Yulius Tandyanto:
Diponegoro

Aja angalaaken wong kang becik,
lan aja ambecikaken wong kang ala,
lan aja anganiaya wong akeh.

(Jangan mendurjanakan orang yang baik,
dan jangan membaikkan orang yang durjana,
dan jangan menganiaya orang banyak)
~Diponegoro, 1827.

 

Ontowiryo adalah nama kecilnya. Ia muncul pertama kali dalam panggung politik Kesultanan Yogyakarta tahun 1812. Kala itu ia membantu ayahnya, Pangeran Adipati Amangkunagoro, yang hendak merebut tahta kesultanan dari kakeknya sendiri, Sultan Hamangkubuwono II. Memang sang kakek dikenal sebagai orang yang berwatak kaku, suka melanggar hukum, dan tidak tegas.

Namun, diam-diam Diponegoro juga mewarisi sikap kakeknya yang anti orang Eropa maupun Cina. Ia pun berani mengritik sikap ayahnya yang lemah terhadap tekanan orang Eropa serta bersikap kebarat-baratan. Kelak, Diponegoro akan bergabung dengan kelompok Kasepuhan yang fanatik terhadap ajaran agama Islam dan anti Eropa.

Ia memang sangat mendalami sejarah nabi Muhammad dan Islam. Tekadnya untuk mendirikan balad (negara) Islam makin matang seiring perkaribannya dengan Kyai Mlangi, Kyai Kwaron, dan Kyai Taptayani. Jauh di lubuk hatinya, Diponegoro memimpikan masyarakat islami berdasarkan tuntunan rasul.

Gayung pun bersambut. Benih perang sabil (suci) terhadap kafir tumbuh subur karena berbagai perilaku orang Eropa dan para bangsawan Jawa yang tidak lagi mengindahkan norma dan ajaran Islam. Lagi pula tak dapat disangkal bila budaya Eropa pada masa itu turut andil dalam penindasan masyarakat, khususnya gaya hidup mewah dan praktik pajak yang sangat memberatkan.

Syahdan, pemberontakan terhadap gubernemen (Pemerintah Hindia Belanda) akhirnya pecah di akhir bulan Juli 1825.

Terabaikan di Negeri Sendiri

Setelah hampir sembilan belas dekade berselang, tahun ini UNESCO menobatkan Babad Diponegoro sebagai salah satu ingatan dunia. Kini Nagarakretagama dan I La Galigo memiliki adik setanah air yang diakui dalam pentas kebudayaan dunia. Namun, sayang beribu sayang karena naskah babad terabaikan di negeri sendiri. Malahan, Malaysialah yang menerbitkan naskah babad dalam bahasa Inggris dan Indonesia-Melayu.

Barangkali sebagian besar kita memang sedikit menaruh minat pada literatur dan budaya klasik Nusantara. Apalagi hendak berharap ada banyak orang Kristen yang berpartisipasi dalam menggeluti dan mengembangkan lahan yang kering—bila tak dapat disebut mati—itu. Toh, apakah kegunaan praktis mengutak-atik naskah klasik selain menambah wawasan dan memetik hikmat fananya? Tentu akan lebih berguna bila kita merenungkan hikmat dari Alkitab dan mengerjakan perihal yang nyata-nyata berdampak kekal.

Pun rasanya sukar menautkan kisah Diponegoro dengan ilham kekristenan secara langsung. Seandainya Diponegoro menegakkan keadilan berdasarkan iman Kristen, mungkin masih ada bersitan perasaan bangga dari kalangan umat kristiani. Ah, bagaimanapun juga kita tetap perlu mawas diri terhadap segala rupa rasa bangga yang berselubung. Ia menyelubungi baik fanatisme sempit maupun ibadah tulus pada Sang Khalik, sampai-sampai kita sulit membedakan keduanya.

Diponegoro telah memerjuangkan idealisme keislamannya. Namun, sejarah memperlihatkan bahwa (fanatisme) Islam tidak mampu menyelesaikan segala persoalan masyarakat hingga hari ini. Hal yang serupa tentu berlaku pula pada kekristenan. Fanatisme kita pada Kristianisme tidaklah memadai untuk menghadapi berbagai permasalahan hidup yang terbentang.

Meski demikian, selalu ada pilihan untuk tidak menjadi pesimis dalam menyikapi keadaan yang cenderung menawarkan relativisme. Di hadapan situasi yang gamang dan serba tak pasti, kita disadarkan untuk bersikap jujur terhadap keterbatasan diri. Tidak hanya itu, kita pun ditantang untuk bersikap rendah hati di hadapan pelbagai hal yang masih misterius.

Justru dengan menyelami rutinitas sehari-hari yang fana, kita sudah dan selalu berjumpa dengan berbagai kemungkinan yang ilahi. Saat seseorang mengalami penderitaan hebat, kegalauan, ataupun salah paham, di saat itu pula ia selalu memiliki momen untuk menemukan kelegaan yang mendalam ataupun mengoreksi pemahamannya. Momen eksistensial dan personal itu seolah menggemakan kembali ceramah seorang teolog dari Tarsus di waktu yang lampau:

…supaya mereka mencari Dia
dan mudah-mudahan menjamah
dan menemukan Dia, walaupun
Ia tidak jauh dari kita masing-masing.

Terlibat atau Melupakan Sejarah?

Rutinitas sehari-hari memang menjauhkan kita dari kedalaman refleksi. Tapi, rutinitas yang sama juga menyingkapkan bermacam-macam dimensi kehidupan manusia yang tersembunyi.

Diponegoro yang memimpin pemberontakan sabil pun harus selalu siap sedia menghadapi strategi benteng Jenderal Merkus de Kock. Selama lebih kurang tiga tahun berada dalam rutinitas perang yang amat melejarkan, toh seorang Kyai Mojo memutuskan untuk menghentikan perang. Diponegoro pun gusar karena Kyai Mojo adalah salah seorang tangan kanan yang sangat memahami dirinya selain Pangeran Bei.

Barangkali Kyai Mojo memahami dimensi penderitaan rakyat yang selama ini terabaikan karena perang yang berkepanjangan. Ia telah menetapkan pilihannya, meskipun tindakan tersebut akan merusak persahabatannya dengan Diponegoro. Dan seperti yang diduga, Diponegoro menganggap Kyai Mojo sebagai seorang pengkhianat dan juga telah menista rekan-rekannya yang gugur dalam menegakkan balad Islam.

Baik Diponegoro, de Kock, dan Kyai Mojo menggunakan sudut pandang yang khas dalam memaknai pengalaman hidupnya. Pengalaman mereka berlakur dalam ingatan sejarah yang tidak mudah ditentukan hitam dan putihnya. Mereka memperlihatkan sisi cerah dan kelamnya menjadi manusia.

Kini, di lintasan ruang dan waktu yang berbeda, babad Diponegoro menjadi relikui sejarah. Ia menawarkan pilihan pada manusia Indonesia zaman ini: terlibat atau melupakan sejarah. Terlibat berarti berpartisipasi dalam perbaikan kualitas diri, bangsa, dan dunia. Melupakan berarti menciptakan kembali tragedi-tragedi kemanusiaan.

Dengan demikian, menggeluti literatur dan budaya klasik Nusantara merupakan suatu upaya praktis untuk berjumpa dengan Tuhan, diri, dan pelbagai hal lainnya yang beresonansi dengan hikmat ilahi. Ya, suatu ikhtiar yang tampak menjemukan dan tidak seksi. Tapi, kekayaan pengertian dan kedalaman maknanya hanya dapat diselami oleh mereka yang berani bergelut dengannya.

Jadi, bergelutlah….

——-
*Penulis adalah Yulius Tandyanto, mahasiswa Pascasarjana STF Driyarkara, 

** Diterbikan dalam majalah Dia edisi II tahun 2013

Berikan tanggapan