Arman Widya:
Sex Hotline

• Halo, DIA Hotline di sini. Ada yang bisa kami bantu?

* Halo?  Mau  tanya  nih,  boleh  nggak?  Ini benar kan tempat nanya-nanya soal seks?

• Betul, dan siapa ini?

* Dari  Enny.

• E-N-N-Y. Yak, silakan En, mau tanya apa?

* Mau nanya.. pecabulan itu apa sih Kak?

• Oo..percabulan itu ya segala sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal yang cabul

* Misalnya?

• Misalnya  gambar  cabul, foto cabul, cerita cabul, kegiatan  cabul, pikiran  cabul, obroIan cabul, obrolan cabul, gerakan/tarian cabul, termasuk khayalan cabul. Pokoknya yang berbau cabul deh..

* Ya, tapi cabul itu sendiri apa dong?

• Cabul itu..ya hal-hal yang tidak senonoh, tidak sopan tentang anggota tubuh kita. Terutama yang berkaitan  dengan nafsu birahi. Nah, yang…

*Tapi Kak, apa maksudnya nafsu birahi?

• Suatu  nafsu  yang  merangsang  keinginan untuk melakukan hubungan seks.

* Oh, gitu… jadi kalau kita melihat gambar porno tapi tidak terangsang, ngga apa-apa dong.

• Sebentar-sebentar. Kamu ngga bisa menyimpulkan begitu saja. Enny harus membedakan antara terangsang, dirangsang dan merangsang diri.

* Apa dong bedanya?

• Terangsang berarti secara tidak sengaja kita melihat atau membaca atau merasa suatu obyek porno, dan mengeluarkan nafsu birahi. Kalau merangsang diri, kita nya yang mencari-cari dengan sengaja hal-hal yang berbau cabul untuk memuaskan hawa nafsu. Ini bisa dengan cara baca buku, lihat-lihat gambar, meraba bagian tubuh orang lain, atau diri sendiri, bahkan hanya berkhayal saja. Nah, kamu niatnya apa, melihat-lihat gambar porno?

* Yah, misalnya dalam pelajaran melukis atau biologi gitu kan nggak apa-apa.

• Eit,  nanti  dulu.  Kitanya  yang  harus jujur. Bisa saja alasannya dicari-cari tapi niatnya merangsang diri.

* Oke deh, Enny ngerti.

• Tunggu  dulu.  Kamu juga  harus  bedakan satu lagi, dirangsang. Artinya, oleh pihak lain kita  dirangsang supaya nafsu birahi kita bereaksi.  Disinilah  kita harus hati-hati. Jangan terperangkap oleh siasat ini. Ingat iho, makin lama dunia makin pintar melakukannya, entah lewat film, ikian, bacaan bahkan mode pakaian. Nah, sekarang Enny sudah bisa membedakan  kan?

* Ah, jadi bingung • Oke deh. Sekarang tutup dulu teleponnya, pikir-pikir dulu. Nanti tanya saja lagi. * Ya deh. Terima kasih ya Kak.

• Sebentar En, Enny tahu dan mana telepon ini?

* Dan teman sekolah. Namanya Eri.

• Oke, terima kasih.

* Saya  yang mestinya berterima kasih

• Anwar menutup teleponnya, sementara tangan  kirinya  menarik kertas yangm berisi daftar penelepon.

“Wah sibuk sekali kelihatannya.” Terdengar sapaan dan belakang.  “Astaga,  Boy! Ke mana saja kau?” Tiga tahun lenyap nggak bilang-bilang, heh!” Boy tertawa, rambutnya yang pendek memang cocok dengan kacamata peraknya. Sambil men­ jabat  tangan  Anwar,  tangan  kirinya menanik kursi di meja sebelah.

“Biasalah. Ambil studi di tempat  orang bule. Kamu sendiri bagaimana?”

“Lihat saja sendiri. Tiga malam pegang hotline DIA,  sementara nunggu dikirim ke daerah.” Anwar, lulusan kedokteran tahun lalu sudah aktif di DIA sejak mahasiswa semerter 3. Sempat satu Kelompok Kecil dengan Boy selama 2 tahun.

“Hotline apa An? Soal AIDS?” Telepon berdering lagi. Sambil meraih gagang telepon, Anwar menunjuk poster merah di pa- pan pengumuman.  “Sebentar ya

• Halo, DIA Hotline  di  sini. Ada  yang  bisa kami bantu? Darisiapa ini? Oh, Tommy. Gimana kabarnya Tom? Basic Instict tiga?

Tangan Anwar melambai-lambai memanggil Boy. “Sebentar ya.” Tangannya menutup bagian penerima gagang telepon. “Boy, kamu tahu film Basic Instict tiga nggak?” Boy mengangguk.

• Ya, hallo. Maaf  Tom, saya nggak tahu tentang B13, tapi di sini ada teman saya yang tahu. Jadi kamu boleh tanya langsung.”

Boy memberi isyarat menolak. Anwar tetap menunjukkan mimik memaksa, tangannya menarik Boy lebih dekat, Boy menyerah.

• Halo, saya Boy. Ada apa? I-iya, pernah di Belanda dua minggu lalu. Iya…iya..Sebentar.

Sambil menjauhkan gagang telepon, Boy bertanya, “An, Tommy nanya nih, boleh nggak nonton B13. Aku mesti jawab apa?” Anwan juga  bingung.

“Menurutmu gimana filmnya?” Boy berpikir sejenak, mengingat isi ceritanya. “Ya… bagus juga.

“Cuma…. “Cuma apa?” Anwar terus mengejar.

“Cuma vulgarnya itu. Apa film itu ya bisa masuk bioskop sini?” Anwar segera mengambil gagang telepon itu.

• Halo. Tom, kamu mau nonton dimana? Oh, begitu. Apa kamu bisa jamin temanmu itu beres?

Oke, begini deh Tom. Kamu kan tahu bagaimana BII dan BI2. Bisa kamu bayangkan mereka membuat film itu pasti punya misi. Nah, salah satu misinya ya misi  komersial:  mencoba  menanik  minat sebanyak mungkin penonton dengan memuaskan keinginan penonton. Termasuk keinginan seksnya……

lya, sekalipun cuma film. Ya begitulah kerja film, hanya sebatas merangsang. Selanjutnya  bukan  tanggungjawab mereka

Iya, aku tahu. Tapi ingat Tom, ini perang misi. Sekali kamu terperangkap dalam siasatnya, sulit kamu melepaskan din

Oke. Memang semuanya tergantung keputusanmu. Tapi pasti kau masih punya catatan kita yang dulu. Kutipan Kólose 3:5 ‘Matikanlah dalam dirimu segala sesuatu yang duniawi, termasuk percabulan, kenajisan, hawa nafsu dan seterusnya”

Sama-sama.

Anwar menutup  teleponnya. Matanya melirik jam dinding, lalu memberi kode kepada seorang pemudi untuk menggantikannya. “Yok, kita bicara di luar saja Boy.”

Sambil berjalan menuju ruang tunggu, Anwar masih sempat memberi beberapa pesan kepada Tika, penggantinya.

“Sejak kapan  DIA  punya  kegiatan ini?”

Mulai tahun 1996. Sejak kau pergi ke Eropa lab…. waktu itu ada riset DIA,  mahasiswa psikologi, yang menemukan kenyataan bahwa 75% remaja mempunyai pengertian yang salah soal seks. Lalu DIA bikin  seminar khusus. Dan Iahirlah  program ini.”

“Laku nggak?”

“Wow, jangan ditanya Boy! Yang tadinya cuma 4 jam sehari, sekarang 18 jam. Dan jam 6 pagi sampai 12 malam. Baru sampai jam segini saja sudah lebih 40 orang..”

“Tiap hari?”

“Iya, pokoknya efektif sekali. Lebih efektif dan seminar LSD (Love Sex and Dating) zaman kita dulu. Beritanya cepat tersebar. Bukan cuma yang Kristen yang nanya, dan bukan cuma anak remaja. Malah kadang orang yang sudah tua masib tanya-tanya.”

“Nanya soal seks begitu?”

“Ya, segala yang berkaitan dengan seks. Termasuk   cara   mendidik   anak  tentang seks, nanya buku tentang seks yang bagus, film yang beredar di bioskop maupun laser disk. Tidak jarang juga ada yang bertanya perilaku seks teman-temannya, keluarga­ nya. Tapi yang paling banyak justru kasus pribadi soal pelecehan seksual dalam keluarga maupun pada masa pacaran.”

“Kedengarannya makin parah ya, kehidup­ an di sini. Rasanya seperti di Eropa saja. Begitu mudahnya orang memuaskan hawa nafsunya, sehingga tidak ada yang tabu lagi kecuali keluarga yang kolot.”

“Bener. Prinsipnya kitanya sendiri yang harus bertahan. Eh, ngomong-ngomong kau sendiri bagaimana?”

“Bagaimana yang mana nih?” tanya Boy mencoba mengulur waktu untuk menyusun cerita yang pas buat Anwar.

“Ya, apa saja Iah.”

“Ya, begitulah. Sepertinya jadi kesempatan untuk berbuat semaunya. Kau nggak bakal nyangka deh gimana aku di sana. Makanya aku nggak berani kirim kabar ke teman-teman di sini. Wah, pokoknya duniawi banget deh.”

“Terus, ngapain kau ke sini, kalau malu?”

“Justru itu. Banyak yang merosot sejak aku di sana. Terutama standart rohaniku. Drastis An.” Boy terdiam sejenak.” Tapi benih kebenaran yang pernah kita bahas dulu belum pupus. Waktu aku menerima tanda lulus di sana, rasanya ingin menangis An. Pengetahuan yang tidak seberapa hanus dibayar mahal karena merosotnya rohaniku. Rasanya aku ingin segera pulang, An. Kumpul dan PA bersama lagi. Makanya begitu selesai urusan rumah, aku can  kau lagi di sini.”

“Kasih setia Tuhan untuk selama-Iamanya Boy. Ikut saja lagi Kelompok Kecil kita. Kita mulai bangun lagi rumah Tuhan di ha­ timu, Oke? Yok, kita sekarang makan satenya Pak Dulah dulu….” (Arman Widya)

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *