Ivan Oktafianto:
Hati-hati, Jangan Sampai Tenggelam!

[otw_shortcode_dropcap label=”K” font=”Aclonica” background_color_class=”otw-blue-background” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]alau saya perhatikan, perilaku “narsis” kini kian mewabah. Narsis sering dikaitkan dengan perilaku seseorang yang suka pamer atau memuji diri sendiri. Perilaku narsis tercermin dari kata-kata yang diucapkan, dari kegemaran bercermin, atau dari kegemaran memotret diri sendiri—baik dengan kamera sendiri, maupun dengan (merebut) kamera teman. “Selfie”, alias memotret diri sendiri itu juga dilakukan di berbagai lokasi, entah di kamar, ruang kelas, tempat makan, bahkan di toilet. Kalau perlu, digunakan “benda ajaib” bernama “tongsis”, alias tongkat narsis dan lensa tambahan yang dapat dijepitkan ke kamera ponsel untuk menambah jangkauan dan kualitas gambar. Hasil-hasil jepretan itu pun biasanya langsung diunggah ke akun media sosial, nyaris tanpa berpikir soal privasi.

Tak hanya foto dan video narsis yang sekadar nampang, foto dan video yang bersifat pribadi juga disimpan di laptop, ponsel, dan bahkan di penyedia jasa penyimpanan online. Yang sering terjadi kemudian adalah, gambar dan video pribadi tersebut menyebar tak terkendali di media sosial, baik karena tindakan “phishing”, alias pencurian identitas, ataupun karena laptop dan gadget yang hilang dan isinya disalahgunakan oleh orang yang menemukannya. Sudah banyak kasus orang terkenal, baik itu artis atau pejabat, yang karirnya hancur karena foto dan video pribadi mereka tersebar di media sosial. Jika sudah demikian, maka legenda asal kata “narsis” yang berasal dari dongeng Yunani pun terbukti. Foto atau video yang seharusnya adalah “konsumsi pribadi” itu sudah terlanjur beredar luas dan “menenggelamkan” mereka.

Kisah si Narcissus
Kata “narsis” memang berasal dari mitos Yunani. Alkisah pada zaman dahulu, si Narcissus, putra dari dewa dewa Cephissus dan dewi Liriope, mempunyai wajah yang sangat tampan. Namun sayangnya, dia adalah pribadi yang tidak mudah jatuh cinta (bahkan tidak mau jatuh cinta). Banyak sekali perempuan yang ditolak cintanya oleh Narcissus ini, baik manusia, maupun bidadari. Salah satunya adalah bidadari bernama Echo. Jeritan patah hati Echo membuat dewi Nemessis mengutuk Narcissus menjadi orang yang menyukai bayangannya sendiri.

Kutukan dewi Nemessis itu mengakhiri hidup Narcissus ketika pada suatu kali, ia sedang berada di pinggir danau untuk membasuh mukanya lalu melihat bayangannya sendiri di permukaan air. Dia pun “jatuh cinta” dengan bayangannya sendiri, sampai-sampai tidak mau beranjak dari tempat itu untuk beberapa waktu lamanya. Ketika rasa cintanya memuncak, timbullah keinginannya untuk mencium dan memeluk bayangannya sendiri itu, sehingga tercebur dan tenggelam ke dalam danau itu. Narcissus mati oleh karena rasa cinta diri yang berlebihan.

Untuk kemuliaan Allah
Alkitab dalam Amsal 16: 18 menyatakan, “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” Karena mengandung pengertian tentang sifat seseorang yang senang mengagumi atau melebih-lebihkan dirinya sendiri, narsisme bisa digolongkan sebagai salah satu bentuk kesombongan. Lalu, dalam 2 Korintus 10: 18 disebutkan, bahwa pujian sejati bukan berasal dari manusia, melainkan dari Tuhan. Rasul Petrus dalam 1 Petrus 4: 11 juga mengingatkan kepada kita agar hendaknya apapun yang kita kerjakan, termasuk ketika berlaku di masyarakat dan menggunakan media sosial melalui gadget kita adalah untuk kemuliaan Allah, bukan untuk kemuliaan/kesombongan diri.

Dari beberapa ayat di atas, kita diajar untuk menjaga perilaku kita. Gadget dan media sosial yang ada jangan dihindari, melainkan “dikuduskan” penggunaannya. Perkakas-perkakas teknologi media yang canggih itu seharusnya bukan dipakai untuk mendukung narsisme, tetapi untuk menyatakan kemuliaan Alah dan menjadi berkat bagi orang lain. Mengunggah foto diri sendiri tentu boleh saja selama tidak berlebihan. Berbagi kebahagiaan dengan orang lain ketika sedang berada di tempat tertentu atau sedang menikmati makanan tertentu tidaklah masalah, asal tidak dalam rangka pamer atau mengundang iri hati.

Kekuatan media sosial yang bersifat langsung dan terbuka sangatlah besar untuk membentuk opini masyarakat, maka hendaknya digunakan sehati-hati mungkin untuk kemuliaan Allah. Misalnya, dengan menuliskan satu ayat Alkitab saja di status media sosial, maka secara otomatis ayat itu akan langsung bisa dibaca oleh banyak orang yang menjadi teman atau pengikut kita. Bisa jadi, dari sekian banyak orang itu, ada satu atau dua orang yang membutuhkan penguatan atau penghiburan, dan akhirnya dikuatkan atau dihibur karena membaca ayat Alkitab yang kita tuliskan itu. Akhir kata, semoga kita tidak tenggelam!

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *