Sesungguhnya siapa yang disebut sebagai manusia Indonesia? Atau, karakter seperti apa yang menjadikan seseorang disebut sebagai manusia Indonesia?—Barangkali, tidak ada. Kalaupun ada—[S]alah satu karakter utama manusia Indonesia dewasa ini adalah identitas-identitas religius sektariannya.
Lihat saja orang-orang yang suka memamerkan kehidupan agamanya. Sebut saja, misalnya, melalui busana muslim, kalung salib, berdoa di tempat-tempat umum, hingga menggunakan kosakata-kosakata khas agama tertentu. Dan uniknya, identitas religius tersebut tidak terbatas hanya bagi orang-orang yang beragama. Toh, orang-orang ateis (tak beragama) pun berlaku sama: me-“religius”-kan keateisannya—entah itu dengan ideologi atau sains.
Pada dasarnya tiap orang berhak mengekspresikan identitas religiusnya. Dan hal itu sah-sah saja. Tapi, persoalan muncul ketika kita begitu mudah dipecah-belah, diadu-domba, atau diprovokasi dengan sentimen-sentimen religius sektarian. Naga-naganya kita sudah kehilangan selera dan rasa humor ala Gus Dur. Dan fenomena-fenomena terkini sesungguhnya memperlihatkan karakter diri kita yang lembam, lembek, malas, dan gamang sehingga harus diperkuat melalui identitas-identitas sektarian.
Maka, tak perlu heran apabila di lubuk hati yang paling dalam kita suka berkelahi antarsesama kita sendiri—yang merupakan cikal bakal perang saudara. Pasalnya, orang-orang sektarian sudah selalu memandang mereka yang berbeda pandangan sebagai “bukan-kita”. Dan dalam konteks tersebut, nasionalisme atau Pancasila ibarat suatu imajinasi usang. Toh, seandainya pun kosakata “Pancasila” masih digunakan, ia hanya sekadar topeng untuk menyelubungi cita-cita religius sektariannya.
Tampaknya sang bapak bangsa diam-diam telah menduga potensi krisis identitas “manusia Indonesia” sejak tahun 1930-an. Ia menengarai bahwa seandainya Indonesia berdiri, setiap orang yang bernaung di dalamnya perlulah memiliki landasan dan tujuan hidup bersama. Oleh karena itu, Sukarno merancang sebuah plot bernama nasionalisme. Dan dengan suara lantang ia menyerukan tiga jalan untuk menghidupkan nasionalisme:
“Pertama, kita tunjukkan kepada rakyat bahwa mereka mempunyai suatu masa lampau, suatu masa lampau yang jaya. Kedua, kita tingkatkan kesadaran rakyat bahwa mereka mempunyai suatu masa sekarang, suatu masa sekarang yang gelap. Ketiga, kita perlihatkan kepada rakyat sinar cahaya masa depan, yang terang-benderang, dan cara menciptakan masa depan yang penuh harapan itu.”
Sukarno tahu bahwa identitas manusia Indonesia perlu dinarasikan. Oleh karena itu, ramalan-ramalan Prabu Jayabaya (1137-1159), terjemahan Nagarakertagama, dan cerita-cerita pewayangan merupakan sumber inspirasi Sukarno muda untuk mewujudkan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” di dalam plotnya. Itulah angan-angan Sukarno tentang manusia Indonesia yang senantiasa utuh di dalam perbedaan.
Tentu identitas naratif “manusia Indonesia” tidak akan muncul begitu saja. Plot yang telah dirancang harus diwujudkan. Salah satu pertaruhan terbesar untuk menghidupkan plot tersebut terjadi pada malam penyusunan naskah teks Proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Suasana pada Kamis malam itu cukup mencekam. Para pemuda yang hadir di sana tidak ada yang berani menandatangai naskah teks Proklamasi. Walhasil, Sukarni mengusulkan agar teks tersebut ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta saja.
Keesokan harinya situasi masih tegang. Pasalnya, Jepang masih dapat menyerbu sewaktu-waktu. Kendati demikian, para pemuda yang berkumpul di Pengangsaan Timur 56 telah memutuskan untuk mempertaruhkan nyawanya demi cita-cita “manusia Indonesia” dan sebagai bangsa yang merdeka. Sekretaris Mohamad Hatta, Wangsa Wijaya, berujar, “Kami itu sangat tegang sekali, tapi kami semuanya sudah bersedia untuk berkorban kalau perlu.” Dan teks Proklamasi pun berkumandang ke seantero negeri.
Kini, bagi kebanyakan orang, bertaruh nyawa demi identitas “manusia Indonesia” adalah sebuah dongeng absurd. Jauh lebih mudah dan lebih berguna bagi anak-anak muda kiwari untuk berkorban demi identitas sektariannya. Maka, tidaklah mengherankan apabila manusia Indonesia adalah sebuah fiksi belaka karena tak banyak orang yang berani bersetia atas narasi tersebut. Padahal, janji dan kesetiaan itulah yang memungkinkan seseorang untuk senantiasa bergulat dengan dirinya sendiri sebagai manusia Indonesia selama 71 tahun terakhir ini.
Sejatinya, kesetiaan pada suatu identitas naratif sudah selalu memperlihatkan perhatian terhadap sesamanya. Sekurang-kurangnya itulah yang disampaikan oleh sang pemikir Prancis, Paul Ricoeur (1913-2005). Pasalnya, siapa pun yang bersetia terhadap identitas naratifnya berarti bersedia pula dipersoalkan putusan-putusan moralnya. Mengapa demikian? Karena ia peduli terhadap sesamanya.
Dalam konteks itulah narasi “manusia Indonesia” lebih dari sekadar identitas religius sektarian yang bersifat eskatologis dan “moral”—tetapi sesungguhnya menutupi kelemahan dan kepengecutan dirinya. Dan persis karena alasan tersebut, siapa saja yang bersetia kepada manusia Indonesia adalah individu-individu yang berani menghadapi kegamangan dirinya.
Syahdan, identitas-identitas religius sektarian perlu dilawan. Kita perlu menciptakan plot-plot kreatif tentang manusia Indonesia sebagaimana mimpi para pendiri bangsa. Dan, wujudkanlah itu dengan keringat dan darah! Itulah pertempuran kita. Itulah pertaruhan nyawa kita.