Samuel Lassa:
Pemimpin yang Berbelas Kasihan

“Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala.” (Mat 9:36, ITB)

Perkataan Tuhan Yesus di atas merupakan kalimat yang sering diungkapkan untuk meneladani sikap Yesus ketika melihat ketidakberesan dalam kehidupan manusia. Sikap pertama yang diambilNya adalah menaruh belas kasihan. Jika ini merupakan sebuah cerminan karakter dalam kepemimpinan, karakter apa yang dicontohkan oleh Yesus melalui kondisi tersebut? Apakah belas kasihan yang Yesus hidupi dalam kepemimpinan-Nya pada zaman itu masih relevan bagi kepemimpinan di era pascamodern ini?

Realita kepemimpinan pascamodern

Di era pascamodern yang telah memecah-belah kebenaran, dibutuhkan pemimpin yang berbelaskasihan, bukan sekedar pemimpin yang melayani. Mengapa harus “belas kasihan”? Tuhan berfirman, “ketika kedurhakaan semakin bertambah, maka kasih kebanyakan orang akan menjadi dingin” (Mat.24:12).

Jika kasih yang merupakan pokok ajaran etika Kristen itu menjadi dingin, apa lagi kepekaan sosial. Kedurhakaan yang didukung pula dengan perkembangan teknologi yang secara perlahan tapi pasti mulai mematikan “syaraf-syaraf sosial” manusia akan menjadi mimpi buruk bagi umat manusia. Pemimpin terpilih yang kasihnya menjadi dingin, yang kepekaan sosialnya sudah mati, bagaimana bisa mengusahakan kesejahteraan umat? Bagaimana bisa ia memberdayakan mereka demi penghidupan yang layak? Yang ada hanya “komoditas” yang layak dieksploitasi, sehingga terjadilah kemandulan, kelumpuhan, ketidakadilan, bahkan penindasan untuk kepentingan pemimpin.

Akhir-akhir ini, isu kepemimpinan dan keingingan orang untuk menjadi pemimpin sudah bagaikan gaya hidup. Bisa dikatakan “kudet” (kurang up date) jika tidak menjadi pemimpin yang mentereng, alias menduduki sebuah jabatan penting. Nahasnya, hal ini mendorong lebih banyak orang lagi untuk menjadi pemimpin, meski tanpa kapasitas untuk memimpin. Yang lebih miris lagi adalah pemimpin yang tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Hal ini terjadi pada pemimpin yang tidak memiliki belas kasihan.

Belajar dari mereka yang berbelaskasihan

Jika mempelajari kepemimpinan Nehemia yang menjadi salah satu ikon kepemimpinan Kristen, nyata bahwa Nehemia mula-mula berbelaskasihan terhadap keruntuhan Yerusalem yang ditunjukkan melalui sikap berkabung dan berdoa.

Sekalipun sudah meninggal dunia sejak tahun 1997, sapaan “Bunda Teresa” tidak pernah mati sampai hari ini. itu bukan karena ia telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk merawat mereka yang terbuang dan menderita di seluruh daratan Kalkuta, India, namun karena belas kasihannya terhadap mereka yang terbuang di luar tembok biara, yang mendorongnya keluar dari tembok kenyamanan biara untuk membagi kasih kepada mereka. Ia mengatakan bahwa banyak orang mungkin akan mati karena penyakit, atau karena kelaparan, tetapi lebih banyak lagi yang akan mati karena haus akan belas kasihan.

Contoh lain seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther King, Jr., ataupun Nelson Mandela, menunjukan kepada kita bahwa hari ini dunia membutuhkan pemimpin yang berbelaskasihan. Indonesia membutuhkan pemimpin yang berbelaskasihan. Pemimpin bangsa yang berbelaskasihan terhadap nasib rakyat miskin, yang haknya secara sengaja dirampas para pelahap kekayaan alam Indonesia demi mengisi dompet para konglomerat dan pihak asing, sementara rakyat Indonesia mejadi “konglomelarat” abadi. Dibutuhkan pula pemimpin gereja, pemimpin rohani yang berbelaskasihan terhadap jiwa-jiwa yang sedang dalam cengkeraman manipulasi roh pascamodern dengan berbagai manifestasinya. Pemimpin yang juga mampu membangkitkan hasrat belas kasihan yang “tertidur” dalam nurani umat.

Mengapa Belas Kasihan?

Kita masih memiliki harapan, bukan kepada belas kasihan, tetapi kepada Tuhan yang memberikan belas kasihan yang berdiam dalam kedalaman nurani setiap insan. Belas kasihan itu menggerakkan setiap orang untuk melakukan suatu tindakan nyata. Belas kasihan mendorong kita untuk bekerja tanpa lelah, menghapuskan penderitaan sesama manusia dengan menempatkan kepentingan orang lain menjadi pusat yang menarik seluruh perhatian, pemikiran, kompetensi, tindakan, dan kemuliaan.

Belas kasihan diterjemahkan dari kata Yunani “spagchnizomai”, dari kata dasar “spleen”, yang berarti an intestine, yang secara harafiah berarti usus atau isi perut, dan secara figuratif dapat diartikan dengan pity atau sympathy, inward affection, yang berarti kasih sayang yang terdalam seperti seorang ibu terhadap anaknya, atau rasa iba/kasihan, atau empati yang terdorong dari kedalaman hati yang bahkan tidak disadari manusia. Sementara dalam bahasa Ibrani, digunakan kata ra-cham (rhm), yang berarti rahim (Kej. 29:31; 30:22, dll.), juga diartikan belas kasihan (Kel. 13:17; 2 Taw. 30:9, dll.). Mengapa rahim dan belas kasihan muncul dari kata yang sama? Hal ini hendak menyadarkan kita akan kasih yang didorong oleh rasa kedekatan yang ditimbulkan oleh hormon (oksitosin) yang memacu timbulnya kedekatan dan sifat altruistik dalam diri seorang ibu untuk mengasihi buah kandungannya tanpa pamrih.

Sampai di sini, hanya belas kasihanlah yang layak menempati kedudukan teratas karakter kepemimpinan di era pascamodern, bahkan sepanjang zaman. Selanjutnya, belas kasihan akan mendorong keluar hasrat yang kemudian dibahasakan ke dalam visi. Visi ini yang memberi sikap melayani sebagai seorang pemimpin atau yang diperkenalkan dengan istilah servant leadership. Dengan kata lain, seorang pemimpin tidak mungkin melayani jika ia tidak memiliki belas kasihan—orang bisa berpura-pura melayani tetapi orang tidak bisa berpura-pura dalam menaruh belas kasihan.

Belas kasihan merupakan panggilan Ilahi

Mengingat bahwa belas kasihan termasuk dalam hal-hal yang bersifat virtues, maka dapat dikatakan bahwa belas kasihan
timbul dari hati yang dipersembahkan kepada Tuhan (bandingkan dengan konsep persembahan dalam PL), hati yang berpusat pada Tuhan. Hanya hati Tuhan yang hancur melihat kebrutalan dosa membumihanguskan manusia, hanya hati Tuhan yang menangis melihat manusia saling menghancurkan, sehingga Tuhan senantiasa berbelaskasihan terhadap umat manusia. Dan hanya mereka yang memiliki keintiman dengan Tuhan yang mengerti hati Tuhan, yang menaruh belas kasihan terhadap pergumulan kemanusiaan. Jika kita berbelaskasihan terhadap suatu ketidakberesan yang terjadi pada generasi kita, itu adalah panggilan Ilahi yang datang ke hati kita.

Keinginan untuk memimpin mungkin ada, tetapi kerelaan hati untuk memimpin sudah memudar. Kepemimpinan Anda tersebunyi dalam tujuan Anda, dan tujuan Anda adalah kunci untuk hasrat Anda. Belas kasihan seorang pemimpin berpusat dalam hatinya. Ketika Tuhan mencari seorang pemimpin, Ia mencari hati yang mau berserah di bawah kehendak-Nya. Tanpa dorongan dari hati yang berbelaskasihan untuk tugas tertentu, seorang pemimpin akan kehilangan gairah untuk memimpin, bahkan kehilangan visi. Seorang pemimpin seharusnya mampu merasakan apa yang sedang ia lakukan sebagai pemimpin, sehingga keinginan itu terus mendorong dia untuk semakin maksimal dalam kepemimpinannya. Seorang pemimpin sejati tidak memerlukan rangsangan dari luar untuk mengambil tindakan. Mereka termotivasi dari dalam diri mereka sendiri, yakni belas kasihan yang Tuhan tempatkan di hati mereka.

Dengan demikian, belas kasihan (compassion) mendorong hasrat (passion), melahirkan visi (vision), yang kemudian memberi diri untuk melayani sebagai pemimpin (mission) untuk kemuliaan Allah. Itulah panggilan Tuhan bagi para pemimpin. Maka, jadilah pemimpin yang berbelaskasihan.

———

*Penulis adalah Samuel Lassa, Staf Perkantas di BPR Sumba Timur, 
** Diterbikan dalam majalah Dia edisi III tahun 2013

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *