Ada satu masa di mana pendidikan bertujuan menghasilkan educated person; sosok yang terdidik dan berbudaya (Alexander, 1978; situs web MSU). Guru adalah mentor. Ia tidak hanya berbagi ilmu, melainkan juga berbagi dirinya dalam segala hal, termasuk nilai-nilai dan kecakapan hidup. Murid dididik menjadi pembelajar yang siap terjun ke berbagai situasi, menggunakan kemampuan berpikir dan sikap yang benar untuk mencerna situasi serta mengambil keputusan dan tindakan yang tepat.
Namun, masa seperti itu sudah menjadi bagian dari sejarah. Saat ini, pendidikan lebih dimengerti sebagai “training keahlian tertentu.” Murid diharapkan menjadi para ahli dan tukang, walaupun dengan istilah dan gelar yang prestisius. Topik-topik yang diperlukan untuk membentuk sosok terdidik dan berbudaya tersisihkan karena tidak dapat menghasilkan uang atau diajarkan dengan metode-metode keliru akibat desakan para investor institusi pendidikan yang menuntut produktivitas massal dan efisiensi. Kekuatan institusi kemudian ditekankan pada image building dan kecanggihan strategi pemasaran.
Di sisi lain, ketidaktahuan para konsumen (orang tua murid) akan hakikat pendidikan, pemahaman mereka tentang kesuksesan sebagai kesuksesan finansial, telah mendorong anak-anak mereka memiliki ketrampilan praktis melalui les-les dan institusi yang menyodorkan janji-janji keberhasilan finansial yang instan. Orang tua juga sibuk bekerja untuk dapat hidup dengan tingkat konsumsi tinggi. Akibatnya, mereka mempercayakan pendidikan anak-anak mereka sepenuhnya dan tanpa masuk akal pada institusi pendidikan dengan janji-janji muluk. Padahal, peran orang tua dalam pendidikan anak tidak bisa tergantikan oleh institusi pendidikan.
Perubahan permintaan seperti itu di dunia Barat terutama sudah terjadi sejak zaman industrialisasi, dan di Indonesia terutama dalam tiga atau empat dekade terakhir. Kita menyaksikan bahwa institusi pendidikan dan para guru pun kemudian menyesuaikan diri, karena permintaan identik dengan sumber pendanaan. Model guru sebagai edukator dan mentor semakin luntur. Guru semakin berperan sebagai pelatih ketrampilan praktis. Guru menjadi penyampai materi ilmu dan kehilangan metode/didaktik. Dalam banyak kasus ekstrim, fungsi guru bisa digantikan oleh penyampai PowerPoint, dan saat ini mulai banyak penerbit yang sudah menyertakan PowerPoint bersama dengan buku ajar. Jika begini, peran guru apa lagi yang masih tersisa?
Saya pribadi khawatir apakah kemerosotan di institusi pendidikan secara serupa juga telah terjadi di gereja dan lembaga pelayanan kita. Pelayanan yang holistik dan sesungguhnya sudah merosot dari “pemuridan” menjadi sekadar “pengajaran.” Pendidikan kognitif masih baik, tapi pendidikan afektif seperti membangun karakter Kristen hanya sebatas wacana (khotbah dan diskusi, tidak praktek). Padahal, karakter tidak bisa diajarkan secara verbal, melainkan melalui role-modeling oleh sang pembina. Ini disebut sebagai penggunaan metode yang keliru. Menggunakan istilah UNESCO, seharusnya model pembelajarannya bukan sekadar “learning to know” (mengenai Kekristenan), melainkan “learning to be” (menjadi Kristen). Metode keduanya berbeda.
Kekeliruan konsep dan model pendidikan akan menghasilkan para tukang dan bukan pemimpin, seperti yang diharapkan oleh visi-misi yang sering disebut-sebut dalam berbagai seminar pendidikan Kristen. Saya kira sudah saatnya kita, sejalan dengan pemikiran konsep-konsep makro, juga mulai melaksanakan dengan rinci penerapan di lapangan.
Pembelajaran Abad 21
Ada hal menarik bahwa keprihatinan kalangan Kristen seperti di atas juga seolah dikonfirmasi oleh pihak sekuler. Sebuah konsorsium yang bernama “The Partnership for 21st Century Learning” meneliti apa saja tantangan yang akan dihadapi oleh para peserta didik di abad 21 dan menyajikan hasil pemikirannya (kunjungi situs www.p21.org).
Materi hasil studi konsorsium dan kesimpulannya menurut saya sebagian masih bisa diperdebatkan, namun mereka menyadarkan saya akan beberapa hal penting.
Pada Model Pendidikan Abad 20 yang ditekankan hanya belajar core-subject dan model assessment nya yang hanya summative (UTS-UAS) saja. Sedangkan Model Pendidikan Abad 21 menunjukkan, pertama, bahwa hakekat pembelajaran yang hilang perlu diktemukan kembali (Life Skills, Learning & Thinking Skills). Alvin Toffler pernah mengatakan: “The illiterates of the 21st century will not be those who cannot read and write but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” Kedua, studi ini menunjukkan tantangan di depan yang sangat berbeda kategorinya (ICT Literacy, Global Content & Context).
Disitu dikatakan bahwa belajar materi ilmu saja (core-subject) tidak lagi memadai. Penerbit literatur masa kini dan internet menyediakan kuantitas bahan ajar secara luar biasa banyaknya. Sehingga yang perlu adalah kemampuan untuk memilih dan memilah mana yang bermutu dan mana yang sampah. Yang perlu adalah kemampuan berpikir kritis dan menemukan model belajar yang tepat bagi dirinya. Disini proses belajar sama pentingnya dengan hasil belajar. Sehingga model assessment nya pun tidak lagi cukup hanya summative (UTS-UAS), melainkan juga formative (selama proses pembelajaran berlangsung). Formative assessment yang di desain dengan baik oleh guru akan membentuk pola pikir dan pola belajar yang baik.
Seorang peserta didik juga perlu dilengkapi dengan kompetensi Life Skills (Communication Skills, Interpersonal Skills, Financial Skills, Self Mastery, dll). Yang harus dipikirkan adalah mana yang menjadi porsi institusi dan mana yang menjadi porsi orang tua. Tidak mungkin institusi pendidikan dibebani melaksanakan seluruh tugas pendidikan, walaupun katakanlah ada orang tua yang mampu membayar semua biayanya.
Tugas Para Stakeholder Pendidikan
Menurut saya, tugas utama para stakeholder pendidikan (guru, penyandang dana, dinas pemerintah terkait, orang tua, pemikir pendidikan) adalah untuk menemukan ulang (rediscover) hakikat pendidikan. Kita perlu memikirkan secara serius aspek-aspek yang hilang dan apa dampaknya.
Dua tahun lalu, seorang profesor di Singapura menceritakan kepada saya tentang program pemerintahnya yang sangat menekankan sains (menghasilkan lulusan yang pandai dan terampil) tanpa seimbang dengan mengesampingkan seni liberal. Akibatnya, lulusan mereka menjadi para ahli yang hebat dalam matematika, fisika, komputer, namun sekaligus pribadi-pribadi dengan kemampuan komunikasi buruk, tata krama yang buruk, tidak menghargai budaya, kasar, menyebalkan, dll. Orang seperti itu cenderung akan menjadi tukang yang bekerja sendirian di depan komputernya saja. Ini penemuan yang mencemaskan bagi pemerintah Singapura karena itu adalah ciri-ciri tukang atau buruh, bukan pemimpin atau pemilik.
Nampaknya kita harus kembali lagi menghargai aspek-aspek pendidikan yang penting walaupun “tidak menghasilkan uang,” seperti seni liberal, atau yang “kurang efisien,” seperti metode mentoring dan kelas berukuran kecil yang memungkinkan intensitas interaksi guru-murid.
Saya paham bahwa kita memang tidak boleh membiarkan institusi-institusi pendidikan tidak terawasi, tanpa akuntabilitas. Pada dasarnya, manusia atau organisasinya sebagai para pendosa selalu butuh partner seimbang untuk mempertanggung-jawabkan apa yang dikerjakan. Jadi, isu bukan bahwa menjadi efisien itu tidak diperlukan, melainkan apa yang akan dijadikan ukuran keberhasilannya dan apa yang mungkin atau tidak mungkin dalam sebuah proses pembelajaran yang baik dan benar.
Jika peran guru diturunkan menjadi seorang pekerja saja, dituntut produktivitas massal, dan keberhasilannya diedit dan diukur secara kuantitas untuk menghasilkan statistik positif bagi institusi pendidikan yang sudah benar-benar diturunkan fungsinya menjadi sekadar sebuah “company,” maka akan sangat sulit menuntut kualitas dan keberhasilan yang lebih holistik. Kita menyadari bahwa pendidikan yang baik tidak ada yang mudah dan selalu butuh waktu bagi peserta didik untuk menjadi seorang educated person.
Para stakeholder juga perlu membantu mencari bantuan untuk guru-guru yang baik tapi tidak mampu mengupayakan dukungan dana yang memadai. Para guru perlu belajar bagaimana berbuat lebih jauh dari hanya sekedar rutinitas “mengajar” dan belajar meyakinkan para penyandang dana bahwa apa yang mereka lakukan layak dihargai.
Para orang tua tidak boleh sama sekali lepas tangan dalam pendidikan anak-anaknya. Mereka harus ikut belajar agar bisa ikut mengambil peran sebagai pendidik. Mungkin sudah saatnya Perkantas memiliki wadah untuk mendidik para orang tua. Bahan-bahan pendidikan homeschooling menurut saya bisa dipakai bukan hanya oleh mereka yang mengajar anak-anaknya di rumah, melainkan juga untuk belajar pendidikan.
Tugas Para Guru
Kita harus berupaya mengembalikan peran para guru sebagai pendidik/edukator dan menginvestasikan hidup pada para muridnya, bukan hanya sebagai pelatih. Kompetensi seorang pelatih adalah memastikan peserta didik memiliki ketrampilan tertentu, sementara seorang pendidik membentuk pola pikir, karakter, nilai, sikap, minat, dan mendorong tindakan nyata.
Saat ini, IKIP sudah ditiadakan, dan kriteria guru adalah memiliki gelar S-1 plus sertifikasi. Menjadi dosen kriteria nya memiliki gelar S-2 dan sertifikasi dengan pelatihan mendidik selama hanya 2 minggu dan ditambah 2 minggu lagi di tahun berikutnya dan sertifikasi. Dari kriteria dan model seperti itu, kita sudah bisa memperkirakan bagaimana masa depan pendidikan kita. Program sertifikasi guru dan dosen tidak merambah hingga kompetensi sebagai edukator.
Lalu, bagaimana caranya agar dalam situasi buruk ini kita bisa belajar menjadi edukator? Saya mengusulkan pemakaian dua wadah. Pertama adalah pembentukan Professional Chapter (PC) untuk guru. Saya dengar bahwa lebih dari 50% alumni Perkantas di Indonesia Timur berprofesi sebagai guru atau dosen. Dengan demikian, besaran ini merupakan potensi untuk pembentukan PC Guru dan Dosen.
Saya harap di PC, partisipan lebih menekankan pada penerapan dan tidak hanya terbatas pada Bible Study saja. Lakukanlah pembelajaran konsep dan metode seperti Project Based Learning misalnya. Bahan bisa didapatkan dari dukungan stakeholder lain atau internet. Lakukan pembuatan modul bersama-sama. Jika perlu, undang pelatih atau ahli. Lalu, wadah kedua adalah dalam kelas kita sendiri. Melalui tugas mengajar, kita buat penerapan apa yang sudah dipelajari dan dibuat di PC. Dengan demikian, terbentuk model belajar on-the-job.
Dalam PC, para guru juga belajar bagaimana membangun Personal Branding. Saya kira ini satu hal yang paling diabaikan oleh para guru. Usahakan agar kita bisa menjadi ahli dalam hal tertentu yang melibatkan model pendidikan secara mentoring. Kita pikirkan strategi untuk membuat diri kita dikenal orang dengan memanfaatkan media sosial: blog, situs web pribadi, atau menjadi pembicara seminar, dan sebagainya. Tujuannya tentu saja bukan agar “beken” melainkan untuk membangun jaringan, yang tentu saja sangat diperlukan untuk saling berbagi sumber daya, baik metode maupun pendanaan.
Peluang Bagi Para Pendidik Kristen
Seseorang tidak bisa memberi apa yang tidak dimilikinya. Saya mengusulkan agar kita sebagai orang-orang Kristen memulainya dengan melakukan hal-hal kecil yang menjadi milik kita. Orang-orang Kristen memiliki akar tradisi yang merupakan solusi, seperti tradisi Pemuridan.
Saya mengusulkan agar metode Pemuridan yang Efektif ditemukan kembali. Model-model pembinaan melalui khotbah atau verbal dan diskusi harus diimbangi dengan model-model pemuridan atau keteladanan. Metode pembelajaran kognitif diimbangi dengan model pembelajaran afektif, yaitu nilai, sikap, perilaku. Model keteladanan diwujudkan dalam kontak intens yang ada pada disiplin. Model itu dinamakan model internal atau insider ministry model (Jim Petersen, 2003).
Pada model layanan khotbah, setelah kita menyampaikan khotbah di suatu wadah yang mengundang kita, setelah itu kita lalu pergi dari situ. Para pendengar tidak bisa menyaksikan apakah Anda menerapkan apa yang Anda khotbahkan dalam hidup sehari-hari. Namun, jika ada pertemuan intens, biasanya berasal dari wadah yang sama – misalnya bekerja di kantor yang sama – maka wadah itu merupakan rekayasa sosial yang mendorong Anda menerapkan apa yang Anda khotbahkan pada diri Anda sendiri. Model keteladanan ini adalah metode yang efektif, dan pada setting seperti inilah tabiat/habit kita dibentuk.
Nah, saya kira apa yang sudah diusulkan dalam bagian sebelumnya (tugas guru), lalu ditambah dengan kompetensi yang dimiliki dari akar tradisi kita, saya kira kita akan menjadi para Agent of Change untuk mentransformasi masyarakat melalui bidang pendidikan. Masalah pendidikan di atas adalah peluang bagi para orang Kristen untuk menebusnya kembali dan memperbaiki, mempersembahkannya kepada Kristus yang adalah Sang Guru dan Sang Pemilik lembaga pendidikan modern (Malik, 1982: Alexander, 1978).
—— Dituliskan oleh Tohanes Somawiharja, Direktur Akademis Universitas Ciputra
——- Diterbitkan padaedisi no.2 tahun ke-XXIV 2010, Memulai sesuatu untuk perubahan masyarakat