Isu dan perbincangan tentang perempuan selalu menarik, terlebih menjelang peringatan hari Kartini (21/4) dibandingkan hari Ibu (22/12). Mengapa jelang hari Kartini? Hal itu dikarenakan Kartini dianggap sebagai pahlawan kebangkitan emansipasi perempuan. Secara historis, kebangkitan perempuan telah dimulai sejak awal abad 19 di berbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Perempuan dianggap sebagai kelompok yang paling sering dan rentan mengalami berbagai jenis pelanggaran hak asasi manusia.
Buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang merupakan kumpulan surat-surat pribadi RA. Kartini mengisahkan bahwa para perempuan pada zamannya (abad ke-19) dianggap tidak mempunyai kedudukan dan hak apapun. Semua hal yang berkaitan dengan hidup seorang perempuan sepenuhnya ada dalam pengaturan laki-laki dalam keluarga mereka (ayah, saudara laki-laki atau suami). Kebebasan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan adalah hal yang mustahil bagi perempuan pada masa itu.
Kondisi itulah yang menjadi isu dan perbincangan utama dalam perjuangan Kartini yang kemudian menginspirasi banyak perempuan lain untuk turut serta dalam memperjuangkan hak perempuan untuk memperoleh kebebasan dan kedudukan yang sama/setara dengan laki-laki tanpa melupakan kodratnya sebagai perempuan.
Kembali ke natur dan panggilan perempuan dalam Alkitab
Kita patut bersyukur bahwa pada abad ke-21 ini, perjuangan kesetaraan gender semakin lama semakin terasa perkembangannya, terlihat dari semakin banyak jumlah dan besarnya kesempatan perempuan untuk memperoleh kesempatan untuk meraih pendidikan yang tinggi, juga kebebasan berekspresi dan mengaktualisasikan diri di berbagai bidang sosial dan profesi.
Namun demikian, adanya tuntutan terhadap peran dan posisi perempuan yang lebih tinggi dan meluas melahirkan kekuatiran sebagian pihak tertentu kalau perempuan akan mendominasi atau menyaingi para laki-laki. Kekuatiran itu muncul karena gerakan emansipasi wanita yang dimotori oleh kaum feminis terutama di Amerika dan Eropa dirasa “kebablasan” oleh sebagian orang. Harry Blamires dalam bukunya yang berjudul “The Post Christian Mind” (Pemikiran Pasca Kristen), misalnya, menyoroti bagaimana wanita masa kini bisa memilih untuk memiliki anak tanpa suami—peran posisi laki-laki—lewat kecanggihan teknologi. Dengan kata lain, gerakan emansipasi wanita telah berkembang dari menuntut kesetaraan menjadi menuntut keutamaan.
Oleh karena itu, perempuan Kristen Indonesia perlu waspada dan melihat bahwa kebebasan yang semakin terbuka itu juga bisa merupakan ancaman yang justru menjauhkan perempuan dari natur dan panggilan yang dimaksudkan oleh Sang Pencipta, di mana perempuan menjadi terlalu sibuk bersaing atau bahkan memusuhi dominasi kaum laki-laki. Perlu dipahami juga bahwa dosa memang telah merusak, tidak saja relasi manusia dengan Allah, tetapi juga relasi manusia dengan sesamanya, termasuk di dalamnya relasi yang berkaitan dengan peran dan posisi laki-laki dan perempuan dalam tatanan keluarga, masyarakat gereja dan negara.
Seksualitas sebagai bagian dari rencana Allah Sebagai Kristen, kita perlu terus mempelajari Firman-Nya untuk mendapatkan pemahaman yang jelas bagaimana peran dan posisi perempuan yang Tuhan kehendaki. Sejak awal, Alkitab telah mengajarkan kepada kita bahwa Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan (Kej. 1:26-27) menurut gambar Allah. Hal itu menunjukkan bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan didasarkan pada satu sumber yang sama. Walaupun selanjutnya diceritakan bahwa Tuhan membangun seorang perempuan dari tulang rusuk laki-laki, itu tidak menunjukkan bahwa perempuan tidak setara atau subordinasi laki-laki, karena Allah telah menyatakan bahwa perempuan diciptakan untuk menjadi “penolong yang sepadan.” Dalam bahasa Ibrani, kata sepadan itu berarti setara, sama kedudukannya, tapi juga sekaligus berbeda jenis kelamin dan fungsinya.
Dalam buku “Menebus Eros? Mematahkan Belenggu Dosa Seksual”, John White menjelaskan bahwa “Saya harus mengarahkan perhatian pada gender, sebuah kata yang tidak pernah digunakan oleh Alkitab.” Penciptaan Allah berupa jenis kelamin yang berbeda, tidak pernah menjadi maksud adanya perbedaan kesetaraan atau isu gender, melainkan sebagai bagian dari pencapaian tujuan, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu…” (Kej. 1:28), di mana tujuan itu tercapai dimulai dari adanya “… seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2:24).
Meskipun dalam pembacaan Alkitab khususnya PL, kita menangkap kesan kuat bahwa hukum-hukum dan praktik-praktik dalam PL menilai perempuan lebih rendah dari laki-laki, di mana terjadi masalah poligami, perceraian dan kekuasaan laki-laki atas perempuan, hal itu harus dipahami bukan sebagai maksud dan kehendak Allah yang ideal dan mulia, melainkan sebagai konsekuensi logis dari kejatuhan manusia dalam dosa. Posisi perempuan yang rendah dan sering jauh dari gambaran ideal yang tersaji dalam praktik-praktik masyarakat Israel kuno dalam PL bukanlah kisah sepanjang masa. Jika kita mempelajari Alkitab dari PL hingga PB, kita dapat menyaksikan bagaimana Allah dengan bertahap mengikis praktik-praktik poligami, perceraian dan kekuasaan laki-laki yang keliru atas perempuan.
Meskipun Alkitab dikemas dalam budaya Yahudi-Israel yang menganut budaya patriarkal, tetapi kita dapat membaca berbagai tokoh perempuan yang memiliki peran dan posisi yang sedemikian tinggi dan penting, yang Tuhan pakai untuk menyatakan kuasa dan kehendak-Nya, sebut saja Nabiah Debora, Ratu Ester, Rut, Maria dan lainnya. Hal itu menunjukkan bahwa Tuhan tidak pernah membedakan masalah gender dalam pekerjaan-Nya, karenanya laki-laki dan perempuan diciptakan dan dipanggil untuk bekerja sama melaksanakan panggilan dan mewujudkan visi Ilahi (Kej. 1:26-27 dan Mat. 28:19-20). Sudut pandang ini mengajak segenap kita untuk bersikap tidak berdasarkan budaya atau isu-isu feminisme, emansipasi wanita atau kesetaraan gender yang dapat berubah seiring perubahan jaman, tetapi pada kebenaran firman Tuhan yang tak pernah berubah.
Perempuan dalam politik
Dalam pengamatan saya yang terbatas, masalah paling mendasar yang dihadapi perempuan saat ini bukan lagi hanya tertuju pada kesetaraan gender yang menuntut kesempatan dan perlakuan sama seperti laki-laki dalam bidang pendidikan, sosial, dan karir—walau masalah itu masih menjadi perhatian di beberapa pelosok di negeri ini karena pembangunan yang tidak merata, melainkan masalah kualitas keamanan, perlindungan bagi perempuan dan penegakan hukum bagi tindakan kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan. Pihak berwajib dan Pemerintah belum menunjukkan keseriusan dalam menangani masalah kualitas keamanan, perlindungan dan penegakan hukum bagi perempuan. Ini dikarenakan jumlah dan kualitas perempuan di parlemen dan pemerintahan yang belum berimbang. Oleh karena itu, peningkatan jumlah dan kualitas perempuan di parlemen sesuai dengan aturan yang berlaku perlu diperjuangkan.
Sudah seharusnya perempuan memiliki peran yang sangat strategis dalam berbagai aspek kehidupan termasuk politik, sehingga diharapkan kaum perempuan Indonesia yang saat ini berjumlah lebih dari 120 juta atau 49,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia (menurut data kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2012) bisa menjadi agen perubahan dalam peningkatan produk-produk legislatif yang properempuan. Hasil Pemilu 1999 menghasilkan 9% perempuan (45 perempuan dari total 500 anggota DPR), Pemilu 2004 terjadi pertambahan jumlah perempuan dalam parlemen yaitu menjadi 11% (61 perempuan dari 550 anggota DPR). Pada tahun 2009 meningkat lagi 18% (100 perempuan dari total 560 anggota DPR).
Namun demikian, dalam praktiknya kinerja perempuan di parlemen dan pemerintahan masih terasa lemah, seolah kehadiran mereka hanya sebagai “tempelan pelengkap” untuk memenuhi persyaratan perundangan belaka. Tak jarang, perempuan di parlemen dipilih berdasarkan kecantikan dan tingkat popularitas semata. Pemilihan yang tidak didasarkan pada peran dan kualitas perempuan itulah yang menyebabkan terpilihnya para wakil rakyat perempuan yang seolah sekedar untuk menunjukan keberhasilan pembangunan di bidang emansipasi wanita. Hal itu tentu berdampak pada tidak maksimalnya para perempuan menyuarakan pendapat yang properempuan.
Selain itu, tidak maksimalnya penegakan hukum berdampak pada masih tingginya jumlah kasus perempuan yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Bahkan, beberapa kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan yang sudah ditangani pihak berwenangpun seolah menguap tanpa jejak.
Yang lebih menyakitkan lagi, maraknya tindak kejahatan seksual, mulai dari pelecehan di tempat-tempat umum, hingga perkosaan dan pembunuhan, oleh sebagian pejabat tinggi dikatakan hal itu terjadi justru karena kesalahan cara berpakaian korban. Perempuan ditempatkan pada posisi sebagai subjek yang bersalah karena mengundang terjadinya tindak kejahatan tersebut, hingga seolah pantas menjadi objek yang menderita karena kesalahannya sendiri. Padahal, dalam banyak kasus kejahatan itu terjadi tidak dikarenakan kesalahan perempuan dalam berpakaian, tetapi karena hubungan relasi keluarga yang semakin renggang dan pergaulan sosial (masalah pornografi) yang semakin marak, serta belum seriusnya pihak berwajib dan pemerintah menangani masalah kualitas keamanan, perlindungan dan penegakan hukum bagi perempuan.
Untuk itu menjelang Pemilu pada tahun 2014, yang perlu kita pertanyakan dan kritisi bersama bukan lagi pada jumlah perempuan di parlemen, melainkan bagaimana kualitas perempuan yang akan dipilih menjadi anggota parlemen, apakah mereka serius dan proaktif serta berani dalam memperjuangkan berbagai tindakan pencegahan dan perlindungan serta penegakan hukum bagi tindakan kekerasan dan kejahatan terhadap perempuan.
Perempuan dalam keluarga
Sebagaimana dalam kumpulan surat pribadi yang ditulis Kartini untuk sahabat-sahabatnya, emansipasi yang diperjuangkan Kartini adalah hak perempuan untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan perkawinan monogami yang tidak dipaksakan, tanpa mengabaikan kewajiban dan tugas perempuan sebagai istri dan ibu bagi keluarga.
Jadi, emansipasi dan isu gender yang diperjuangkan Kartini bukanlah kemandirian dan kebebasan bagi perempuan yang kebablasan untuk menyaingi atau mendominasi laki-laki serta mengabaikan kewajiban dan tugasnya sampai di luar batas kodratnya sebagai perempuan.
Jika menurut Kartini, pentingnya perempuan perlu mendapat pendidikan sehingga memiliki ilmu yang memadai sebagai modal perempuan (ibu) untuk mendidik anak-anak (laki-laki dan perempuan) agar menjadi generasi yang berkualitas, terlebih lagi Alkitab yang banyak mengajarkan pentingnya pendidikan anak dalam keluarga, di mana perempuan memiliki peran dan tanggung jawab yang penting sebagai ibu, sebagaimana Amsal 1:8 menyatakan “Hai anakku, dengarlah didikan ayahmu, dan jangan menyia-nyiakan ajaran ibumu.”
Peran dan posisi perempuan dalam keluarga sangat menentukan dalam membentuk dan mendidik anak-anak menjadi generasi yang tidak saja berkualitas, tapi juga generasi yang takut akan Tuhan (Ul. 6:4-20). Dalam pengamatan saya selama pelayanan guru sekolah minggu di gereja atau guru mata pelajaran di sekolah, anak-anak yang dibesarkan dari perempuan (ibu) yang berpendidkan menunjukkan sikap dan kualitas karakter yang positif.
Perempuan dalam gereja
Saat ini, gereja-gereja sudah banyak yang terbuka menerima peran dan posisi perempuan, mulai dari kehadiran perempuan dalam pelayanan di bagian penyambutan, pembesukan, sekolah minggu, musik, misi, hingga kemajelisan. Kita patut bersyukur bahwa kehadiran dan peranan perempuan dapat dikatakan tersebar dalam berbagai bidang pelayanan, bahkan dalam bagian tertentu, terlihat jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.
Namun demikian, peranan perempuan dalam pelayanan dan gereja seringkali juga menjadi permasalahan yang rumit. Misalnya, bagi perempuan yang sudah menikah: kesibukan dalam pelayanan menyebabkan peranannya dalam keluarga menjadi kacau-balau, apalagi jika suami juga aktif pelayanan, maka anak-anak yang menjadi terlantar karenanya. Sebaliknya, kesibukan dalam keluarga seringkali juga menyebabkan pelayanan terbengkalai. Sedangkan bagi perempuan yang belum menikah, kesibukan pelayanan seringkali membuat dirinya disalahpahami oleh pihak keluarga, dianggap lupa mencari pasangan dan menikah karena terlalu sibuk pelayanan di gereja.
Perempuan yang sudah menikah memang perlu untuk membatasi diri demi keluarga dan memprioritaskan peranannya sebagai ibu yang mendidik anak-anak. Pembatasan diri tersebut bukanlah isu gender yang perlu diperdebatkan, melainkan kita harus melihat bahwa anak-anak adalah generasi penerus keluarga, gereja dan bangsa yang tidak boleh dibesarkan dengan asal-asalan.
Untuk itu, gereja pun perlu terus memberi pengertian dan mengingatkan para perempuan menikah untuk mengabdikan dirinya dalam pelayanan keluarga dan pendidikan anak-anak sebagai panggilan yang mulia dari Tuhan.
Saya melihat banyak teladan baik dari perempuan yang memang dengan sengaja memilih mundur dari pelayanan selama anak-anak mereka masih di bawah umur, lalu setelah anak-anak mereka lebih mandiri dan dewasa, mereka kembali melayani dengan aktif.
Bagi perempuan yang belum menikah, mari memakai kesempatan yang Tuhan berikan untuk memertumbuhkan dan mengembangkan diri semaksimal mungkin. Memang, menjadi perempuan lajang bukanlah hal yang mudah dalam budaya masyarakat kita, bahkan juga dalam gereja, tetapi jangan sampai status lajang membuat minder dan pasif, melainkan teruslah bersandar pada kasih karunia dan kekuatan dari Tuhan dengan menunjukkan ketekunan dan kesetiaan kita dalam pelayanan keluarga, kehidupan sosial, dan pelayanan gereja, sehingga nyata terlihat sebagai perempuan yang dapat diandalkan.
Penutup
Dalam Galatia 3:28 dituliskan, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Dalam ayat tersebut, rasul Paulus menyatakan dengan gamblang bagaimana kesatuan di dalam Kristus itu telah mendobrak penghalang-penghalang yang diciptakan oleh ras dan juga meruntuhkan tembok-tembok yang dibangun oleh gender. Jika Kristus Yesus yang adalah Tuhan telah meruntuhkannya, maka tidak boleh ada manusia (laki-laki atau perempuan) atau lembaga apapun yang masih meninggikan tembok penghalang dengan mengecualikan dan mengecilkan peran dan posisi perempuan.
Di sisi lain, perempuan harus memahami maksud dan tujuan penciptaannya seperti yang Allah kehendaki, sehingga mampu menjalani maksud dan tujuan itu dalam kehidupan berkeluarga, bergereja, dan bernegara secara baik dan berimbang.
——-
*Penulis adalah Elny Gunawan, Fotografer, mata pelajaran fotografi di Sekolah Kristen Bina Kasih Jambi
**Diterbitkan dalam majalah Dia edisi I tahun 2013