Yulius Tandyanto:
Dorothy

Kematian sesungguhnya sangat dekat dengan kita. Begitu dekatnya, sehingga kita sering melupakan “sentuhan” personalnya. Kita cenderung berjarak dan merasionalkan kematian dengan logika: semua orang akan mati.

Memang kita jadi bersikap objektif terhadap kematian. Namun, ada sesuatu yang hilang di situ: suatu rasa gamang yang sangat pribadi ketika berhadapan dengan kematian. Di sana, kita diliputi rasa gelisah yang tak terdefinisikan. Dan, momen itu menyadarkan siapapun dari kenyamanan hidup yang telah membuainya hingga saat itu.

Setelah itu, Anda dan saya boleh jadi tergugah untuk menghayati betapa fananya kehidupan ini. Ya, pengalaman personal yang demikian selalu mengagetkan kita, ibarat tersengat aliran listrik atau tercebur dalam kolam yang sangat dingin.

Dan, pengalaman berjumpa dengan kematian tersebut biasanya mendorong kita untuk bertanya-tanya tentang apa saja yang masih samar-samar. Misalnya, “Bagaimana aku menjalani masa tuaku?—di tengah-tengah dunia yang memuja awet muda dan kehidupan.”

Kehidupan Dorothy (Dorothy I. Marx—red.) mungkin dapat sedikit menginspirasi. Ia sadar, ia tak dapat menahan kerentaan. Ia tak dapat lagi mengungkapkan pemikiran-pemikirannya sebagaimana biasa dilakukannya pada masa mudanya. Satu-dua kosakata seolah lenyap dari ingatannya.

Meski demikian, raut wajahnya tetap serius sehingga mempertegas garis-garis kerutan yang sudah tampak. Ia diam sejenak dan tetap berusaha mengingat dengan susah-payah. Sampai pada akhirnya ia berucap, “Ah, maafkan saya, maafkan saya,” dengan nada penuh penyesalan.

Tapi, siapa pun yang berjumpa dengan Dorothy tetap merasakan kehangatan dalam absennya kata-kata. Ia memiliki insting untuk bersahabat dengan ramah. Dan insting tersebut diasah dari segala pengalaman hidupnya yang tak selalu menyenangkan.

Maka, di kala pemikiran tak lagi dapat diandalkan, insting membahasakan hal-hal yang tak terkatakan dan memperlihatkan kepribadian khas seseorang. Tentu saja diperlukan disiplin tinggi untuk melatih dan menajamkan insting keramahtamahan seperti Dorothy.

Insting lain yang tampak dalam pribadi Dorothy adalah semangat belajarnya yang tinggi. Ia tak pernah berhenti belajar dan menulis. Usia senja tak mengendurkan tekadnya untuk belajar di Universität Tübingen hingga ia berhasil mempertahankan tesis doktoralnya mengenai konsep “diri”.

Memang di bawah matahari ini banyak belajar hanya melelahkan badan dan menulis banyak buku tak akan ada akhirnya. Tapi, “kesia-siaan” tersebut rupanya bukan persoalan bagi Dorothy. Pasalnya, ia menghayati harapan di atas matahari.

Salah satu karya terakhirnya adalah Martin Luther yang diterbitkan pada usianya yang ke-90—tahun 2012. Riset-riset pustaka serius telah dilakukannya sejak sebelum tahun 2007. Bagi Dorothy, Luther adalah figur yang sangat menginspirasi, terutama pandangan-pandangan etisnya.

Tafsiran Dorothy tentu mewarnai 500 tahun Reformasi yang diperingati pada tahun ini. Sebagaimana sebuah diktum menyatakan: sesungguhnya penafsir tidaklah sedang menyampaikan pemikiran si pemikir, tetapi hasrat si penafsir mengenai si pemikir (dan pemikirannya).

Demikianlah sekelumit kisah Dorothy menjalani masa tuanya. Insting akan keramahtamahan dan semangat belajar tetap mewujud dalam aktivitasnya menanti ajal.

Kini, giliran Anda dan saya mengambil waktu sejenak—di penghujung tahun 2017—untuk bernala-nala dengan kematian. Mungkin setelah itu kita dapat memilih untuk menghayati kepribadian macam apa yang akan kita gembleng—sebelum kita tak lagi berdaya, sebelum kita menjadi pikun, dan sebelum kita bertatap muka dengan kematian.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Satu pemikiran di “Dorothy”