tidak timbul perasaan bahwa paradigma lama yang ia miliki ternyata menghambat pencapaian yang lebih, yang sebenarnya selama ini ia butuhkan. Proses penyadaran ini adalah proses yang sulit. Manusia membutuhkan stimulasi sosial yang kompleks yang membuatnya SADAR, bahwa ia adalah penyebab masalah. Bahwa ia HARUS berubah untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Unfreezing adalah pemaknaan situasi atas status quo sebagai sesuatu yang tidak lagi menguntungkan dan harus diubah.
Pada tahap moving, cara dan paradigma alternatif ditawarkan sebagai jawaban atas kebutuhan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Pada fase ini, alternatif solusi membutuhkan proses pengujian dan pembuktian, apakah memang menghasilkan sesuatu yang terbukti lebih baik. Gagasan alternatif harus memiliki basis yang benar-benar kuat, dan program yang dilakukan harus bisa memberikan bukti langsung atas keberhasilan dari cara baru maupun paradigma baru. Jika ini gagal, maka manusia akan kembali memilih cara maupun paradigma lama. Jika ini terjadi, maka proses transformasi gagal.
Keberhasilan pembuktian cara dan paradigma baru dalam suatu kurun waktu tertentu, yang jika kemudian diyakini mampu memberikan solusi yang lebih baik, maka akan mendorong terjadinya fase freezing. Pada fase ini, transformasi benar-benar terjadi, di mana manusia dan sistem sosial telah memakai cara baru dan menjadikannya sebagai sesuatu yang diyakini sebagai pemberi solusi terbaik.
Menurut Stephen R. Covey, setiap manusia adalah agent of change. Secara sederhana peran sebagai agent of change dirumuskan dalam bentuk menjalankan peran untuk membantu orang lain menemukan SUARA (baca: panggilan) dalam diri mereka masing-masing. Untuk bisa menjalankan peran itu maka seseorang harus menemukan dulu SUARA dalam dirinya sendiri dan menjalankannya secara konsisten. Keteladanan karakter dan menciptakan sistem sosial yang menjunjung prinsip hukum alam dan moral merupakan kunci untuk menjalankan fungsi transformatif. Dari dasar pemikiran ini bisa disimpulkan bahwa menjadi agen perubahan yang paling mudah adalah secara konsisten menjalankan prinsip kebenaran dan keadilan dalam setiap segi kehidupan. Ketika ada tantangan untuk menjalaninya, kita tetap teguh dan memberikan keyakinan (bukti) bahwa apa yang kita jalani adalah solusi terbaik dari kehidupan bersama. Ketika orang tidak tahu, maka kita memberikan arah, informasi dan sarana untuk mereka menjadi tahu. Ketika orang melakukan yang salah, maka kita berani untuk meluruskan, dengan cara yang bijaksana. Ketika kita salah, kita secara sportif mengaku dan memperbaiki bersama-sama. Bukankah ini sejalan dengan makna menjadi garam dan terang?
Bagaimana membuat perubahan lebih mudah? Mulailah dari apa yang bisa kita lakukan, dan bekerja sama dengan orang-orang yang sevisi untuk menjalankan misi perubahan. Perubahan tidak bisa terjadi tanpa kekuatan Kuasa Allah. Maka dalam upaya pribadi dan bersama, kita tidak bisa melupakan, bahwa Dialah yang memiliki kuasa untuk mengubah hati manusia.
——- Dituliskan oleh Ruth Yuni T. Imanti, Psikolog
——– Diterbitkan pada edisi no.2 tahun ke-XXIV 2010, Memulai sesuatu untuk perubahan masyarakat