Yulius Tandyanto:
Distopia

… mengenang GH (14), AN (15), TM (16), dan mereka yang telah “tertidur” ….

Alkisah, seseorang bernama Dasein telah meninggalkan kota kelahirannya. Ia berkelana hampir selama setahun demi menunaikan sebuah tugas. Dan saat ini, sejauh mata Dasein memandang hanya ada dua hal saja yang berkecamuk di dalam benaknya: sabana tandus di sekelilingnya dan Nous yang berdiri persis di hadapannya. Kini, Dasein bertemu muka dengan Nous—ia yang telah lama dicarinya.

“Aku tak menyangka dapat berjumpa denganmu hari ini. Sekarang, persiapkanlah dirimu!” seru Dasein.

“Tak perlu engkau tergesa-gesa, anak muda. Waktuku pun tak lama lagi. Mungkin, waktumu juga. Tapi, sebelum engkau mencabut nyawaku, barangkali engkau ingin mendengar sedikit tentang kisahku. Atau mungkin, lebih tepatnya, kebenaran yang selama ini telah disembunyikan dari kota kebanggaanmu, Emeth,” sahut Nous.

“Apa yang engkau maksudkan?”

“Pernahkah engkau bertanya pada dirimu sendiri mengapa mereka mengutusmu untuk membunuhku? Atau pernahkah engkau bertanya pada dirimu sendiri siapakah sesungguhnya para Autre ini?”

Dasein terdiam. Pikirannya menerawang dan berusaha mengingat-ingat apa yang telah mendorong dirinya untuk mencari Nous. Dan mulai tekenanglah ia akan Emeth, satu-satunya kota yang mampu bertahan setelah peristiwa “Revolusi 15” meluluhlantakan seantero negeri.

Di Emeth, tak seorang pun yang berusia lebih dari 15 tahun, termasuk dirinya. Sebagaimana remaja di Emeth, Dasein pun tergabung dalam geng untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Dan bukan kebetulan Dasein tergabung dalam geng nomor satu di Emeth. Geng ini menamakan diri mereka sebagai “Peitho”—yang sekaligus juga menjadi nama pemimpinnya.

Sebagai tahun terakhir di Emeth, Peitho memberikan sebuah tugas khusus pada Dasein.

“Kamu tahu, Dasein, malapetaka masih menghantui kita. Karena itu, kami menugaskanmu untuk menghabisi Nous untuk selama-lamanya,” ujar Peitho.

“Mengapa aku?” tanya Dasein

“Ah, kamu sendiri tentu dapat menjawabnya, Dasein. Kamu tak seperti kebanyakan kita di sini. Dan aku tahu apabila kamu sesungguhnya meragukan ajaran dan ritual-ritual yang diselenggarakan oleh para tetua Verum, khususnya tentang jalan keselamatan seluruh warga Emeth ini.”

“Jalan keselamatan, katamu? … Ya, aku masih belum habis pikir bahwa bunuh diri adalah satu-satunya jalan menuju Nirwana. Apalagi kita semua melakukannya dengan gembira.”

“Tapi, itulah satu-satunya cara agar kita tidak menjadi seperti mereka: para Autre. Kamu lihat sendiri ‘kan, siapa pun yang memasuki usia 16 tahun tiba-tiba menjadi gila dan begitu haus untuk menghabisi kita. Itulah sebabnya para tetua Verum menghalau mereka dari Emeth. Dan tidakkah kamu ingat tentang tragedi ‘Revolusi 15’? Sejarah telah mencatat bagaimana para leluhur kita berjuang dengan gagah berani melawan penindasan terhadap mereka yang menamakan dirinya sebagai ‘Orang Tua’. Para leluhur kita lebih baik bunuh diri daripada ditindas oleh ‘Orang Tua’. Setidaknya, jangan pernah kamu lupakan sejarahmu, Dasein!”

“Aku tidak lupa, Peitho. Hanya saja … tidak ada cara lainkah?”

“Tentu saja ada, Dasein. Untuk itulah kami membutuhkanmu untuk melenyapkan Nous selama-lamanya. Laporan-laporan terbaru dari tetua Verum menunjukkan bahwa Nouslah biang keladi semua kegilaan yang terjadi di Emeth. Selama Nous masih hidup, selama itu pula kegilaan tetap menjadi takdir kita. Jadi, bersediakah kamu menunaikan tugas suci ini, Dasein?”

“… Baiklah.”

Gerakan langkah kaki Nous yang tiba-tiba sontak membuyarkan semua kenangan Dasein tersebut. Dasein kembali memantapkan pandangannya pada Nous. Dan pada saat itulah Nous melanjutkan perkataannya.

“Jika engkau sudah cukup lama berada di luar Emeth, seharusnya engkau dapat melihat segala sesuatunya dengan lebih jernih. Pernahkah engkau diserang oleh para Autre barang satu kali pun selama berada di luar Emeth?”

Dasein terperanjat mendengar pertanyaan Nous.

Melihat reaksi Dasein, Nous melanjutkan kembali ceritanya. “Ada kisah lain yang tak pernah diceritakan dalam sejarah Revolusi 15.”

“Apa maksudmu?” tanya Dasein dengan ragu-ragu.

“Memang benar kaum Orang Tua telah menindas para leluhurmu. Tapi, para leluhurmu itu pulalah yang telah membinasakan seantero negeri. Mereka telah melepaskan sesuatu yang seharusnya tak pernah dilepaskan: sesuatu yang disebut sebagai ‘Dike’. Sejak saat itu, malapetaka menghantui kita semua. Sejak saat itu, setiap orang yang berusia lebih dari 15 tahun menjadi gila. Dan sejak saat itu, engkau dan warga Emeth tak pernah mengerti bahasa, kehendak, dan jalan pikiran orang-orang yang engkau sebut sebagai Autre. Karena itulah kalian membunuh kami, para Autre.”

“Ya. Tapi, karena Autre yang pertama kali mencoba membunuh kami.”

“Seperti yang engkau lihat, sesuatu yang disebut sebagai ‘Dike’ membuat tubuh kami sama antara satu dengan yang lainnya: kulit kami mengerut, wajah kami pucat, dan tak ada rambut di kepala kami. Seiring perubahan itu, kami pun tak lagi mengerti bahasa dan jalan pikiran kalian. Bahkan, kami pun tak begitu lagi menyukai cara hidup kalian. Meski begitu, rasanya kami tak pernah berhasrat untuk membinasakan kalian. Engkau tahu, aku menduga bahwa para tetua Verumlah yang berada di balik semua malapetaka ini.”

“Tunggu. Aku tak bisa mempercayaimu. Bagaimana engkau tahu begitu banyak tentang Emeth dan tetua Verum? Dan seandainya ceritamu benar, bagaimana mungkin engkau memahami kata-kataku saat ini dan menggunakan bahasa kami?”

Nous tersenyum kecil seraya berkata, “Masih belum mengertikah engkau? Ah, rasanya itu tak penting dan berguna saat ini. Tujuanku saat ini adalah membuktikan bahwa Autre dan warga Emeth dapat saling memahami satu sama lain. Dan hal lain yang tak kalah penting bagiku secara pribadi adalah berusaha membongkar ilusi yang telah diceritakan oleh tetua Verum selama ini. Barangkali apa yang kukatakan saat ini tak akan engkau gubris. Tapi, apa yang akan kulakukan setelah ini mungkin tak dapat engkau abaikan. Selanjutnya aku serahkan padamu, anak muda.”

Dalam sekejap Nous menghunuskan belatinya. Seketika itu juga Dasein terkejut seraya melompat ke belakang dan segera mencabut belati yang terselip di pinggang sebelah kanannya. Nous tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk segera menghunjamkan belati pada dada sebelah kirinya. Terdengarlah erangan panjang yang kian melemah. Dasein bergeming melihat pemandangan itu seakan-akan ia sedang berada di Emeth.

Dasein mendekati tubuh Nous yang sudah tak lagi bernyawa. Wajahnya tegang. Lantas, ia mencabut emblem bertuliskan “Nous” yang melekat pada kaus Nous. Tak lama kemudian, Dasein beranjak meninggalkan Nous dan sabana itu. Dan tampaklah helai-helai rambut Dasein yang rontok menemani jasad Nous.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *