“Bagi saya, sosok pahlawan tidak pernah jauh dari pandangan saya. Perjuangan dan pengorbanan ayah-ibu adalah buktinya.”
“Dulu, istilah ‘pahlawan tanpa tanda jasa’ tampak abstrak bagi saya. Tetapi kegigihan seorang guru untuk mencapai sekolah kami di desa terpencil dan ketekunannya dalam mengajar kami membuat saya memahami dan menghayati istilah itu.”
Itulah sosok “pahlawan” di mata beberapa orang. Tentunya ada lebih banyak lagi sosok pahlawan di luar sana jika dilihat dari sudut pandang setiap orang. Namun, poin pentingnya adalah kita mengetahui bahwa definisi dan konsep kepahlawanan dapat mengalami perubahan.
Kita semua mengenal istilah “Pahlawan Nasional”. Menurut UU No. 20 tahun 2009, Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah NKRI, yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara; atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara.
Seringkali ketika berbicara mengenai “pahlawan”, kita langsung mengacu pada pengertian tersebut. Padahal, sosok pahlawan dapat menjadi relatif dan kontekstual bagi setiap individu, karena konsep utama kepahlawanan bukanlah status atau jabatan tertentu, melainkan kontribusi dan dampak yang diberikan. Berdasarkan konsep ini, siapapun bisa menjadi pahlawan, termasuk kita!
Setelah kemerdekaan kita raih, bukan berarti perjuangan melawan penjajah telah berakhir. Kebodohan, kemiskinan, dan korupsi masih menjadi permasalahan utama bangsa ini, termasuk juga radikalisme dan intoleransi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hingga tahun 2017, generasi muda adalah generasi yang paling banyak menggunakan teknologi digital. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa generasi muda memegang peranan penting dalam kepahlawanan di era revolusi industri 4.0 ini. Tidak bisa kita pungkiri, bahwa generasi milenial adalah generasi yang sangat terpapar dengan media sosial. Jika dianalogikan, generasi milenial ibarat sebuah ladang pertanian dan media sosial adalah pupuknya. Kita harus bisa memanfaatkan pupuk tersebut untuk menyuburkan ladang, sehingga menghasilkan panen yang baik.
Pola pikir yang kritis dan bagaimana memposisikan diri dalam arus perkembangan dunia adalah dua hal esensial yang harus dikembangkan saat ini. Generasi muda harus menyadari bahwa mereka adalah agen perubahan bangsa dengan bekal penguasaan teknologi yang luar biasa. Dengan teknologi yang ada, informasi mengalir dengan bebasnya, tetapi kita harus tetap kritis terhadap informasi tersebut dan bijaksana dalam memilih informasi yang bermanfaat bagi kita dan sesama. Jika pola pikir ini sudah terbentuk, akan lebih mudah untuk mengarahkan diri dalam mengaktualisasikannya ke dalam sifat dan tindakan konkret.
Kontribusi nyata yang sederhana namun berdampak besar yang bisa kita lakukan di zaman ini adalah memanfaatkan media sosial untuk membagikan ilmu, pengalaman, dan motivasi. Bijak dalam bermedia sosial adalah hal yang penting. Kita harus memperhatikan konten seperti apa yang akan kita bagikan; sebisa mungkin pesan motivatif kepada orang-orang di sekitar kita, khususnya generasi muda, untuk berkarya bagi bangsa. Kita juga bisa membagikan aksi nyata kita di media sosial untuk menginspirasi orang lain berkontribusi bagi negara melalui bakat dan bidang yang ditekuni masing-masing.
Seiring dengan berjalannya waktu, konsep kepahlawanan akan terus berkembang, tetapi pada hakikatnya esensi dari kepahlawanan itu tetap sama, yaitu berani berjuang dan berkurban untuk kepentingan sesama, untuk bangsa dan negara. Selamat Hari Pahlawan!
=====================
Tulisan ini merupakan Juara II Lomba Opini 2018 yang diselenggarakan oleh Majalah Dia dan Literatur Perkantas.