“Kerja di mana lo sekarang?”
”Di Priok, Bro, Bea Cukai”
”Waaah, tajir lo! Kalau ada gadget murah, kabari ya, Bro!”
”Yailaaahhh.…”
Percakapan tersebut tak jarang Penulis alami selepas menyelesaikan pendidikan Program Diploma III Kepabeanan dan Cukai di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Beberapa teman SMA bahkan teman pelayanan yang baru Penulis kenal di Jakarta, setelah mendengar di mana Penulis bekerja, ada 2 (dua) hal yang paling sering terlintas di pikiran mereka, yaitu “kaya” dan “BM” (Barang Murah/Black Market). Bagaimana dengan Pembaca sendiri? Apa yang Pembaca pikirkan apabila mendengar kata “Bea Cukai”?
Bea Cukai berasal dari 2 (dua) kata, yaitu “Kepabeanan” dan “Cukai”. Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan Bea Masuk (Barang Impor) dan Bea Keluar (Barang Ekspor). Sedangkan Cukai adalah pungutan negara terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai karakteristik: jumlah konsumsinya perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan (misalnya: hasil tembakau, minuman beralkohol dengan kadar tertentu, dan etil alkohol).
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memiliki tugas dan fungsi sebagai Revenue Collector (Pemungut penerimaan negara), Community Protector (Pelindung industri dalam negeri), Trade Facilitator (Fasilitator perdagangan internasional), Industrial Assistance (Pendukung perdagangan dalam negeri); dan Border Management (Pengawas lalu lintas perbatasan). Kelima tugas tersebut mencakup aspek pelayanan dan pengawasan yang menjadi dilema bagi setiap pejabat pengambil keputusan di DJBC, di mana masyarakat menuntut pelayanan kepabeanan secepat mungkin dan di sisi lain pemerintah tidak mengharapkan masuknya barang ilegal.
Kompleksitas tugas ini membuat peran setiap pegawai bea cukai menjadi vital bagi aspek keamanan dan keuangan Indonesia. Sebagai gambaran, data penerimaan bersih DJBC tahun 2014 sebesar Rp 358.624.319.767.373,- mampu dikumpulkan oleh seluruh pegawai bea cukai dari Sabang sampai Merauke yang berjumlah sekitar 13.500 orang. Rasio kontribusi tiap pegawai adalah sekitar Rp 27 Milyar per tahun, yang disetorkan untuk penerimaan negara. Sungguh pencapaian yang fantastis!
Lalu apa kata Alkitab tentang bea cukai? Kemungkinan besar kita akan langsung teringat pada kisah pemanggilan Lewi oleh Yesus untuk menjadi murid-Nya (Markus 2:13-17), kisah pertemuan Yesus dengan Zakheus (Lukas 19:1-10), serta perumpamaan tentang orang Farisi dan pemungut cukai (Lukas 18:9-14). Pemungut cukai merupakan salah satu jenis pekerjaan di masyarakat Yahudi waktu itu yang dipandang buruk bahkan dibenci oleh masyarakat Yahudi di sekitar mereka. Alasannya setidaknya ada tiga: pemungut cukai dinilai memberatkan rakyat; mereka menarik pajak untuk pemerintah Romawi yang dianggap musuh oleh rakyat; dan cara yang mereka gunakan sangat kejam serta cenderung korup.
Pekerjaan yang memiliki stigma negatif sejak zaman Yesus berkarya di bumi, kini Penulis jalani sebagai visi yang Tuhan berikan. Penulis meyakini bahwa Tuhan menempatkan orang-orang pilihan-Nya tidak di tempat dan waktu yang sembarangan. Mengapa Tuhan mengubah tujuan hidup Penulis yang semula ingin menjadi seorang arsitek menjadi seorang PNS, mengapa Penulis gagal masuk STAN di tahun 2007 namun berhasil masuk setahun berikutnya, mengapa setelah lulus Penulis harus menunggu untuk dipekerjakan di DJBC tidak seperti angkatan sebelumnya, dan hal-hal lain yang Penulis pertanyakan, seluruhnya mengantarkan Penulis pada suatu kesimpulan “Bea Cukai adalah bidang tempat saya menjadi saksi-Nya”.
Melihat alumni STAN Bea Cukai menjadi pegawai yang takut akan Tuhan—bukan takut pada atasan, sistem, maupun penempatan di pelosok Indonesia—adalah mimpi utama Penulis. Terlebih bila ada pekerja-pekerja Kristus yang berintegritas menguasai jabatan struktural maupun menjadi garda terdepan pengambil keputusan, maka betapa amannya Bangsa Indonesia dari sisi persaingan industri, keuangan negara, maupun gempuran barang impor yang dilarang dan dibatasi. Pertanyaannya, bagaimana mencetak pekerja Kristus tersebut?
Penulis yang saat ini masih aktif di pelayanan kampus sebagai penilik, berjuang untuk mempertahankan adanya pemuridan bagi mahasiswa STAN Bea Cukai dalam wadah Persekutuan Mahasiswa Kristen dan Katolik yang dikenal dengan PMK-KMK BC. Wadah ini termasuk persekutuan yang sedang dirintis, karena pengaruh moratorium penerimaan mahasiswa STAN pada tahun 2011 s.d. 2013. Moratorium ini juga membuat Penulis “turun gunung” kembali melayani mahasiswa yang secara usia berbeda 7 (tujuh) tahun lebih muda. Di dalam PMK-KMK BC, mahasiswa yang mayoritas perantau ini tidak hanya diberikan penginjilan dalam bentuk ibadah komunal, namun juga pembinaan, pelipatgandaan, dan pengutusan yang diaplikasikan dalam wadah kelompok kecil. Dari kelompok kecil inilah diharapkan muncul pribadi-pribadi yang tidak hanya unggul secara akademis, melainkan juga menjadikan Kristus sebagai pusat hidupnya.
Mengapa melayani mahasiswa? Panggilan pelayanan menuntun Penulis memberi diri melayani mereka yang pada rentang usia 19 s.d. 22 tahun sangat haus akan aktualisasi diri. Mereka akan mencari segala sesuatu yang dapat membantu mereka menemukan identitas dan jati dirinya. Peran vital mahasiswa juga tidak dapat kita lupakan dari catatan sejarah reformasi Bangsa Indonesia. Idealisme mereka yang masih murni pula yang memotivasi Penulis di dalam pimpinan Roh Kudus untuk melayani kaum intelektual menjadi pekerja Kristus.
Dengan kemungkinan penempatan ke seluruh pelosok Indonesia, Penulis juga memiliki angan mengadakan gerakan “Satu Persekutuan dan Satu Gereja” supaya alumni PMK-KMK BC terlibat aktif dalam persekutuan di kantor tempat dia berada dan di gereja setempat. Sungguh alangkah indahnya bila bekal yang mereka peroleh di persekutuan mahasiswa dapat dibagikan kepada sesama yang memiliki kesamaan pergumulan pekerjaan serta menjadi berkat bagi komunitas gerejawi. Penulis pun berharap alumni PMK-KMK BC tidak menjadi garam tawar yang gagal mencegah kebusukan sekitarnya, oleh karena itu diperlukan komunitas dan jaring komunikasi yang kuat untuk saling mendoakan sehingga garam tetap terjaga keasinannya dan terang tetap terjaga pancarannya.
Menjadi salah satu widyaswara (dosen di STAN) adalah ambisi pribadi Penulis. Jenjang karier tersebut akan terbuka setelah seorang pegawai bea cukai dinilai sangat kompeten di bidang kepabeanan dan cukai. Hal ini membuat Penulis wajib mengembangkan diri terus-menerus supaya mampu memberikan kontribusi maksimal terhadap institusi hingga dipercaya mendidik generasi muda calon penerus DJBC yang diperlengkapi dengan nilai-nilai Kekristenan.
Andrea Hirata dalam buku “Sang Pemimpi” menyebutkan, bahwa “Berhenti bercita-cita adalah tragedi terbesar dalam hidup manusia.” Walaupun telah terikat secara kedinasan menjadi seorang aparatur sipil negara hingga pensiun nanti, tidak menghalangi Penulis untuk memiliki mimpi yang telah diuraikan di atas. Kiranya Tuhan Yesus senantiasa menyertai langkah Penulis dalam menghadirkan Kerajaan Allah di DJBC dan di kampus, sehingga bukan tragedi besar yang akan terjadi dalam hidup Penulis, melainkan pengabdian sepenuh hati untuk negeri.
______________
*Penulis adalah alumnus STAN
**Tulisan ini merupakan salah satu karya pemenang Lomba Menulis dalam rangka HUT ke-44 Perkantas