Mandala Manurung:
Padat Modal atau Padat Karya?

Ada dua pilihan teknologi dalam kegiatan produksi yaitu Padat Modal (Capital Intensive) dan Padat Karya (Labor Intensive). Teknologi Padat Modal (TPM) amat mengandalkan kemampuan barang-barang modal (mesin-mesin). Proporsi manusia dalam proses produksi amat besar.

Pilihan terhadap TPM biasanya dilandaskan pada keinginan mencapai tingkat produksi yang optimum dengan biaya produksi per-unit yang rendah. Akhirnya harga jualpun menjadi murah. Hal ini menjadi mungkin. Sebab bila yang bekerja adalah mesin-mesin, jam kerja bisa ditambah sesuka hati, tanpa adanya keluhan capai, protes, tuntutan uang lembur maupun uang kopi. Yang lebih penting lagi adalah produktivitas kerja tetap tinggi dan stabil, sedangkan kualitas produk dapat dipertanggungjawabkan. Keuntungan lain dari memilih TPM adalah para pengusaha terhindar dari Masalah-masalah perburuhan yang amat peka menjengkelkan dan berbiaya tinggi dalam proses penyelesaiannya. Kendala utama dari pemilihan TPM adalah investasi dan modal awal yang amat tinggi, namun itu bisa diatasi dengan pinjaman.

Sekalipun TPM menjanjikan banyak keuntungan, pilihan terhadap teknologi ini banyak ditentang oleh para penganjur teknologi padat karya khusunya di negara sedang membangun. Menurut mereka, TPM hanya cocok di negara maju, dimana upah buruh sudah amat mahal dan hak asasi manusia sudah dijunjung tinggi. Di negara sedang berkembang (NSB) upah buruh amat murah, misalnya saja di Indonesia hanya Rp. 3800/hari, itupun hanya di SK Menaker. Lagi pula buruh-buruh di NSB tidak banyak maunya (nmiro sajalah). Selain upah buruh, alasan lain yang dikemukakan adalah alasan keadilan. Dengan TPK berarti proses produksi akan membuka lapangan pekerjaan yang banyak, dengan demikian banyak orang kecipratak rejeki. Bila banyak yang kecipratan rejeki maka daya beli meningkat, pasar bertambah. Akhirnya rejeki yang diberikan dalam bentuk upah akan kembali kepada pengusaha sebagai penerima.

Semua berlangsung melalui mekanisme pasar, yang bagi para ekonom merupakan mekanisme yang paling efisien dan ‘terhormat’.

Di atas kertas, TPM dan TPK sama-sama memberi keuntungan, tetapi pembuktian berlangsung di lapangan. Di Indonesia misalnya, banyak produk-produk yang menggunakan teknologi padat modal maupun padat karya, masih harus dibeli oleh konsumen dengan harga relatif tinggi untuk ukuran kantong rakyat kebanyakan. Demikian juga beras, ikan segar, sayur mayur, buah-buahan, hasil-hasil kerajinan tangan/industri rumah tangga, yang menggunakan TPK harganya terus menanjak terutama di wilayah perkotaan.

Akar permasalahan diatas adalah ekonomi biaya tinggi yang bersumber di masyarakat, birokrasi dan pengusaha.

Masyarakat yang tidak sehat, trampil, disiplin menyebabkan harga riel (upah nyata) tenaga kerja menjadi tinggi. Memang benar upah hanya Rp. 3800/hari (7 jam kerja). Tetapi hari-hari kerjanya habis untuk ngobrol, merokok. Kalaupun kerjanya baik dan serius, mereka lamban dan cepat lelah, karena ketrampilan dan kesehatan yang buruk.

Birokrasi yang tidak jelas/efisien tentu menjengkelkan dan membuka banyak peluang bagi para birokrat menuntut biaya tambahan tanpa bukti pembayaran. Bagi pengusaha pengeluaran ekstra wajib tersebut entah bagaimana caranya harus masuk dalam kalkulasi biaya, agar  tidak rugi. Selanjutnya beban tersebut dialihkan kepada konsumen di dalam komponen harga jual.

Pengusaha dapat menjadi sumber mahalnya harga barang bila mereka tidak mempunyai kesabaran dan wawasan. Ingin cepat beres, penyebabkan mereka terlalu sering memilih jalan pintas yang tidak selalu pantas. Ingin cepat besar, menyebabkan mereka berpikiran egois dan sempit, sehingga rasa keadilan dan semangat bermitra tidak mendapat tempat. Yang ada dalam pikiran adalah menjadi satu-satunya, terkuat dan terbesar. Akhirnya langkah yang ditempuh adalah kolusi dan upetin untuk memperoleh order, prioritas, jaminan keamanan (walaupun melanggar peraturan) dan barangkali penghematan pengeluaran pajak. Kalau sudah berkuasa, harga pun dapat ditentukan semaunya dan cenderung tinggi.

Ternyata pilihan teknologi padat karya atau padat modal tidak lepas dari konteks hidup. Dimana teknologi akan diterapkan. Bila kondisi masyarakat amat tidak baik, pilihan manapun tidak akan menguntungkan. Secara implisit, TPK dan TPM berfondisikan kualitas Sumber Daya Manusia yang tinggi. Kualitas tersebut mencakup kualitas fisik (kesehatan dan gizi), non fisik (pendidikan dan ketrampilan), moral dan etika. Hal inilah yang menjadi pergumulan bangsa kita. Tetapi penulis yakin, kita akan mampu mengatasinya. Seharusnya bisa! Karena Indonesia memiliki pancasila dan juga orang Kristen sebagai aset nasional yang amat berharga.

*Dituliskan oleh Mandala Manurung alumnus Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia (UI), Jakarta

Berikan tanggapan