Yulius Tandyanto:
Nurani

Barangkali kita mudah jatuh cinta dengan kebenaran. Apapun dilakukan demi kebenaran sampai-sampai kita rela membenci tetangga kita. Dan sialnya, agama dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk mensahkan perbuatan kita itu. Walhasil, agama dikerdilkan. Dari situasi itulah agama seolah-olah membenarkan umatnya untuk bersikap “amoral”.

Mungkin keadaan seperti itu analog dengan apa yang dialami oleh Edmund Husserl (1859-1938) pada paruh pertama abad ke-20 di Eropa. Bedanya, jika pada kasus kita duduk perkaranya adalah kebenaran religius, maka persoalan utama yang dihadapi oleh Husserl adalah kebenaran ilmiah.

Bagi Husserl, rasionalisme dan kebenaran sains—yang begitu dibanggakan sejak masa Pencerahan—justru akan meluluhlantakkan peradaban Eropa. Dugaan Husserl tak meleset. Peristiwa Holocaust menjadi saksi sejarah bagaimana rasionalisme melanggengkan pembantaian manusia.

Di hadapan dua keadaan yang berbeda tersebut, kita seharusnya digelisahkan dengan pertanyaan, “Bagaimana mungkin manusia rasional dapat membenarkan kekejaman seperti itu dan masyarakat mendiamkannya?” Atau, “Bagaimana mungkin manusia saleh membenarkan dirinya untuk membenci sesamanya sendiri?”

Benang merah dari dua pertanyaan di atas menggarisbawahi bahwa kebenaran belaka—baik sains maupun agama—tidaklah memadai bagi kehidupan kita. Tanpa hati nurani, kebenaran senantiasa menindas. Muluk-muluknya, miskinnya hati nurani dalam kehidupan bersama sungguh-sungguh mengacaukan orientasi dan laju peradaban suatu bangsa.

Kegelisahan akan meredupnya hati nurani tentu bukan hal yang mengada-ada. Dalam ranah komunikasi, kita sudah terbiasa dalam model komunikasi yang mengedepankan kecepatan. Informasi yang baru, ringkas, dan penuh grafis kian menjadi modal utama untuk menentukan putusan-putusan praktis hidup kita. Itulah gaya hidup terkini.

Dalam gaya hidup yang demikian, pertimbangan hati nurani cenderung dangkal dan miskin. Kecanggihan teknologi komunikasi pun melanggengkan penundaan refleksi. Melalui jejaring sosial, hasrat untuk segera menyebarluaskan segala macam informasi kepada sebanyak mungkin orang dipuaskan. Padahal, mencerna informasi secara etis sudah selalu membutuhkan jeda: apakah informasi yang saya sebarkan akurat? Apakah informasi itu mendatangkan kebaikan bersama atau malah mengeruhkan suasana? Haruskah saya bertanggung jawab atas penyebaran informasi itu?

Boleh jadi redupnya hati nurani juga merendahkan harkat kita sendiri. Tak heran kalau kita menghidupi mental tertib aturan yang rendah. Segala macam aturan dianggap hanya membebani dan merumitkan kehidupan sehari-hari. Maka, tak mengherankan apabila setiap orang selalu berupaya untuk memanipulasi atau mencari celah hukum. Mulai dari rendahnya kesadaran tertib berlalu lintas hingga memberikan kesaksian tidak jujur di pengadilan demi kepentingan-kepentingan tertentu.

Isu SARA dalam kontestasi antarkandidat pilkada kemarin sedikit-banyak juga menegaskan tergadaikannya hati nurani. Idealnya, agama merupakan sumber inspirasi untuk merawat hati nurani. Nahasnya, sentimen keagamaan justru menjadi bara politik untuk memenangkan euforia para konstituennya. Karena itu, politik tanpa hati nurani selalu menyeret kita pada titik nadir kemanusiaan.

Konsekuensinya, politik cenderung identik dengan orang-orang yang “kuat”. Bahasa eufemisnya, para “elite penguasa”. Apa yang disebut adil adalah hal-hal yang menguntungkan orang-orang yang berkuasa. Dan hukum senantiasa tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.

Konsekuensi lainnya adalah identifikasi politik dengan kepentingan orang banyak belaka. Hukum diperalat untuk melayani kepentingan orang banyak. Walhasil, suara mayoritas menjadi suara keadilan. Padahal, suara mayoritas belum tentu adil. Di situlah terjadi puncak ketidakadilan: ketika ketidakadilan menyaru sebagai yang adil.

Barangkali, berpolitik dengan hati nurani pada kenyataannya memang tidak selalu menguntungkan—bahkan merugikan. Namun, siapa pun yang memiliki hati nurani akan senantiasa berjuang mewujudkan keadilan yang seadil-adilnya.

Persis di situlah inspirasinya: politik sudah selalu mensyaratkan hati nurani. Tanpa hati nurani, kebenaran menjadi barbar. Dan, tanpa kebenaran, hati nurani menjadi absurd. Hati nurani memungkinkan setiap orang untuk sungguh-sungguh berbuat baik dan adil. Melalui hati nurani, seseorang diresahkan apabila ia berbuat baik demi mencapai kepentingan tertentu ataupun sekadar bersikap legalistik—patuh secara lahiriah, tetapi ingkar secara batiniah.

Dengan demikian, seseorang mematuhi peraturan lalu lintas pertama-tama karena ia memang menghendaki peraturan lalu lintas tersebut. Ia menaati aturan bukan terutama agar selamat ataupun agar tidak ditilang oleh polisi. Ia mengakui, menghayati, dan menaati peraturan lalu lintas karena aturan tersebut baik bagi dirinya dan juga setiap orang lainnya.

Barangkali di tengah euforia jatuh cinta pada kebenaran—entah itu ilmiah, religius, atau jenis lainnya—kita tetap perlu menyalakan lentera jiwa seraya bertanya, “Aku mencari hati nurani. Di manakah ia dapat kujumpai?”

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *