Laporan Sri Widarti:
Mentawai, Ladang Yang Butuh Pekerja

Kepulauan Mentawai adalah gugusan pulau seluas 8000 km2 yang terletak disebelah barat Sumatera. Yang terdiri dari empat pulau besar yakin, Siberut, Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan dan lebih dari 125 pulau-pulau kecil yang mengelilinginya. Sebagian besar masyarakat Mentawai masih hidup secara tradisional. Mereka sangat mengandalkan hasil hutan – khususnya kayu untuk dibuat kani (perahu yang di dorong motor) – perkebunan (tebu, tembakau, umbi-umbian) dan enau (sagu). Sedangkan kebutuhan-kebutuhan lain didatangkan dari Sumatera Barat.

Masyarakat Mentawai sebagian besar beragama Kristen. Kemungkinan terjadi karena kepulauan ini diduduki Belanda awal abad ke 17 dan Inggris (1749-1757). Dengan keberadaan masyarakat tersebut, tidaklah mengherankan bila beberapa lembaga Kristen mencoba melayani masyarakat Mentawai diantaranya Pelayanan Desa Terpadu (Pesat), Gideon, Gereja Kristen Indonesia (GKI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dan Persekutuan Pembaca Alkitab (PPA).

PPA denga proyek Philadelphianya, terus mencoba melayani masyarakat Mentawai. Bila sejak 1992 PPA hanya mengirimkan buku-buku terbitannya, maka pada tahun ini, tepatnya 29 Maret – 15 April 1994 lalu, PPA mengutus Sri Widarti (Staff PPA) dan empat volunteer yaitu Anta Rumondor dan dr.Samuel melayani masyarakat Mentawai.

“kami dari Jakarta menumpang Kapal laut “Lawit” menuju Teluk Bayur, Padang. Kami bertiga Sri Widarti, Yumi dan Anta ‘menikmati’ perjalanan laut kurang lebih 39 jam. Sedangkan dr. Benno dan dr.Samuel menyusul dengan pesawat dan kami bertemu di Padang. Udara senantiasa cerah, ikan dilaut melenggang di atas ‘permadani’ lautan biru, dan sekumpulan ikan lumba-lumba menari-nari membuat perjalanan kami kian menyenangkan,” ujar Mbak Wiwid, panggilan akhrab Sri Widarti. Kapal Lawit pun merapat di Teluk Bayur, 31 Maret 1994, tepatnya pukul 9.30 WIB. Dari jauh, Pdt. Parulian Simalinggai tampak telah menunggu kedatangan kami. Hamba Tuhan yang menjadi Sekertaris Jendral Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM) ini akan menemani kami menjelajahi kepulauan Mentawai.

Sipora adalah pulau pertama yang kami kunjungi. Untuk sampai kepulau ini, kami harus menumpang kapal kayu ‘Semangat Baru’. Kapal kecil ini sangat pelan jalannya. Sehingga goncangan ombak yang sedikit besar membuat kami yang tidak bisa perjalanan laut, mabuk (hal yang sama pun kami alami ketika perjalanan pulang ke Padang). Desa Tua Pejat, Sioban, Silaoinan Malabaet, Sagici dan Nem-Nem Leleu adalah desa-desa yang kami kunjungi.

 

Tua Pejat, Pola Hidup dan Penyakit

Di desa Tua Pejat, tempat ‘Semangat Baru’ merapat, kami mengunjungi tua-tua gereja. Karena ketika tiba tepat hari Minggu, kami sempat melihat anak Sekolah Minggu (SM) menyapu ruangan dan halaman gereja, hal yang tidak pernah kami temui di kota-kota besar. Dari desa ini, Semangat Baru membawa kami menuju Sioban, desa bermukimnya Pdt. Parulian S. Lalu kami menginap disana. Dari Tua Pejat ke Sioban hanya memakan waktu 2 jam 30 menit.

Setelah istirahat sejenak di kediaman Pdt. Parulian, kami melakukan pelayanana kesehatan hingga petang. Seratus tujuh puluh jiwa kami layanani. Kebanyakan pasien dewasa berpenyakit perut dan punggung. Sedangkan penyakit kudis dan cacingan diderita oleh anak-anak. Menurut analisa kedua dokter, penyakit-penyakit tersebut menyerang masyarakat Mentawai, karena kurangnya vitamin dan tidak sehatnya pola hidup mereka.

Sesuai pelayanan kesehatan, di desa Siobat kami menuju desa Silaoinan, 3 kilometer dari Sioban. Disana kami mengadakan pembinaan mengenai pentingnya membaca Alkitab dan melakukan penyuluhan kesehatan serta pertanian. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 23.30. ditengah gelap gulita (karena belum ada listrik) dan suara burung hantu, kami kembali ke penginapan. Keesokan harinya, kami melakukan kunjungan dan penyuluhan dari rumah ke rumah. Sedangkan dari sore hingga pukul 22.00, Dr. Benno dan Samuel melayani 171 persen. Hari-hari melelahkan, namun menyenangkan!

Pasien tidak habis-habisnya. Keesokan harinya masih ada 35 pasien yang menunggu ‘tangan’ dr. Benno dan dr. Samuel. Setelah pengobatan tersebut, kami mengunjungi Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan berkenalan dengan Dr. Yoyok, asal Jawa Timur. Selanjutnya kami berkunjung dan bersantap siang bersama teman-teman dari Yayasan Pesat. Seusai kunjungan tersebut, di kediaman Pdt. Parulian, kami mengajarkan masyarakat setempat membuat manisan buah pala. Masyarakat selama ini hanya menggunakan bijinya, sedangkan buahnya dibuang. Sore harinya, kami mengunjungi Pak Camat. Ia prihatin dengan tindakan aparat keamanan yang memberi peluang kepada muda mudi meminum minumana keras dan bermain judi. Dari kediaman Pak Camat, kami langsung mengadakan pembinaan rohani di desa Malabaet hingga pukul 22.00

 

Ombak dan Sagici

Keesokan harinya, 6 April 1994 kami berangkat ke desa Sagici, 5 jam perjalanan kaki. Namun, karena membawa makanan, minuman, obat dan buku-buku, kami menyewa kano. Sebetulnya kano itu terlalu kecil untuk memuat 8 orang plus bawaan. Ketika sampai ditengah laut hujan turun rintik-rintik dan ombak agak besar. Air laut dan hujan masuk kano. Kami terombang ambing. Suasana saat itu sangat menegangkan, dan membuat kami pasrah. Peristiwa itu memberi pelajaran bahwa betawa luar biasanya Allah dibandingkan dengan kami – manusia- ditengah sebagian kecil karya-Nya! Kami menyadari Allah dapat melakukan apa saja tanpa kami menghindarinya. Ucapan syukur, keagungan dan pujian tidak putus-putusnya kami naikkan bagi-Nya yang telah memimpin sepanjang perjalanan menuju desa. Sagici.

Di desa ini, kami menginap di rumah bendahara gereja, rumah panggung beratapkan anyaman daun kelapa. Rumah seperti ini merupakan rumah ciri khas Mentawai. Kami menginap menginap selama dua malam di desa Sagici. Kegiatan yang kami lakukan antara lain pelayanan kesehatan, membuat jembatan percontohan (karena hampir semua rumah tidak memiliki jembatan) dan pembinaan rohani. Dokter Benno (dr. Samuel telah kembali ke Jakarta karena tugasnya di Jakarta tidak bisa ditinggal lebih lama) harus melayani 280 pasien. Di Sagici ini, ia harus melakukan operasi kecil dan pencabutan gigi.

Rumah-rumah di desa ini berdekatan. Karena itu kami lebih leluasa melayani anak-anak Sekolah Dasar (S). anak-anak yang datang kami ajari puji-pujian dengan berbagai gerakan. Mereka cepat menangkap dan malamnya ketika menjelang tidur, kami masih mendengar mereka menyanyikan lagu-lagu baru.

 

Nem-Nem Leleu, Tak Berseragam

Dari Sagici kami menuju desa Nem-Nem Lelelu. Untuk mencapai desa ini kami harus berjalan kaki menyusuri pesisir pantai selama 2,5 jam. Kami berangkat menunggu air lait surut ( sekitar pukul 10.30). Meski berpanas-panas, tetapi kami dapat menikmati pantai karang umput laut, ikan kecil berwarna-warni dan air kelapa.

Setelah istirahat sejenak, kami mengadakan pelayanan kesehatan. Sedangkan sorenya kami mengadakan kebaktian sekaligus penyuluhan peranian dan kesehatan. Seperti desa lainnya, desa Nem-Nem Lelepun keadaannya memperihatinkan. Dokter Benno harus melayani 160 pasien. Penyakit yang menimpa masyarakat adalah korengan, batuk, cacingan, asma, maag, sakit kepala, dan kudisan. Penyakit tersebut disebabkan cara hidup mereka yang sangat tidak sehat. Di desa ini air sumur galian sangat kotor dan keruh. Untuk mandi saja sebetulnya tidak sehat apa lagi untuk di mininum.

Dari perawatan ke kepulauan Mentawai ini kami perihatin dengan kondisi hidup, sosial, ekonomi dan kesehatan masyarakat. Terutama desa Nem-Nem Leleu. Anak-anak desa ini belum pernah ‘menginjakkan’ kaki ke sekolah. Tidak ada seragam. Mereka dengan pakaian compang-camping, kulit korengan, and beringus, pergi ke ladang keladinya. Hati kami terbuka dan terenyuh! Perekonomian Indonesia yang menurut berbagai media telah tumbuh pesat ternyata “cipratannya” belum sampai ke pelosok ini.

 

Harapan Kita

Perjalanan panjang tersebut tak terasa telah usai. Dalam perjalanan kembali ke Jakarta, rasanya dihadapan kami masih ‘menari-nari’ anak-anak yang menggendong keladi, rumah tanpa jendela, sumur yang kotor karena dekat tempat pemeliharaan ternak dan kurangnya alat transportasi. Ironis memang. Mentawai daerah yang sangat indah, subur dan kaya dengan potensi alam yang dapat dibudidayakan, tidak dapat memberi kesejahteraan bagi penduduknya.

Bukan hanya itu! Dari segi pendidikan dan rohani pun sangat menyedihkan. Guru-guru didatangkan dari kota Padang yang jadwal mengajarnya seperti uap, sehati dua hari tampak, namun sebulan lebih tak ketahuan dimana ‘rimbanya’. Pembinaan iman pun kurang. Mereka menjadi Kristen hanya karena keturunan. Pemahaman mereka akan Kristen hanya sekedar agama. Tanpa arti dan makna! Namun kita boleh berharap mereka akan mengerti arti Kristen dan Kristus dalam hidup mereka, karena rasa “haus” itu ada. Itu tampak dari antusian mereka untuk hadir dan mendengar pembinaan rohani. Persoalannya, siapa yang membina mereka!

Betapa pentingnya lembaga/umat Kristen bergandengan tangan membantu mereka dari kemisiknan jasmani dan rohani. Bukankah mereka bagian dari kita, bangsa Indonesia? Mari kita taruh hati kita disana, di ladang yang masih membutuhkan pekerjaan ini.

*dituliskan oleh Sri Widaerti/Erna M/06

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *