Sejarah adalah kejadian-kejadian masa lampau. Sejarah juga penulisan kejadian-kejadian masa lampau historlografi; Historiografi mempelajari bagaimana sejarah ditulis dan dimaknai. Dalam arti kedua, sejarah tidak hanya fakta tetapi juga kata yang memaknai. Tanpa kata, fakta bukan sejarah. Tanpa fakta, kata adalah fiksi. Fiksi adalah fiksi. Historiografi bukan fiksi.
Demikian juga, historiografi keagamaan merupakan kelindan fakta dan kata yang memaknai. Teks kitab suci agama-agama monoteistis menunjuk kepada Tuhan yang mewahyukan diri tidak hanya lewat kata (proposisi teologis) tetapi juga peristiwa. Ada fakta historis dan pesan teologis (kerygma). Historiografi Alkitab menunjuk kepada Tuhan sebagai penguasa sejarah.
Sejarah sebagai sains
Kendati sejarah sarat makna dan nilai, pemahaman itu mendapat tantangan dari klaim bahwa sejarah harus sepenuhnya obyektif. Sejarah sama sekali tidak berurusan dengan teologi. Bahkan, keterlibatan asumsi teologis menghasilkan historiografi yang buruk. Maka, historiografi harus bebas nilai.
Francis Bacon (1561-1626) memelopori obyektivitas metode keilmuan itu, yang kemudian menjadi dominan di bawah pengaruh spirit Pencerahan (Novum Orgonum Scientorum, 1620). Teori dibangun dari data yang bisa diobservasi (empiris), diproses dengan logika induksi (rasional), tanpa keterlibatan prasuposisi ilmuwan (obyektif;.
Faktor penentu diterima tidaknya suatu teori tergantung pemenuhan syarat-syarat empiris, rasional, dan obyektif. Sejak pengumpulan data hingga kesimpulan, prasuposisi (filosofis, religius) ilmuwan tak boleh terlibat. Metode keilmuan itu bertahan hingga pertengahan abad ke-20, bahkan masih berlaku disebagian kalangan.
Demi memperoleh status ilmiah, ilmu-ilmu di luar bidang eksakta pun menjadi Baconian. ositivisme sains digambarkan secra sistematis oleh Auguste Comte (1798-1857 dalam tiga tahap perkembangan. Pada ahap teologis, rasio manusia mencari sebab-sebab pertama segala sesuatu dan mengandaikan semua fenomena kelihatan sebagai hasil pengaruh langsung dunia ilahi. Pada tahap metafisik, rasio menyelidiki hukum-hukum di balik fenomena alam untuk dikuasai. Pada tahap ilmiah, rasio menyingkirkan faktor metafisik dan dunia dipandang tertutup untuk yang ilahi. Sains dan agama diposisikan berlawanan.
Namun, sekitar tahun 1960-an, terjadi pergeseran paradigma teori ilmu pengetahuan yang dipelopori Thomas S. Kuhn (The Structure of Scientift c Revolutions, 1962). Subyektivitas dan paradigma ilmuwan bisa diterima dalam konstruksi eksperimen dan teori ilmiah. Konstelasi keyakinan dan nilai ilmuwan menentukan hasil observasi. Dalam model Kuhnian, keterlibatan prasuposisi (filosofis, religius) ilmuwan sebuah keniscayaan.
Aktivitas ilmiah ternyata tidak bebas nilai. Sejak tahap pengumpulan data, sampel yang dihimpun tidak pernah begitu acaknya tanpa kaitan satu sama lain atau tidak relevan dengan observasi. Memilah sampel berdasarkan relevansinya itu dengan sendirinya melibatkan kriteria seleksi yang berada di luar proses penyusunan teori.
Prasuposisi sejarawan
Positivisme sains juga membuat relasi iman dan sejarah dilihat secara negatif. Jika sejarawan memasukkan hal-hal supernatural dalam sejarah yang disusunnya, sejarah itu dianggap tidak ilmiah. Prasuposisi naturalistis menganggap historisitas hal-hal supernatural sebagai fiktif. Maka, Leopold von Ranke ( 1795- 1885) menggagir sejarah empiris dan historiografi latuh ke dalam positivisme sejarah.
Namun, sejarah empiris juga digugat. Sejarah tidak pernah menghimpun semua kejadian masa lampau. Ada proses seleki kejadian yang melibatkan kriteria pengambilan sampel yang diteliti dan ditulis. Hasilnya adalah perbedaan antara sejarah yang ditulis sejarawan A dan B lantaran prasuposisi, pendekatan, dan tujuan penulisannya juga berbeda. Sejarah tidak pernah sepenuhnya obyektif.
Arnold J Toynbee ( 1889- 1972) menegaskan, sejarawan adalah tawanan spasio-temporal. Sejarah selalu dilihat dari point of view-nya, betapapun ia berupaya seobyektif mungkin (tronscen dence of self-centredness). Sudut pandang selarawan dipahami dalam arti obyektif dan subyektif (loynbee, An Historion’s Approoch to Religion, 8-9).
Dalam arti obyektif, sejarawan selalu berjarak dengan obyek sejarah yang ditelitinya, secara spasio-temporal maupun kultural. Dalam arti subyektif, sejarawan sama seperti orang lain terikat spasio-temporal sendiri. la menulis sejarah yang sedikit banyak mencerminkan spirit zaman semasa hidupnya. Benedetto Croce ( 1866- 1952) menegaskan dengan ekstrem, semua sejarah adalah sejarah kontemporer.
Itu sebabnya sejarawan harus mengoreksi keterpusatan sudut pandangnya untuk sampai pada sudut pandang profesional lewat transendensi keterpusatan diri. Kendati demikian, hasil transendensi itu selalu parsial dan tidak pernah sempurna. perasaannya tentang suatu obyek sejarah tidak pernah persis sama dengan perasaan orang sezaman dengan obyek itu.
Itu juga yang terjadi ketika sejarawan meneliti obyek terkait agama. Penganjur Yesus Sejarah mengklaim berhasil merekonstuksi Yesus yang historis dan obyektif. Padahal, rekonstruksi itu didorong isu-isu kontroversial di masa modern, bukan kontroversi religius dan politis semasaYesus hidup. Kontroversi modern dimasukkan ke dalam rekonstruksi itu. Yesus dikeluarkan dari lingkungan sosial-Nya dan masuk dalam perdebatan modern.
Mukjizat dalam historiografi
Apakah benar sejarah turun kredibilitasnya karena mencatat peristiwa mukjizat? Dalam sejarah empiris, berlaku adagium “lihat dulu baru percaya.” Ternyata, melihat tidak selalu berarti percaya. Perasaan cemburu yang terlalu besar bisa membuat seseorang yakin pasangannya berselingkuh meski sebenarnya tidak. Orang bisa lebih memercayai asumsinya atau apa yang ingin dipercayanya daripada yang kenyataan sebenarnya.
Jika sejarawan memiliki prasuposisi yang tidak memberi tempat untuk hal-hal supernatural, mukjizat tidak akan mendapat tempat dalam historiografinya. Dengan kata lain, mukjizat dalam laporan injil bukan terutama soal benarterladi atau tidak, tetapi soal prasuposisi sejarawan. Tafsir pengalaman mukjizat memprasyaratkan dua kepercayaan. Pertama, percaya keteraturan cara kerja alam. Kedua, percaya suatu realitas yang melampaui alam. Namun, pengalaman indra yang bersifat pasiotemporal tidak bisa membuktikan atau menyangkal realitas supernatural yang argumentasinya bersifat metafisis.
Kendati demikian, spirit Pencerahan telanjur mengadili historiografi keagamaan dan menganggap hal-hal supernatural dalam selarah agama hanya cocok untuk orang kuno. Alhasil, teologi modern mencoba menyelamatkan diri dengan memunculkan distingsi Historie dan Geschichte (Jer.)
Historie adalah sejarah sebagai fakta obyektif-empiris, bisa diverifikasi lewat metode penelitian yang tertutup untuk hal-hal supernatural. Geschichte adalah sejarah yang tak bisa diverifikasi namun signifikansinya diimani. lman (wahyu) tidak berurusan dengan sejarah yang tidak historis dan tidak rasional.
Dalam distingsi Historie-Geschichte itulah, upaya rekonstruksi Yesus yang historis harus diletakkan. Ada dikotomi antara Kristus yang diimani (the Christ of faith) dan Yesus yang historis (the Jesus of history). Kajian Yesus Sejarah mengklaim gambaran tentang Yesus yang ditampilkannya sebagai “historis” vis-i-vis Kristus yang diimani.
Kristus menjadi obyek iman karena signifikansi teologisnya. Namun, Kristus yang diimani tidak obyektif dan karena itu bukan obyek kajian sejarah. Obyek kajian sejarah adalah Yesus yang bisa diverifikasi siapa saja. Kebangkitan Yesus dikatakan benar karena signifikan namun bukan karena historis. Kebangkitan adalah kebenaran subyektif sebagaimana diimani.
Sejarah Yesus Sejarah
Kendati klaim empirisnya, Yesus Sejarah sebuah kajian yang juga tidak bebas dari bias prasuposisi sejarawan yang terlibat. Bias itu sudah tampak dalam seleksi dokumen sumber. Sang sejarawan memutuskan sebelumnya apa yang tergolong historis (aspek-aspek kemanusiaan) dan ahistoris (aspek-aspek keilahian) dari diri Yesus. Diputuskan juga tiada kontinuitas antara Yesus pra- dan pasca-kebangkitan. Semua prasuposisi itu ditarik ke titik ekstrem dan historiografi injil kanonis diadili.
Paul Barnett mengevaluasi historiografi Yesus Sejarah (Jesus ond the Logic of History, 1997). la mempersoalkan seleksi dokumen sumber yang sudah bias selak awal. Hanya sedikit data yang diambil dari dokumen Perjanjian Baru dan itu pun hanya teks-teks yang mendukung rekonstruksi situasi geografis, kondisi politik dan sosioekonomis di Gailea semasa Yesus, guna memunculkan rekonstruki Yesus sebagai guru, pembuat mujizat, tokoh bijak, atau tokoh apokaliptis.
Lalu, mengapa orang tidak mengambil konteks sosio-historis yang lebih pasti? Bukankah informasi dari orang-orang yang punya kontak langsung dengan Yesus dalam pelayanan publik-Nya tidak boleh diabaikan? Sebutlah beberapa nama seperti Yohanes Pembaptis, Herodes Antipas, Pilatus, Imam Besar Anas dan Kayafas. Memang injil bersifat biografis dan sarat dengan Propaganda, namun itu tidak berarti tanpa referensi historis.
Daripada berpaling kepada iniil, Barnett memberi prioritas kepada surat-surat kiriman Rasul Paulus untuk wacana Yesus Seiarah. Alasannya, di situ sedikit sekali peristiwa-peristiwa Yesus disinggung’ Kalau pun disinggung, sifatnya insidental, dalam bahasa literal, demi tujuan doktrinal. Dengan kata lain, obyektivitas gambaran tentang Yesus yang historis dalam surat-surat lebih terterima dalam paradigma historiografi modern.
Dalam surat-surat, teristimewa I Korintus 15, kebangkitan Yesus meniadi basis historis iman tentang kebangkitan yang nanti dialami. Di sini, kebangkitan Yesus menjadi sangat perlu (indispensoble) untuk inti ajaran kebangkitan. Propaganda temuan makam keluarga Yesus yang memberi kesan sebagai laporan arkeologis sebenarnya bukan tanpa bias prasuposisi teologis.
Padahal, Amos Kloner arkeolog lsrael dan profesor di Universitas Bar llan adalah orang Pertama yang bersama timnya tahun 1980 memimpin penggalian makam yang ternyata kontroversial itu. Dalam sebuah publikasi ilmiah, iatidak menyimpulkan temuan itu sebagai makam keluarga Yesus (A Tomb With lnscribed Ossuaries in East Talpiyot, Jerusalem,” ‘Atiqot 29 119961 15-22).
Sebuah kuliah Dr Rahmani di Albright lnstitute, Yerusalem, musim semi tahun 1979, membahas osuarium dan praktik pemakaman kedua kali orang Yahudi selama Periode Bait Suci Kedua (Levi Rahmani, ‘Ancient Jerusalem’s Funerary Customs and Tombs-Part Four,” Biblicol Archoeologist 4512ll982l 109- I 9).
Romo Pierre Benoit, directur Ecole Biblique’ the French School of Archaeology di Yerusalem, bertanya, ‘Apakah mungkin tadinya tulang-tulang Yesus akan disimpan dalam sebuah osuarium?”Jawab Rahmani, “Mungkin saja, tetapi terladi sesuatu yang tak dapat dilelaskan!” Mungkinkah itu perkataan malaikat yang menggulingkan batu di pintu masuk kubur Yesus yang sudah kosong, “la tidak ada di sini, sebab la telah bangkit” (Mat. 28:6)?
Terkait fakta penyebaran agama Kristiani yang begitu cepat dan fenomenal pada abad Pertama, itu bisa diielaskan sebagai dampak langsung dari Yesus yang benar bangkit dan diwartakan demikian. Kalau begitu, ada kontinuitas antara Yesus pra- dan pasca-kebangkitan.
Menghargai integritas teks
Mustahil menulis selarah Yesus dengan pendekatan kepada teks kitab suci yang tanPa PrasuPosisi teologis. Mustahil dalam proses penulisan itu tidak terlibat proses eksegesis, setidak-tidaknya dalam bentuk paling sederhana. Gabriel Marcel (1889-1973) mengkritisi sikap apriori yang menolak kemungkinan teriadinya mukjizat dalam narasi iniil (Being ond Hwing: An Existentiolist Diory,22-23)-
Menurut Marcel, penolakan itu tidak sepenuhnya berdasarkan obyektivitas sebab diam-diam orang sudah berpendapat, “seharusnya tidak demikian”. Orang sudah mendikte wahyu harus seperti apa’ Marcel menolak eksegesis negatif seperti itu. Menurutnya, begitu mukjizat secara apriori dikatakan mustahil, eksegesis telah kehilangan nilai eksegetisnya.
Seharusn;ra, eksegesis bersifat positif (tidak Positivistis). Dari fakta kepada kondisi-kondisi yang padanya fakta itu bergantung. Mestinya yang ditanya adalah dalam kondisi apa mukiizat yang dilaporkan terjadi. Sebelum mengadili historiografi Alkitab, seyogianya diperhatikan bagaimana Alkitab merekomendasikan diri nya dibaca. Karakteristik historiografis injil inheren dalam teks. lnjil harus dibaca dengan pandangan dunia yang terbuka untuk realitas supernatural dan intervensi ilahi.
Meski merefleksikan iman gereia perdana, inlil mengasumsikan laporannya memiliki referensi historis di luar teks. Kendati demikian, historiografi injil bercampur tekstur komposisi narasi (plot, interaksi antarkarakter, karakterisasi, sudut pandang narator, tuiuan penarasian, teknik-teknik narasi), yang meniadi obyek kaiian sastra. Karena itu, narasi injil tidak murni seiarah dan tidak boleh dibaca seperti membaca liputan di surat kabar.
Dari kajian tekstur narasitidak boleh melompat kepada kesimpulan bahwa teks yang dimaksud adalah fiksi (uncontrolled onochronism). Fiksi tidaknya suatu teks juga ditentukan unit teks yang lebih luas. Narasi fiktif, seperti novel sejarah, memanfaatkan data sejarah namun secara keseluruhan kisah yang diceritakan tak pernah terjadi. Namun, genre sastra injil lebih tepat disebut narasi seiarah (norroted history).
Narasi sejarah secara keseluruhan (bukan detail) memiliki referensi historis di luar teks. Bahasa iniil untuk itu adalah “kesaksian” (Yoh. 2 I :24). Kesaksian-kesaksian disimpan dalam narasi sejarah. Prolog Lukas menielaskan, banyak “saksi mata” telah menyampaikan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi (Luk. l: l-2). Saksi dituntut untuk mengatakan sesuatu dengan referensi historis lebih daripada makna historisnya. Laporan dalam injil memberi basis historis untuk iman, sehingga iman Kristiani bersifat historis. Basis iman bukan gagasan mengawang atau pengalaman m istis, tetapi tindakan – tindakan Tuhan dalam seiarah. Lewat preseden-preseden historis itu, umat sepaniang masa boleh luga yakin bahwa Tuhan bisa diharapkan melakukan intervensi dalam sejarah, asal diperlukan dan sesuai kehendak-Nya.
—– Dituliskan oleh Yonky Karman, Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
— Majalah Dia Edisi 1/ Tahun XXIII/2008