Hotmangatur Agustina Pangaribuan, S.Psi.:
Melangkah Bersama dalam Lautan Budaya Pascamodern

Tidaklah salah bila karakteristik masyarakat pascamodern yang kompleks digambarkan seperti lautan, yang terdiri dari warna-warni ikan, terumbu karang, tumbuhan air, plankton-plankton, dan berbagai biota laut lainnya.

Belum lagi adanya perahu, para penambak ikan, kapal dengan nahkoda, dan angin kencang, semuanya berinteraksi di atas maupun di bawah permukaan laut. Demikianlah juga yang terjadi dalam dunia pascamodern.

Sesi sharing di retreat SMP-SMA yang saya ikuti beberapa waktu yang lalu menjadi potret mini dari produk kehidupan “lautan” pascamodern. Anak muda terombang-ambing oleh apa yang menjadi tren terkini, dengan pilihan dari orang-orang sekitarnya, yang seringkali membentur keinginannya sendiri. Akhirnya, anak muda mengerjakan apa yang menurutnya benar.

Budaya ini membuat anak muda berdamai dengan apapun yang dia pilih. Yang penting senang dan puas. Kebenaran didasarkan pada penilaian masing-masing pribadi. Kebenaran relatif inilah yang menjadi salah satu ciri dunia pascamodern. Entah sampai kapan anak-anak muda ini terombang-ambing di lautan budaya pascamodern. Jujur saja, saya terkejut dengan sharing dan juga respon mereka. Saya berusaha mencari jawaban atas pertanyaan, “Melihat kompleksnya lautan budaya pascamodern, apa yang bisa dilakukan sebagai seorang pemimpin?”

Kepemimpinan yang “nendang”

Memimpin di lautan pascamodern tentu tidaklah gampang. Dibutuhkan seorang yang tak hanya kuat dalam menerjang badai, namun juga bisa menikmati keindahan lautan. Sekian banyak buku yang menawarkan tipe-tipe kepemimpinan tampaknya belum juga memuaskan. Hal ini terlihat dari bermunculannya kritikan-kritikan dan saran-saran dalam memimpin. Akan tetapi belum lagi kita menyelesaikan persoalan di dalam lautan pascamodern, kasus-kasus terkait etika pemimpin sudah memenuhi media. Kita disibukkan dengan permasalahan perilaku sang pemimpin. Perhatian kita pun teralihkan.

Secara teknis, pendekatan-pendekatan apapun dalam memimpin menurut saya boleh-boleh saja. Namun menurut saya, yang paling berpengaruh adalah karakter pemimpin itu sendiri. Kasus-kasus korupsi yang akhir-akhir ini marak, pejabat yang kita anggap sebagai “pemimpin-pemimpin” namun terjerat korupsi menekankan satu hal, yaitu dalam memimpin, tingkah laku/perbuatan lebih “nendang” daripada apa yang diucapkan atau teknik kepemimpinan apa yang digunakan.

Sebenarnya, saya menjumpai banyak pemimpin yang memiliki karakter baik, yang takut akan Tuhan, dan pantas menjadi panutan. Namun ternyata, karakteristik tersebut tidak mampu menjawab persoalan dalam lautan pascamodern ini. Apalagi yang kurang?

Besi menajamkan besi

Tampaknya, poin yang perlu dimiliki pada diri pemimpin dalam lautan pascamodern adalah pemimpin yang lebih dari sekedar memiliki karakter baik, penghidupan yang baik, atau sanggup hidup mandiri, tetapi juga yang mau membagikan hidupnya kepada orang lain. Apa gunanya, bila karakter yang baik tersebut hanya pemimpin saja yang memilikinya?

“Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya” adalah salah satu Amsal yang tidak asing didengar. Amsal ini tentu bukan hanya berbicara soal kritikan sebagai sesuatu yang membangun atau mengoreksi sesama, namun juga soal saling menularkan ketajaman tersebut kepada orang lain. Bagaimana caranya? Melangkah bersama.
Pemimpin seringkali dianggap sebagai seorang yang mandiri, cenderung untuk memberi perintah beserta tenggat waktunya. Banyak pemimpin yang melakukannya, termasuk pemimpin yang dianggap memiliki karakter baik. Namun, sadarkah kita, bahwasanya seiring kemajuan teknologi, semakin banyak aktivitas yang bisa dilakukan sendiri? Melangkah bersama pun menjadi langka.

Keteladanan hidup yang merangkul

Dengan melangkah bersama, pemimpin dituntut untuk, bukan hanya menjadi teladan dalam karakternya yang baik dan kuat, tetapi juga sekaligus mau merangkul rekan sesamanya. Akhirnya, karakter yang baik itu pun harapnya bukan hanya sang pemimpin yang mempunyai, tetapi orang lain juga. Kebenaran yang tadinya relatif sesuai masing-masing pribadi bisa lambat laun menular dan kembali ke hakikatnya, yaitu sejati, mutlak.

Berkaca dari sesi sharing dengan anak SMP/SMA di retreat tersebut, sangat mudah untuk memerintah dan menggurui mereka dibanding dengan menerima dan mau melangkah bersama mereka. Saya mungkin bisa bangga dengan hidup saya yang lulus dari pergumulan yang mereka alami, namun apa artinya bila hanya saya yang sukses? Di lautan, tentu ribuan ikan akan lebih mudah dalam menghadapi ombak daripada sendirian.

Dalam ombang-ambing lautan pasca modern, dibutuhkan keteladanan hidup yang merangkul. Dibutuhkan pemimpin yang tidak hanya berhasil dalam kehidupan pribadi saja, tetapi dalam kehidupan orang lain juga. Selamat menularkan kepemimpinan.

——–
*Penulis adalah Hotmangatur Agustina Pangaribuan, S.Psi. Mahasiswi pada Magister Profesi Psikologi Universitas Padjajaran, 

**  Diterbikan dalam majalah Dia edisi III tahun 2013

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *