Ruth Yuni T. Imanti:
Adversity: Kompetisi atau Karunia?

 

Anda pernah mendengar istilah adversity? Adversity dulu diartikan sebagai kesanggupan seorang pribadi untuk mengubah persepsi mengenai situasi di sekelilingnya yang pada awalnya dimaknai sebagai hambatan menjadi bermakna sebagai peluang bagi dirinya untuk meraih sukses. Orang yang memiliki tingkat adversity yang tinggi memiliki ciri-ciri bahwa: ia punya kepercayaan diri yang kuat, mampu menjalankan rasa tanggungiawab dalam peran mengatasi permasalahan, mampu mengelola emosi dengan tidak mencampur adukkan rasa gagal di satu bidang ke aspek hidup lainnya, serta memiliki keuletan bertahan dalam situasi menekan tanpa merasa tertekan. Secara umum dari ciri adversity, dapat dikenali bahwa konsep tersebut tergolong aspek yang disebut kompetensi, yang artinya merupakan bagian dari kemampuan manusia yang ada karena dilatih dan dibentuk. Ia tidak terberi begitu saja seperti halnya aspek temperamen atau sifat dasar seseorang.

 

Adversity berkaitan erat dengan kematangan psikologis atau mental seseorang dalam menghadapi kehidupannya. Adversity sangat ditentukan oleh kondisi psikologis yang prima atau matang. Dan kondisi psikologis yang prima tidak lepas dari kondisi spiritualnya. Spiritualitas berkoneksi langsung dengan persoalan transedental, yaitu sesuatu yang berada di luar kekuasaan manusia yang terbatas, mewujud dalam energi tentang pemaknaan suatu kehidupan yang membuat manusia mampu merasakan pentingnya nilai-nilai yang tidak hanya bersifat kebendaan dan kesenangan perasaan saja. Aspek spiritual sebagaimana digambarkan oleh para ahli teologi sebagai pusat kehidupan manusia. Artinya ia berada di pusat hidup manusia, ada di dalam hati, yang menjadi penentu. Dengan pemaknaan yang sehat, maka energi yang dipancarkan oleh spiritualitas yang sehat akan mendorong kondisi psikis yang sehat pula. Dikatakan transendental karena proses pemaknaan hidup sangat berhubungan dengan sumber energi kehidupan yaitu Allah sendiri. Spiritualitas atau sering disebut juga roh punya akses untuk mengolah pemahaman yang bersifat metafisik, yang secara sederhana kita pahami dengan persoalan rohani dan abstrak. Persoalan iman, kuasa roh kudus, pertobatan dan nilai-nilai hidup hanya mampu diolah oleh roh manusia. Roh ini kemudian memberi warna pada kompetensi psikis manusia apakah ia mampu mengolah dunia fisik secara efektif untuk menyelesaikan persoalan nyata yang dihadapi.

 

Contoh bahwa aspek rohani sangat berhubungan dengan pembentukan adversity seseorang adalah tiba saat berikut ketika seseorang mengalami suatu musibah dalam hidupnya,   misalnya ada orang yang berbuat jahat kepadanya sehingga ia mengalami kerugian besar, maka secara otomatis reaksi yang timbul adalah ketakutan, kekecewaan, kesedihan bahkan trauma. Ia berada pada kondisi terpuruk karena pada saat itu situasi fisik yang dialaminya menekan fisik dan mentalnya. Namun kemudian ketika rohnya mulai bisa berdoa dan mendapatkan pencerahan misalnya dari Roma pasal 8:28 (bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi-Nya dan terpanggil sesuai dengan rencana-Nya), maka roh manusia mulai bisa memaknai sesuatu yang tidak hanya terpaku pada apa yang ia persepsikan secara fisik dan psikologis pada saat musibah terjadi. Dengan pemaknaan oleh roh bahwa apa yang terjadi bukanlah akhir dari hidup dan bahkan justru mengandung berkat di balik semua peristiwa itu, maka energi yang ia pancarkan pada psikis adalah suatu kekuatan bahwa, semua akan baik-baik saja yang kemudian mendorong pribadi tersebut bangkit dari keterpurukannya untuk tidak berputus asa

 

Adversity sangat dibutuhkan oleh setiap manusia untuk bertahan hidup dan menjalankan peran sejarah sebagai manusia. Adversity menjadi ukuran apakah seseorang bisa dianggap layak untuk memangku jabatan atau peran sosial. Adversity akan menentukan seberapa matang ia bisa menjalankan keputusan dan komitmen untuk meraih prestasi yang bermakna baik untuk dirinya maupun orang lain. Adversity tidak bisa muncul begitu saja tanpa latihan mental yang baik. Sebagaimana contoh di atas, latihan mental tentang bagaimana melibatkan unsur transendental ke dalam roh dan kemudian mempengaruhi jiwa untuk bangkit dari rasa terpuruk sangat dibutuhkan. Tidak mudah orang memfungsikan rohnya untuk mengadakan  hubungan dengan Allah dan kemudian secara nyata diekspresikan lewat jiwa dan perilaku yang sabar dan tawakal. Oleh sebab itu adversity adalah sebuah kompetensi, dan bukan karunia. Mental dibutuhkan untuk mengembangkan kompetensi ini. Namun dari contoh di atas, dilihat pula bahwa berfungsinya roh untuk mempercayai Firman Allah sebagai sesuatu kekuatan atau jaminan yang akan mempengaruhi jiwanya bekerja dalam mekanisme iman. lman adalah karunia Allah, dan karunia iman juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan, atau bahan dasar dari pembentukan kompetensi adversity. Meskipun adversity bisa dilatih dan dikembangkan, tetapi ia tidak bisa melepaskan diri dari kasih karunia Allah, dalam hal ini iman.

 

lman yang didefinisikan sebagai bukti dari sesuatu yang tidak terlihat, tidaklah mudah dipahami kecuali jika padanya dikaruniakan kekuatan supra natural. lnilah yang dikatakan sebagai sesuatu yang bersifat transedental. Ibadah adalah merupakan aktivitas yang memfasilitasi suatu proses transendental antara manusia dan Allah sebagai sumber kehidupan. Seseorang bisa saja merasa bahwa ia sangat beriman kepada Kristus, akan tetapi pemahaman iman itu masih dalam taraf pemahaman, belum sampai menyentuh kekuatan pribadinya untuk mewujudkan iman tersebut. Maka sering kali ada kalimat seperti: maklum saya masih manusia. Keterpisahan atau kesenjangan antara keinginan roh dan kedagingan membuktikan bahwa proses transcendental tidak otomatis terjadi begitu seseorang berdoa atau menerima firman Allah. ltu sebabnya di dalam 1 Tim 4: 7b-8 disebutkan bahwa ibadah adalah sebuah latihan. Latihlah dirimu beribadah. Latihan badani terbatas gunanya, tetapi ibadah itu berguna dalam segala hal, karena mengandung janji, baik untuk hidup ini maupun untuk hidup yang akan datang.

 

Proses ibadah dan memfungsikan komunikasi yang intensif antara manusia dengan Allah secara transpendental dilakukan dengan berbagai macam cara. Namun satu hal yang paling utama adalah adanya dinamika komunikasi yang disebut sebagai proses komunikasi intra personal dalam diri manusia. Komunikasi intrapersonal sering dipakai oleh aliran-aliran yang mempercayai sugesti sebagai kekuatan manusia. Sayangnya aliran ini hanya berpusat pada kekuatan manusia itu sendiri. Jika orang Kristen menggunakan teknik sugesti dan melepaskan diri dari peran Allah, maka ia jatuh ke dalam kesombongan bahkan Amsal 3:5-8 memperingatkan bahwa mengandalkan pengertian sendiri akan membuat kita jatuh dalam kejahatan (tindakan melawan Allah).

 

Oleh sebab itu Adversity dipengaruhi pula oleh kecerdasan intra personal seseorang di mana ia dengan mudah mendapatkan insight atau hikmah dari apa yang baik untuk dirinya, kepekaan memperbaiki diri dan memotivasi dirinya sendiri. Kecerdasan lntra personal oleh Gardner (seorang ahli yang memperkenalkan bahwa manusia tidak hanya memiliki satu

unsur kecerdasan saja, sebagaimanayang kita kenal selama ini adalah lQ), adalah jenis kecerdasan yang akan mempengaruhi seseorang untuk lebih mudah mengenal dirinya, memaknai situasi sekitarnya terhadap dirinya dan lebih peka akan pengaruh dirinya sendiri terhadap orang lain. Orang-orang yang mengasah kecerdasan intra personal cenderung akan mengutamakan tindakan yang berhikmat, yang tidak asal bertindak hanya demi memuaskan hasrat atau kemarahannya. Setiap tindakan baginya harus memiliki makna bagi dirinya sendiri. Bagaimana kemudian hal ini mempengaruhi adversity seseorang? Komunikasi intra personal adalah bagian penting dari proses di dalam diri seseorang terutama yang berkaitan dengan komunikasi sang pribadi dengan dirinya sendiri. Ketika ibadah dilakukan untuk melakukan proses komunikasi dengan Allah, maka latihan pentingyang perlu dilanjutkan adalah proses meditasi. Meditasi inilah yang dinamakan proses komunikasi intra personal, yang kemudian memberdayakan roh sepenuhnya berkomunikasi dengan psyche atau psikis seseorang di dalam dirinya. Jika proses ini tidak terjadi, maka muncullah fenomena di mana orang beribadah tetapi perilakunya tidak menunjukkan kesaksian yang memuliakan Allah. la berdoa tetapi tidak mendapatkan kekuatan untuk menjadi lebih tegar dalam hidup. Ini, adalah salah satu contohnya.

 

Kegagalan proses ibadah untuk menjadikan Firman Allah sungguh-sungguh bekerja dalam diri seseorang, biasanya dipengaruhi oleh proses meditasi yang terputus. Contoh komunikasi intra personal yang lain adalah proses evaluasi dalam diri seseorang terhadap dirinya. Ini biasa dilakukan saat malam hari melakukan doa malam untuk merenungkan apa yang terjadi di sepanjang hari. Orang-orang yang tidak terbiasa melakukan komunikasi intra personal sangat sulit melakukan aktivitas yang disebut saat teduh dan doa pribadi. Tetapi itu bisa dilatih, asalkan memahami pentingnya mengasah kecerdasan intra personal sebagai bagian dari proses pengembangan diri.

 

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa salah satu ciri adversity adalah berani mengambil tanggungjawab untuk mengatasi permasalahan, maka jika seseorang tidak cukup memahami siapa dirinya, ia bisa salah dalam memilih peran sosial. Mungkin ia mau mengambil tanggungjawab, tetapi bisa saja ia salah bertindak, yang tidak sesuai dengan kondisi lingkungan pada saat itu sehingga berakibat pada bukannya solusi yang dihasilkan, melainkan justru permasalahan baru.

 

Adalah pilihan, apakah anda ingin mengembangkan tingkat adversity, tetapi pergumulan hidup menuntut kita untuk mengembangkannya agar hidup berkemenangan. Namun satu hal yang paling utama adalah bahwa untuk mengembangkan hal tersebut kita tidak bisa melepaskan proses ibadah yang merupakan latihan, yang berguna tidak saja untuk menghadapi hidup saat ini, melainkan juga hidup yang akan datang. Sebab hanya dengan karunia iman maka odversity bisa dikembangkan untuk menghadapi hidup dengan cara yang positif.

 

 

—–Dituliskan oleh Ruth Yuni T. Imanti Psikolog dan Redaksi Majalah DIA

— Majalah Dia Edisi 3/ Tahun XXIII/2009

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *