Robert Tobing:
Memperjuangkan Pendidikan Bervisi

Saya mulai berkecimpung di dunia pendidikan dengan mengajar di UI pada tahun 1981. Saya melihat dunia pendidikan ini sebagai tempat yang strategis. Kalau kita melihat fenomena di negeri kita (Indonesia), banyak pejabat yang menduduki posisi-posisi penting di lembaga-lembaga Eksekutif, Legislatif, maupun Yudikatif yang “tidak beres,” tentunya mereka adalah hasil dari pendidikan yang diperoleh selama ini, meskipun memang faktor-faktor lain turut mempengaruhi. Dengan terjadinya kasus-kasus kejahatan yang sedemikian banyak dimana ada alumni-alumni Kristen yang terlibat di dalamnya, tentu menjadi pertanyaan bagaimana pembinaan berjalan di siswa, mahasiswa, alumni, dan termasuk gereja?

Saya melihat miskin sekali pembinaan dari gereja yang sesuai dengan kehidupan profesional alumni. Perkantas pun sepertinya masih berfokus pada pembinaan mahasiswa. Meski sekarang sudah ada divisi pelayanan alumni, namun secara persentase belum menjadi fokus, kalau dilihat dari segi jumlah staf yang dikhususkan melayani alumni. Mungkin alumni dianggap sudah bisa “menghadapi dunia”nya, akan tetapi sebenarnya, alumni masih tetap membutuhkan pembinaan agar mereka bisa menerangi dan menggarami lingkungannya. Mereka memerlukan staf-staf yang jumlahnya memadai untuk melayani alumni-alumni yang notabene merupakan “buah” dari pelayanan siswa/mahasiswa.

Ada satu perbedaan mendasar yang saya lihat antara kehidupan mahasiswa masa kini dengan mahasiswa di masa lampau, yakni daya juang. Daya juang mahasiswa masa kini sangat lemah, termasuk untuk urusan kerohanian. Semangat untuk meraih prestasi yang maksimal, termasuk dalam pelayanan, sangat tidak memadai. Mungkin itu disebabkan oleh karena belum adanya suatu pembinaan yang cukup dalam dan kuat, baik dari mereka sendiri (pengurus) maupun dari staf. Jika pelayanan mahasiswa ini disebut sebagai Student Movement, pertanyaannya adalah siapkah para mahasiswa (senior) menjadi penggerak bagi teman-temannya? Bagaimana staf pelayanan mahasiswa mempersiapkan para pemimpin dari kalangan mahasiswa yang akan memimpin adik-adik tingkatnya? Sekedar pengingat, pelayanan mahasiswa dunia dimulai dari tujuh mahasiswa “top” di Cambridge (the Cambridge Seven) yang menggerakkan kehidupan doa dan pemahaman Alkitab.

Terkait dengan dunia pendidikan, Perkantas memiliki peran yang signifikan untuk menyediakan guru, dosen, dan profesional pendidikan yang idealis, yang benar-benar memiliki visi untuk mencerdaskan bangsa ini, bukan sekedar ikut-ikutan saja dengan arus yang ada.

Dalam salah satu tulisan saya yang diterbitkan di salah satu media massa nasional, saya menyoroti masalah Ujian Nasional (UN). Mungkin karena “phobia” dengan UN, banyak orangtua yang mendaftarkan anak-anaknya pada bimbingan-bimbingan belajar, bahkan sejak hari pertama masuk kelas, alias setahun sebelumnya! Hal ini tentu menjadikan kita berpikir tentang kualitas sekolah. Apakah materi-materi pelajaran yang diberikan di sekolah tidak cukup atau tidak lengkap, ataukah metode pengajaran guru yang “itu-itu saja”? Bisa dibayangkan betapa banyak pemborosan yang terjadi akibat tren ini, baik dari segi waktu maupun biaya.

Di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan Kristen sepertinya hanya ikut arus saja. Sekolah-sekolah berlomba untuk “gelar-gelar bergengsi” seperti Sekolah Berskala Internasional ataupun “Rintisan”-nya. Perguruan Tinggi juga setali tiga uang. Namun bagaimana dengan lulusan yang dihasilkan? Saya pikir lembaga-lembaga pendidikan Kristen tak bisa sekedar ikut arus yang ada. Kualitas materi dan pendidik perlu dievaluasi, tak hanya mengejar prestise belaka.

Dalam bagian ini, Perkantas punya sasaran yang ingin dicapai dalam pelayanan, termasuk dalam dunia pendidikan. Bagaimana perkembangannya sejauh ini? Sudah berapa guru atau dosen berkualitas yang dihasilkan oleh pelayanan ini, yang mempengaruhi sekolah atau kampus tempatnya mengajar?

Saya pikir Perkantas harus mulai memanfaatkan potensi-potensi yang ada, terutama afiliasi atau jaringannya yang tersebar di seluruh dunia. Perkantas harus mulai membina jejaring dengan Perkantas yang ada di luar negeri untuk saling berbagi metode pendidikan yang ada di tiap negara. Dari situ, bisa disimpulkan manakah metode yang dirasa paling tepat diterapkan di Indonesia atau memperkaya yang sudah kita punya.

Setelah itu, Perkantas mungkin bisa mengumpulkan berbagai yayasan di Indonesia yang berkecimpung di dunia pendidikan. Perkantas secara nasional perlu membuat semacam pokja (kelompok kerja) dalam bidang pendidikan yang nantinya berfokus dalam bagian ini. Di Dubai, misalnya, dibuka cabang-cabang dari berbagai universitas ternama di Amerika yang memiliki kelebihannya sendiri, sehingga banyak mahasiswa di dunia Arab yang belajar ke sana. Perkantas juga perlu mulai memikirkan kerjasama dengan lembaga-lembaga pelayanan yang lain. PPA, misalnya, memiliki “kekayaan” yang tentunya bisa memperkaya apa yang sudah dimiliki selama ini.

Perkantas juga perlu berpikir untuk bisa memasukkan staf-stafnya sebagai pengajar kelas agama di kampus-kampus. Staf-staf perlu didorong untuk mengambil gelar teologi, karena mau tidak mau, itu adalah salah satu prasyarat untuk mengajar kelas agama. Sebagai tenaga pengajar (orang dalam), staf tentunya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan “hanya” menjadi staf lapangan yang tidak memiliki hubungan langsung dengan kampus. Sebagai contoh, kami sedang mengusahakan agar kurikulum dan metode pengajaran di Perkantas dimasukkan dalam kurikulum mata kuliah agama, jadi nanti ada semacam “proyek ketaatan” dan lain sebagainya.

Selamat ulang tahun ke-40, Perkantas Indonesia, kiranya pelayanan terus bertumbuh, berkembang, dan berdampak bagi gereja dan bangsa, terutama bagi dunia pendidikan. Segala kemuliaan bagi Allah.

 

————————

*Dituliskan oleh Robert Tobing Pembantu Rektor II Non Akademik UKI dan Sekretaris Badan Pengawas Perkantas

**Diterbitkan dalam Majalah Dia Edisi I, tahun 2011

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *