Yulius Tandyanto, S.I.Kom:
Mengarungi Pascamodernitas di Indonesia

Barangkali Edmund Husserl (1859-1938) gundah. Ia mengira-ngira bagaimana kemajuan modern akan merusak dunia. Bagi Husserl, filsafat dan sains tidak menjadikan manusia lebih beradab. Namun, membuat manusia kian pandai dalam kebiadabannya.

 

Kala itu, Eropa memang dilanda krisis. Gerakan Nasional Sosialisme dan Fasisme merekah menjadi suatu ideologi yang memukau. Pada masa itulah, The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology menjadi karya terakhir Husserl.

Dalam karya tersebut, Husserl mengkritik sains yang berevolusi menjadi suatu dogma baru dalam zaman modern. Dalam salah satu risalahnya, Husserl menelusuri bagaimana sains diobjektifkan sedemikan rupa sehingga menjadi suatu metodologi yang sistematis dan ketat. Dengan kata lain, sains mutakhir melupakan makna orisinal dan intuisi yang melahirkan sains itu sendiri.

Kegelisahan Husserl senyampangnya telah nyata di depan mata. Modernitas yang meluhurkan daya nalar malah membidani dua kali perang sejagat. Dan ironisnya, sains punya andil besar dalam teknologi memusnahkan ras manusia.

Sebut saja sang penggagas bom atom, Julius Oppenheimer, yang tak berdaya dan hancur hati melihat ratusan ribu nyawa meregang dalam hitungan detik. Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak akibat kehebatan daya rusak reaksi fusi nuklir tersebut. Momen bersejarah ini menjadi dilema tersendiri: sukacita luar biasa karena berhasil membuktikan “keberadaan” partikel atom dalam fisika teoretis atau dukacita karena dampak tenaga nuklir pada teknologi persenjataan.

Persis di tengah masa krisis itulah, beberapa pemikir melontarkan kritik terhadap modernisme yang mengelu-elukan kemajuan. Mereka—yang biasa disebut sebagai kaum pascamodernis—mungkin bertanya, “Manusia, hendak dibawa ke manakah kemanusiaan dengan segenap nalarmu?”

Tubir harapan dan kenyataan

Pada masa yang sama, di tempat yang berjarak belasan ribu kilometer dari tanah Eropa, jiwa muda Sutan Takdir Alisyahbana bergelegak. Ia berkoar-koar kepada angkatan muda untuk menjadi manusia modern. Takdir menerawang ke depan, bahwa bangsanya akan maju bila manusia-manusianya berpikir rasional, berpedoman pada ilmu dan teknologi yang membimbingnya ke masa depan, dan percaya pada diri sendiri tanpa kehilangan nilai-nilai.

Harapan boleh disemai, tapi kenyataan tidaklah selalu memuaskan. Korupsi, kemalasan, dan mental pasrah pada nasib menggerus semangat yang telah dikobarkan. Namun, Takdir tidak menyerah. Bahkan, dengan garang ia berkata, “Masalah esensil dari hidup ini adalah diterima hidup ini atau tidak. Kalau tidak diterima … tidak ada orang yang memaksa … bunuh diri saja! Kalau mau hidup, MAKE THE BEST OF IT!”

Kita dan korupsi

Barangkali awan gelap enggan menyingkir dari alam pikir manusia Indonesia. Pakaian boleh modern, tapi nalar masih tradisional. Tata kelola pemerintahan boleh jadi dilandaskan pada birokrasi, tetapi tetap tunduk pada legitimasi tradisi dan karisma penguasa. Maka, tak heran banyak orang alergi dengan kata “birokrasi” yang kepalang bermakna negatif.

Padahal, sistem birokrasi dalam anggapan sang begawan ekonomi-politik, Max Weber, menuntut profesionalitas dan kepatuhan yang waras pada hukum. Lebih lanjut, semua perilaku yang merusak standar birokrasi tersebut dianggap sebagai korupsi dalam kacamata Weberian. Nah, dari bingkai tersebut kita memiliki pengertian korupsi yang populer dan aktual dengan keadaan bangsa kita: menyelewengkan jabatan publik demi kepentingan pribadi.

Maka, dapatlah diperkirakan bahwa masa kini—dan menjelang tahun-tahun ke depan—kita masih akan berada dalam rezim yang korup. Selama mental kita masih berpegang pada legitimasi tradisional, karisma penguasa, dan bukan pada hukum, maka korupsi tetap berkuasa.

Boleh jadi kita belum beranjak dari “zaman kegelapan”. Rasanya terlalu naif bila kita merasa paham tentang pascamodernisme. Kebanyakan kita masih terbiasa berpikir irasional dengan berpupur kosmetik modernisme dan juga kerudung pascamodernisme. Kita menjadi genit, latah, dan memuja kemolekan yang mudah pudar.

Fundamentalisme dan kebebasan

Seseorang dapat saja merasa tercerahkan dengan gagasan pascamodern yang sebenarnya tak lain penjelmaan dari fundamentalisme pasar. Atau, seorang yang lain merasa begitu antipati terhadap gagasan-gagasan pascamodern sampai-sampai ia lupa bahwa dirinya adalah seorang fundamentalis agama. Ya, “awan-awan gelap” itulah yang menyelemuti cakrawala hidup kita sehingga kita sukar mengenali kemanusiaan dan kebenaran.

Mari kita ambil salah satu contoh tentang penerapan kebebasan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja, kehadiran ajaran-ajaran yang dicap bidah di bumi Nusantara ini, seperti: Saksi Yehovah, Mormonisme, Ahmadiyah, Syiah, dan sebagainya. Kelompok A memperjuangkan mati-matian agar ajaran-ajaran tersebut mendapat pengakuan legal dari negara dengan alasan HAM. Di lain pihak, kelompok Z mengutuk habis-habisan—bahkan siap menghabisi para pemeluknya—karena ajaran-ajaran tersebut menyesatkan umat dan menghujat Tuhan.

Secara karikatural, pendapat kelompok A merupakan anak kandung fundamentalisme pasar yang menyuarakan kebebasan seluas-luasnya sejauh tidak merugikan orang lain. Demikian pula sebaliknya, pendapat kelompok Z adalah anak rahim fundamentalisme agama yang menggantungkan kebebasan manusia pada otoritas “suci”, yakni “Tuhan”.

Penggolongan pendapat ke dalam dua posisi ekstrem di atas tentulah tidak bersifat mutlak. Kenyataannya, ada banyak faktor lain yang kait-mengait, sehingga kita selalu berada dalam gradasi dua posisi yang selalu bersitegang. Rasanya perdebatan macam ini selalu aktual dan tak terhindarkan. Kendati demikian, kita dapat menyelami pokok persoalan tersebut dengan bertanya secara reflektif, “Apa itu kebebasan? Dan bagaimana manusia menyikapinya?” Dari permenungan itulah akan tercermin cakrawala hidup kita tentang manusia, dunia, dan Tuhan.

Celik konstitusi sebagai kunci

“… Semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, ….” Barangkali doa di atas boleh menguatkan siapa saja yang hendak membenahi diri, gereja, dan bangsa.

Di tengah situasi yang cenderung latah, genit, nyinyir, dan dangkal, ada baiknya kita menawarkan sikap objektif, mandiri, dan mendalam. Sikap ini perlu ditularkan pada sebanyak mungkin orang sehingga menjadi keutamaan bersama.

Implikasinya, keutamaan bersama justru mengokohkan kebaikan-kebaikan bersama. Ia tidak melulu mengkambing-hitamkan pemimpin dan aparatur negara. Bila kita cukup jeli, skema Weberian yang sedikit diulas di atas mereduksi korupsi hanya sebagai bentuk penyelewengan fungsi jabatan publik. Padahal, akar korupsi juga bersumber dari rusaknya nilai-nilai moral individu dan masyarakat.

Menariknya, korupsi moral tidak terjadi dalam satu-dua tindakan, tetapi merupakan suatu kebiasaan. Akibatnya, orang-orang merasa yakin telah melakukan tindakan yang benar, yang nyata-nyata keliru. Sebagai contoh, gejala pengendara bermotor di kota-kota besar yang menerobos lampu merah. Tampaknya, perbuatan tersebut dianggap hal yang wajar oleh masyarakat—bahkan polisi—selama dilakukan dengan “hati-hati”.

Dengan demikian, kita membutuhkan pemimpin yang dapat mengarahkan kita bersikap objektif, mandiri, dan mendalam. Salah satu ejawantah dari sikap tersebut adalah kepatuhan kita terhadap konstitusi. Dalam pengertian yang paradoks, aturan justru membuat diri kita terbebas dari pemenuhan nafsu-nafsu tak terkendali yang melanggar nalar.

Barangkali kecelikan akan konstitusi menjadi modal yang baik dalam mengarungi zaman pascamodern a la Indonesia. Semoga kita tidak lagi berorientasi pada kepemimpinan tradisional maupun karismatik, tetapi pada kepemimpinan bersama yang menghormati konstitusi.

Ayo, perbaiki sikap mental bangsa ini dan… BUATLAH YANG TERBAIK!

——–
*Penulis adalah Yulius Tandyanto, S.I.Kom, mahasiswa program Pascasarjana STF Driyarkara, 
** Diterbikan dalam majalah Dia edisi III tahun 2013

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *