Thomas Nelson Pattiradjawane:
Dicari: Mahasiswa yang Merakyat

Mahasiswa masih menjadi harapan bangsa. Karena itu, wajar apabila tanggung jawab yang dibebankan kepada mereka juga begitu mulia. Tapi, sejauh mana kepedulian mereka terhadap perkembangan masyarakat dewasa ini? Masih adakah kesadaran bahwa sebagai calon pemimpin bangsa, mereka sebenarnya harus memiliki idealisme dan komitmen yang tinggi terhadap rakyat?

Jalan Kaki? Oh, No!
Mahasiswa kita sekarang—terutama yang tinggal di kota, yang tidak miskin—sejak kecil sudah naik kendaraan bermotor (menurut istilah polisi, “ranmor”). Naik ranmor ini wajar saja baginya. Yang berjalan (“mlaku” atau “leumpang“) malah ditanyai, “Kok jalan kaki?” Karena pertanyaan seperti itu makin wajar, maka orang menjadi malu berjalan. Naik kelas di SMP atau SMA, anak minta sepeda motor. Mulai kuliah, minta dibelikan mobil. Kalau arus ini tidak dibendung, kelak semua mahasiswa bisa menjadi pemobil. Pemerintah akan dibuat “pusing” karena memikirkan konsumsi energi dalam negeri!

Mahasiswa kita sekarang mungkin tahu bahwa dulu rekan-rekan mereka sesama mahasiswa (baca: pemuda) hanya berjalan kalau pergi ke rumah kawan, ke sekolah, ke gereja, atau ke bioskop. “Mengukur jalan” lima sampai sepuluh kilometer tiap hari, dianggap biasa.

Mlaku atau leumpang ini mungkin tidak terbayangkan oleh mahasiswa sekarang. Hampir mustahil kalau mengajak mereka berjalan. Berbagai alasan akan muncul: “takut kulit hitam”, “memanfaatkan teknologi (ranmor)”, dan sebagainya.

Pejalan Kaki
Sekarang, mari kita lihat mahasiswa di masa “alun leumpang”. Dia bisa melewati rumah demi rumah, warung demi warung, gubuk demi gubuk, sawah demi sawah, sambil menengok ke kiri ke kanan. Sering dia memperlambat jalannya atau sesekali berhenti untuk mengamati sesuatu: entah petani yang tengah menuai padinya, ayam jago dengan kokok indahnya, tukang yang sedang menggergaji, penjual jamu dengan bakulnya, atau anak-anak kecil di kali yang tengah membuat karyat dari tanah lempung.

Si pejalan sudah terbiasa blusak-blusuk di lorong, perkumuhan, kampung, sembari sesekali melompati pagar atau selokan. Tidak ada jalan aspal, jadi kalau sedang becek ya harus siap “berbecek ria.” Sepatu, bahkan kaki ikut kotor!

Dulu, yang namanya sawah itu juga ada di dalam kota. Kota-kota seperti Bandung, Bogor, Jakarta, masih punya banyak sawah, jadi untuk mendatangi sejumlah teman atau pergi ke sekolah, si mahasiswa menyusuri atau melintasi sawah. Karena itu, mereka tanpa harus disengaja, terbiasa mengamati keadaan rakyat bawah yang sebenarnya. Mahasiswa yang tinggal di kampung bertahun-tahun jumlahnyapun tidak sedikit. Rumahnya terbuat dari bilik atau kayu, mandinyapun di sumur.

Mahasiswa yang hidup di tengah kota suka memasuki lingkungan para miskin. Tak jarang, dia bertukar senyum lalu ngobrol dengan mereka sambil makan jagung bakar, nongkrong di sebelah rumpun bambu atau di pinggir saluran sawah.

Di masa revolusi, gampang saja dia tidur di gubuk kampung selama berbulan-bulan atas kemauannya sendiri, mandi di pancuran, atau buang air besar di kali. Singkatnya, mudah sekali melihat dan mengerti keadaan rakyat dari dekat. Tak usah dianjurkan, disuruh, atau pake acara Kirab Remaja segala.

Bandingkan semua tadi dengan mahasiswa sekarang yang menggunakan kendaraan bermotor. Sejak kecil dia hanya bisa melaju di jalan aspal. Lajunyapun makin cepat karena jalannya makin mulus, pakai hot mix yang dan selalu dilapis ulang. Jarang dia melengos, bisa berbahaya! Pandangannya dipusatkan kepada kendaraan lain, kadang-kadang sambil memerhartikan jenis bannya, bodynya, jenis stirnya, atau aksesoris lainnya (kalau sedan)!

Segala kiri-kanannya terbang dengan cepat. Dilihat ya dilihat, tetapi sepintas saja (seperti “sekilah wajah”-nya “Berpacu Dalam Melodi”). Apakah ada burung atau ayam, mana ia tahu. Cicit dan kokok ayam kalah dengan deru ranmornya. Yang diamati hanyalah yang dia tuju. Dan ini bukan lorong, warung, pasar, sawah, kampung, atau kali. Dunia yang tidak pernah dia blusak-blusuki ini begitu asing baginya.

Tak heran kalau banyak mahasiswa sekarang hanya mengenal lingkungan yang bersih, nyaman, indah, modern, dan gemerlapan. Mainnya tidak di sawah, tetapi di mall, di kondominium, di café, atau di ruang disko, yang semua minta bayaran. Dia banyak melancong dengan motor dan mobil, dari Cuma putar-putar kota sampai weekend ke luar kota, kawasan Puncak, misalnya.

Minuman mereka bir atau softdrink yang beraneka mereknya. Begitu seterusnya. Mau coba-coba ajak mereka untuk minum bandrek, bajigur, atau temulawak? Paling-paling dijawab, “nanti sakit perut!”

Jadi bagaimana mengajak mereka memperhatikan kaum bawah?

Teknologi vs Kerakyatan
Orang dulu jarang yang punya radio. Apalagi mahasiswa. Karena itu pemerintah Sukarno memasang radio umum. Orang berkerumun di bawahnya hanya untuk mendengarkan berita, pidato, gamelan, atau dalang.

Sekarang, radio swasta membludak. Siarannya rata-rata 19 jam sehari. Entah di jalur AM maupun FM. Apa yang dicari mahasiswa?

Yang dicari umumnya hiburan. Bukan Cuma lagu, tetapi juga segala obrolan penyiar. Penyiar muda, energik, yang suaranya sexy. Omongannya penuh canda dan tawa. Selebihnya kosong. Berjam-jam mahasiswa kita menikmati semua ini. Apalagi kalau radio itu mengadakan kuis dengan bonus hadiah yang lumayan.

Pernahkah mereka mendengar Berita Ekonomi dan Keuangan RRI yang menyiarkan harga tomat per kilogram di Pasar Klewer, Solo? Atau harga per kilogram kentang ukuran sedang di Pasar Beringharjo, Yogyakarta? Jangankan harganya, berbincang dengan penjualnya di pasar beum tentu pernah mereka lakukan, sekali saja dalam hidupnya. Yang mereka kenal justru dunia yang sama sekali berbeda.

Pasar swalayan, supermarket, pusat grosir, dan segala bentuk pasar modern dengan istilah-istilah asing dan aspek individualisnya, malah menjadi arena belanja. Mereka bisa masuk, berbelanja, dan keluar pasar swalayan tanpa sepatah katapun terusap. Satu-satunya kesempatan berdialogpun kalau bisa dihapus saja.

Lihatlah, mendatangi kassa, seseorang cukup melihat jumlah uang yang harus dibayar di mesin hitung, membayarnya, kemudian meninggalkan pertokoan. Tak perlu lagi berucap terima kasih karena kata itu sudah terbaca di mesin hitung tadi. Ini gaya hidup modern yang tanpa disadari telah menghilangkan perilaku komunikatif dalam masyarakat. Bagaimana mahasiswa bisa mengetahui keadaan rakyat jika untuk bicara saja mereka enggan? Bagaimana mereka bisa bicara dengan 117 juta rakyat yang kehidupannya Cuma Rp 30.000,00 setiap bulannya?

Siaran televisi tentu juga perlu ditonton. Siarannya makin panjang. Bahkan dengan bantuan parabola, mahasiswa bisa nongkrong di depan TV selama 24 jam sehari. Acara yang dicari yang gemerlapan melulu. Musik, tari, fashion show, dan semacam itu.

Lalu masuklah mahasiswa ke zaman komputer. Banyak di antara mereka yang punya disket permainan (games), dari yang mendidik sampai yang tidak mendidik (porno, misalnya). Kawan-kawan datang, ikut main, dan makin ramailah jadinya. Sesudah main tentu saja mereka capek, tidur, dan dengan sendirinya tidak belajar. Mula-mula lupa belajar, seterusnya menjadi tidak belajar.

Jadi, bagaimana angkatan muda yang seperti ini mau peduli nasib rakyatnya? Membacanya di koran? Mana sempat. Hmmm… mana sempat? Diminta politik-politikan, mana mau? Takut kena sanksi administratif! Sebagai mahasiswa resikonya tinggi untuk terkena sanksi. Lebih baik ikut lady’s night!

Dekat dengan Rakyat
Dalam sejarah, kita hampir selalu menemukan anak-anak muda yang membayar harga.

Dokter Cipto merelakan kenikmatan sebagai dokter Gubermen dengan segala fasilitasnya, dan memilih jalan pergerakan yang membuatnya meringkuk di pengasingan. Begitu juga beberapa kawan segenerasinya.

Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, memilih bergerak di bawah tanah daripada menjadi antek-antek Jepang. Tentu dengan begitu Sjahrir harus merelakan kemudahan dan segala fasilitas yang diberikan oleh Jepang. Selain itu di tahun 60-an, banyak anak muda yang merelakan kesarjanaannya, dan lebih suka turun ke jalan daripada duduk di bangku kuliah. Dan sejarah membuktikan bahwa tanpa orang-orang semacam itu, Republik tidak akan pernah ada.

Bangsa ini membutuhkan orang-orang yang dekat dengan rakyat. Pemuda-pemuda yang terbuka dan yang mau mendengarkan suara rakyat.

_______
*Ditulis oleh Thomas Nelson Pattiradjawane, redaktur senior majalah Dia
**Diterbitkan ulang dalam majalah Dia edisi II tahun 2013 dari majalah Dia Edisi IV tahun 1994

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *