Hendriek R. Mergart:
Emansipasi: Antara Tuntutan Hak dan Kewajiban dalam Sudut Pandang Kristen

“Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki.
Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.” –Nyai Ontosoroh.

Nyai Ontosoroh, sosok fiktif realis rekaan Pramoedya dalam Tetralogi Pulau Buru – Bumi Manusia, merupakan simbol kemandirian perempuan yang dapat diperjuangkan. Bumi manusia merupakan cermin pemikiran Pram melihat ketidakadilan dalam aspek gender di Indonesia (dan mungkin negara-negara Asia lainnya). Bukan saja mengerti akan hak-haknya sebagai perempuan, tetapi juga menjalankan fungsi kewajibannya setara dengan tuntutan hak. Tuntutan kesetaraan tidak hanya dilihat sebagai tuntutan hak semata tetapi memiliki konsekuensi tuntutan kewajiban yang juga sama harus dipenuhi.

Mungkin, di sini salah satu titik besar permasalahan dari emansipasi. Seringkali tuntutan emansipasi tidak disertai dengan kesadaran akan adanya juga kesetaraan kewajiban. Secara sederhana, sebagian kaum perempuan menuntut untuk memiliki posisi/ jabatan yang setara dengan kaum laki-laki, tetapi menolak untuk mengangkat barang yang berat dengan alasan perempuan itu lemah (secara fisik). Demikian juga sebaliknya, kaum laki-laki yang menolak kepemimpinan perempuan tetapi memberikan tanggung jawab yang berat (mental dan fisik) kepada kaum perempuan. Terdapat isu ketiadaan konsistensi di sini.

Masalah gender yang terkait dengan emansipasi memang selalu menarik perhatian bahkan hingga saat ini. Gerakan feminis yang muncul dari era modern telah berkembang dengan luas dalam kajian-kajian hingga bidang hukum feminis, sosiologi feminis bahkan filasat feminis. Seluruhnya bermuara kepada tuntutan hak.

Alkitab tidak pernah merendahkan kedudukan kaum perempuan
Alkitab ditulis dalam zaman dan budaya dimana kedudukan kaum laki-laki lebih tinggi dari kedudukan kaum perempuan, tetapi Alkitab tidak pernah merendahkan kedudukan kaum perempuan, karena setiap manusia sama di hadapan Allah (Bil. 15:15). Apabila terdapat perbedaan perlakuan dalam dinamika sosial bangsa Israel sesuai yang tertulis dalam kitab-kitab Musa, hal tersebut justru lebih berfungsi untuk menjamin hak-hak perempuan dalam budaya yang penuh diskriminasi tersebut. Sebagai contoh, perceraian memiliki syarat yang begitu rumit, surat cerai hanya dapat ditulis dengan persyaratan jika didapati hal yang tidak senonoh yang diperbuat oleh sang isteri (Ul. 24).

Dalam beberapa bagian Alkitab, terdapat perempuan-perempuan yang memiliki kedudukan yang tinggi dan sangat dihargai, misalnya Debora, seorang hakim perempuan atau nabiah. Posisinya sebagai hakim dibuktikan dengan dia turut memimpin peperangan melawan pasukan Kanaan. Dalam kitab Ester, Tuhan mempersiapkan Hadasa yang kemudian lebih dikenal sebagai Ratu Ester untuk menjadi “juruselamat” bangsa Yahudi dari ancaman genosida. Pada saat itu, seluruh tumpuan harapan terletak pada pundak Ester yang juga hanya memiliki harapan yang sangat tipis sekali untuk menyelamatkan bangsanya, Ester dan seluruh bangsa Israel bagai telur di ujung tanduk. Ester berani mengambil tindakan walau pun itu membahayakan nyawanya. Ester menjadi Ratu bukan sekedar sebuah posisi, tetapi juga berbicara tentang tanggung jawab yang besar.

Kembali kepada hakikat penciptaan
Jika dikaji lebih mendalam, maka latar belakang munculnya tuntutan emansipasi gender berasal dari pemahaman yang salah soal eksistensi dan perlakuan terhadap sesama manusia. Untuk menemukan solusi dari masalah ini, maka kita perlu kembali kepada hakikat penciptaan. Kisah penciptaan tidak pernah merendahkan perempuan, karena ia diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Tidak ada hierarki manusia di sini. Justru kisah ini memberi penekanan, bahwa laki-laki dan perempuan merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan, karena terdapat ada ikatan yang khusus. Hewan betina tidak pernah dikatakan diciptakan dari tulang rusuk hewan jantan.

Pemahaman yang tepat akan kisah penciptaan ini seharusnya meniadakan tuntutan emansipasi perempuan terhadap laki-laki, karena setiap pihak secara sadar mengerti posisi masing-masing dan mengerjakan peran yang telah menjadi bagian yang ditetapkan Tuhan bagi mereka.

_____________________
* Hendriek R. Mergart adalah Staf Mahasiswa Perkantas Pontianak

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *