Hendy:
Cicilan Hutang Nurani

Tunjuk satu titik di peta Indonesia! Jika ada manusia Indonesia di sana—dan pastinya ada, maka mereka layak mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia. Perhatian yang sama dengan rakyat di mana pun juga di negara ini.

 

Pada 2011, saya mengelilingi sebagian besar Jawa Barat. Di 2013, saya “membuyarkan khayalan” mengenai Jawa dengan menyusurinya. Saya mengitari Jawa Tengah-Jawa Timur. Saya tidak tidur di hotel mewah. Seringnya tidur di rumah warga, terkadang tidur di warung maupun puskesmas. Saya masuk ke sawah, kebun sayur, berbincang dengan petani, pengrajin, pengangguran, bahkan menggendong anak.

Saya melewati jalan rusak parah di sebagian besar pelosok Jawa. Saya bahkan berobat dan tidur di Puskesmas yang kurang layak. Saya mengunjungi sekolah dan memotret gedung yang kumuh. Saya berbincang dengan anak-anak putus sekolah di sana.

Kondisi tidak lebih baik di garda depan (perbatasan) Indonesia dengan Filipina. Harga kecap dan sabun bisa lebih mahal dua ribu rupiah daripada di kios di Jakarta. Beras Filipina bahkan jauh lebih murah daripada beras tanah sendiri. Padahal, kesejahteraan sebagian besar warga di sana tidak lebih baik daripada sebagian besar di Jakarta. Namun, mereka harus merogoh kocek jauh lebih dalam untuk membeli berbagai keperluan hidup.

Persentase data pendidikan juga menjeritkan kepiluan. Di 2001, BPS mencatat 96,67% anak Indonesia mulai bernyanyi riang di SD. Namun, hanya 57,56% saja yang dapat menatap ijasah SMA. Dan, anak tersebut akan menjadi generasi penerus bangsa Indonesia.

Lantas, apa yang harus kita lakukan sebagai orang Kristen? Ulangan 15:7 mencatat, bahwa sikap orang Kristen seharusnya, “…membuka tangan lebar-lebar baginya dan memberi pinjaman kepadanya…cukup untuk keperluannya, seberapa ia perlukan.” Artinya, sebuah partisipasi kepada kaum miskin perlu dan patut terjadi. Anda memiliki utang kepada Alkitab, yaitu utang kepada kaum di “akar rumput” Indonesia. Selain itu, Anda memiliki utang pada nurani. Sebagai utang, selayaknyalah itu dibayar.

Teman saya melakukan hal menarik. Beliau mengumpulkan lebih kurang 70 orang pemuda untuk berdiskusi soal pendidikan. Solusi dari diskusi tersebut sangat banyak dan mengejutkan. Sekitar 40-an solusi menunjuk orang lain untuk menyelesaikan. Pihak paling banyak tertunjuk adalah pemerintah, selanjutnya kepala sekolah, guru, dan orang tua. “Pemerintah harus blablabla, kepala sekolah harus…, kurikulum (mengarah kembali pada pemerintah) harus….” Apakah masalah selesai? Apakah si “masalah” berharap partisipasi seperti itu dari orang Kristen?

Cobalah berhenti mengecam pihak lain. Cobalah tidak menuntut orang lain dalam menyelesaikan masalah. Singsingkan lengan baju, turun tangan, dan jadilah solusi. Walaupun mungkin hanya menyelesaikan sedikit sekali masalah, itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Setidaknya, cicilan utang nurani masih terbayarkan—nurani Anda tidak jadi tercabut.

Namun, jangan salah sangka! Dengan kata “turun tangan” di atas, saya tidak sedang mewajibkan Anda untuk meninggalkan pekerjaan dan terjun ke dunia LSM atau yayasan sosial. Ya, itu salah satu pilihan, namun bukan satu-satunya. Jika Anda bekerja atau berniat bekerja di sektor privat, itu sangat baik. Setidaknya, Anda dapat menyisihkan sedikit dana untuk berpartisipasi.

Beberapa teman saya berhasil mengurangi persentase angka putus sekolah di Sulawesi Utara dengan berpartisipasi 250.000 rupiah per bulan per anak. Jumlah yang tidak besar bagi sebagian kalangan. Saya juga kenal seorang pengusaha besar yang membiayai sebuah gerakan sosial besar. Tak dapat dipungkiri, sebagian besar bahkan seluruh gerakan sosial butuh pemberi dana dari perusahaan atau orang-orang mandiri dalam sebuah perusahaan. Ya, itulah keterlibatan dengan dana. Anda dapat memberi pekerjaan kepada orang, terlibat dalam pergumulan keluarganya, dan membantunya dalam beberapa hal.

Selain keterlibatan dana, ada sebuah keterlibatan yang tak kalah pentingnya. Anda membayar “iuran kehadiran.” Iuran kehadiran adalah kehadiran Anda di tengah-tengah kalangan “akar rumput” Indonesia. Dengan hadir, Anda dapat merasakan bahkan mengalami kondisi mereka. Anda kemudian akan dapat berempati. Setelah itu, Anda bisa lebih tahu yang harus dilakukan untuk membantu.

Hadirlah. Saya bukan meminta Anda mengunjungi daerah terpencil atau perbatasan Indonesia demi bertemu “akar rumput” Indonesia. Tidak. Anda cukup keluar ruangan sekarang. Gunakan jari yang Anda pakai menunjuk peta Indonesia tadi. Tunjuk orang di sekitar Anda, pasti “akar rumput” itu ada. Ia memiliki banyak jelmaan. Ia bisa jadi penjual rokok di pinggir jalan, penjual jamu, pemilik kios kecil, tukang ojek, satpam, office boy, siapa pun. Ia tidak hanya hadir di pelosok desa. Bahkan, di kota besar, di sekitar Anda, Ia, orang yang butuh Anda, selalu hadir.

Anda dapat mulai berinteraksi dengan mereka. Tanpa takut, tanpa malu. Terkadang, mereka lebih takut dan malu berinteraksi dengan Anda. Anda hanya belum terbiasa saja. Bagi saya, cara ini paling konkret. Seorang kenalan saya meminjamkan modal dan membimbing seorang pedagang kecil mengembangkan usahanya. Teman yang lain menyediakan waktu bagi anak-anak suatu kawasan kumuh untuk mengajar baca, tulis, hitung, serta mendongengkan cerita. Teman lain lagi menjadi orang asuh dengan membimbing sekaligus membantu pendanaan seorang anak berbakat. Kehadiran mendorong tindakan yang lebih konkret.

Ya, kita memang tidak harus menyelesaikan semua masalah. Setidaknya, partisipasi kita membayar lunas tanggung jawab kita. Partisipasi kita menyicil utang nurani kita. Mari singsingkan lengan baju, kita turun tangan!

*Penulis adalah Hendy,  alumnus pelayanan Perkantas Bandung, bekerja di Jakarta, 
** Diterbikan dalam majalah Dia edisi II tahun 2013

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *