Yulius Tandyanto:
Berpikir

[otw_shortcode_dropcap label=”I” font=”Aclonica” background_color_class=”otw-orange-background” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]a lahir di New York, 18 Juni 1948. Tuntunan nasib menghantarkannya untuk bergelut dengan persoalan teknologi informasi. Baginya, kecanggihan teknologi tidak hanya mengubah cara kita bekerja atau melakukan sesuatu, melainkan—dan bahkan—juga cara kita berpikir.

Namanya adalah Sherry Turkle. Kini ia menjabat sebagai direktur kajian sains, teknologi, dan masyarakat di Massachusetts Insitute of Technology (MIT). Judul karya terakhirnya boleh dibilang cukup unik, yakni Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (Basic Books, 2011). Nada oksimoron jelas terdengar dalam judul utama tersebut: sendiri sekaligus bersama.

Barangkali Turkle mengajak Anda dan saya untuk memikirkan kembali hubungan teknologi informasi dengan identitas manusia. Boleh jadi pada dasarnya (teknologi) jaringan sosial terhubung (online) cenderung melahirkan budaya “berbagi (share)” dan “berkomentar (comment)”. Dan kelak, tipe budaya macam itulah yang mematangkan suatu gaya hidup “sendiri bersama-sama”.

Di sana-sini, kafe makin ramai pengunjung. Namun, bukan dengan ingar-bingar obrolan santai dan gelak tawa antarpribadi. Sebaliknya, kafe menjadi tempat untuk menyendiri demi mendapatkan “keriuhan” yang semu. Tampaknya, kita lebih suka menyendiri dengan gawai elektronik ketimbang bertegur sapa dengan wajah asing yang tulen. Mungkin gambaran itulah yang dipotret oleh sastrawan Damhuri Muhammad lewat opininya berjudul “Pergaulan Tanpa Perjumpaan” (Kompas, 18/4).

Kajian atas tipe manusia pengguna Facebook dan Twitter pun kian menarik perhatian. Salah satunya adalah sudut bidik cukup serius yang ditawarkan oleh Hizkia Yosie Polimpung dan Priska Sabrina Luvita dalam simposium internasional yang diselenggarakan di Depok, 24 Februari lalu. Mereka mengindikasikan bahwa sebagian besar pengguna jaringan sosial terhubung adalah orang-orang yang  dramatis. Pasalnya, segala urusan pribadi didramatisir—entah sadar maupun tidak—sehingga menarik untuk dibaca khalayak umum. Mulai dari makanan, binatang peliharaan, hingga bersedu-sedan perihal “cuaca” hati.

Barangkali kondisi-kondisi itulah yang menjadi keprihatinan Turkle—meskipun ada beragam manfaat yang didapatkan pula dari (teknologi) jaringan sosial terhubung. Kita terbiasa untuk “membagikan” berbagai informasi dalam dunia yang selalu terhubung. Kita juga terbiasa untuk “mengomentari” status dan segala keriuhan yang ada di dalam kehidupan kedua kita—alias dunia maya. Toh, obrolan kita ini pun—dan berbagai ocehan lainnya dalam situs ini—bisa jadi akan dibagikan dan dikomentari dalam jaringan sosial terhubung sebelum akhirnya melenyap dalam tumpukan-tumpukan obrolan lainnya.

Itulah potret gaya hidup dunia yang selalu terhubung dengan teknologi jejaring. Para penghuninya larut dalam ekstase komunikasi antarpribadi yang tak berwujud. Di situ hanya ada citra, imajinasi, dan persona yang kita ciptakan. Dalam kerutinan macam itulah kita tidak lagi tahan berdiam diri untuk sekadar berpikir dalam hening.

Tawaran berpikir di sini bukan hanya sekadar menyangkut proses untuk mengelola berbagai hal yang abstrak nan ideal. Tapi, boleh jadi berpikir adalah menimbang-nimbang secara serius tentang apa yang biasa kita lakukan atau hayati dalam keseharian. Toh, kita cenderung tidak mempersoalkan kembali segala urusan yang telah dikerjakan dengan rutin, biasa, atau mekanis. Hanya pada saat muncul aral melintang, barulah kita teringat untuk mulai memikirkannya kembali.

Tak hanya itu, berpikir juga bukan sekadar mempertentangkan cara pandang yang satu dengan cara pandang lainnya serta sekaligus berusaha melampaui berbagai cara pandang tersebut. Tapi, berpikir juga berarti sadar diri bahwa kita ternyata tidak menimbang dengan mendalam hal-hal yang sepatutnya ditimbang.

Oleh karena itu, ada baiknya kita berpikir sebelum kian terjerat dalam “kehidupan kedua” yang makin banal. Dan berpikirlah sebelum disergap pula oleh corak berpikir (bak) akar rimpang—yang menyebar ke mana-mana—yang mendominasi generasi digital terkini.

——-
*Penulis saat ini sedang menyelesaikan studi S-2 di STF Driyarkara, Jakarta.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *