Yonky Karman:
Politik Transformatif

Bangsa merdeka mendambakan transformasi menjadi masyarakat yang bebas dan sejahtera. Setelah merdeka dari penjajahan asing, rakyat juga harus bebas dari penindasan yang dilakukan oleh (bagian dari) diri sendiri. Rakyat harus bebas dari tirani mayoritas (apakah itu terkait suku, agama, dst) maupun tirani minoritas (apakah itu terkait kekuasaan, kapital, dst.). Tanpa bebas dari penindasan internal, tetap sedikit warga yang menikmati berkah menjadi bangsa merdeka. Sebagian besar warga tetap tertinggal dalam kemiskinan dan kebodohan, tidak merasakan perbedaan berarti antara hidup di alam kolonial dan di alam republik merdeka. Sebagian besar rakyat yang menderita hanya mengalami beda aktor penindas. Kenyataannya kini rakyat dipersulit, diperas dan ditindas bangsa sendiri. Inefisiensi birokrasi dan korupsi menjadi penghambat utama negara menyejahterakan rakyat.

 

Mempertemukan negara dan rakyat

Agen transformasi kesejahteraan bangsa adalah negara. Jika berbicara politik negara, apa pun namanya, hakikatnya tidak lain dan tidak bukan adalah politik kesejahteraan. Tentunya, kesejahteraan dari mereka yang belum sejahtera. Kaum lemah harus ditopang agar tak terjerembab ke dalam kemiskinan dan dicarikan jalan untuk hidup bermartabat. Keluhuran politik terletak pada cita-citanya melakukan transformasi sosial menuju masyarakat yang lebih baik dan beradab. Landasan berpolitik sejatinya bukan politik kekuasaan tetapi politik kesejahteraan, politik yang memihak kaum lemah. Politik seperti itu mencoba memberdayakan negara dengan berbagai cara agar optimal dalam menyejahterakan rakyat.

Mereka yang terlibat dalam politik, apakah politik praktis (eksekutif, partai, LSM) ataupun politik idealis (pengamat politik), berpolitik dengan visi kesejahteraan. Ada yang berpolitik lewat jalur politik praktis, tetapi tidak kalah penting juga mereka yang berani mengatakan kebenaran kepada penguasa, mereka yang menjaga jarak dari kekuasaan dan dari semua partai politik. Suara kritis ditujukan kepada mereka yang berada di tampuk kekuasaan, agar tak terbuai kenikmatan dan agar kekuasaan terarah untuk melayani mereka yang dalam posisi lemah. Politik sejatinya bergerak di seputar power (kekuasaan), di antara tarikan-tarikan kepentingan powerful (kaum berkuasa) dan powerless (kaum lemah). Sebagai bagian dari masyarakat dan bangsa, orang Kristen juga memiliki bagian dalam partisipasi politik.

Sejauh ini, titik berat partisipasi Kristen terkait kesejahteraan masyarakat lebih pada layanan pendidikan dan kesehatan. Kedua bidang layanan kesejahteraan itu sebenarnya merupakan bagian dari tanggung jawab negara. Gereja dan lembaga-lembaga keagamaan lain mengambil alih sebagian tanggung jawab negara dalam rangka pelayanan karitatif bukan transformasi masyarakat. Biasanya gereja sudah merasa puas dengan tindakan karitatif yang terlembaga dalam diakonia serta kepanjangan tangannya.

Namun, begitu banyak warga yang memerlukan layanan pendidikan dan kesehatan, sehingga mustahil pelayanan karitatif dapat memenuhi harapan sebagian besar masyarakat untuk menjadi sejahtera. Hanya negaralah yang dapat memberikan layanan kesejahteraan secara optimal. Kalau begitu, diakonia gereja seharusnya lebih daripada diakonia konvensional (karitatif) dan perlu menjadi diakonia transformatif. Diakonia transformatif adalah upaya mempertemukan kepentingan (hak untuk kebutuhan-kebutuhan dasar) individual dan tanggung jawab negara untuk menyejahterakan rakyat. Perlu disengajakan kepedulian terhadap nasib mereka yang terpinggirkan baik secara ekonomi maupun budaya.

 

Dosa struktural

            Dietrich Bonhoeffer mempersoalkan apakah gereja hanya mengumpulkan mereka yang tergilas roda kehidupan ataukah, seharusnya ia juga mencegah kekuatan-kekuatan represif menggilas kemanusiaan (Ethics, 321). Apakah gereja boleh berpangku tangan dan diam saja ketika roda pembangunan melindas rakyat? Tetapi, membela kaum lemah sendiri apakah itu sendiri bukan tindakan diskriminatif? Apa alasan hakiki untuk memihak mereka?

Dalam struktur yang tidak adil dan cenderung memihak yang berkuasa, kaum lemah secara tidak seimbang harus bersaing dengan yang memiliki akses kesejahteraan. Karena itu, politik biasanya berpihak yaitu bagaimana caranya agar yang besar tidak memakan yang kecil dan yang lemah tidak tersingkir.

Alkitab membicarakan penindasan secara struktural bagi kaum lemah.

Celakalah kamu yang membuat hukum-hukum yang tak adil untuk menindas bangsa-Ku. Dengan cara itu kamu mencegah orang miskin mendapat hak dan keadilan, dan merampas milik para janda dan yatim piatu. (Yes. 10:1-2, BIS)

            Dalam bahasa Alkitab, kaum lemah dikategorikan sebagai orang miskin (kaum tanpa uang yang cukup), janda (kaum tanpa suami yang melindungi), dan yatim piatu (kaum tanpa orang tua yang melindungi). Dalam Perjanjian Lama, ketiga kategori sosial itu termasuk kaum miskin dan marjinal. Kemiskinan membuat mereka rentan menjadi korban eksploitasi dan mereka terjerat dalam belenggu kemiskinan.

Karena itu, saat umat Israel mempertahankan kebenaran hidup keagamaan mereka melalui puasa yang dilakukan dengan setia, Nabi Yesaya menambahkan bahwa itu masih belum cukup.
Inilah puasa yang Kukehendaki: Lepaskanlah belenggu penindasan dan beban ketidakadilan, dan bebaskanlah orang-orang yang tertindas. Bagilah makananmu dengan orang yang lapar, terimalah orang-orang gelandangan di rumahmu. Berilah pakaian kepada orang telanjang, dan jangan menolak saudaramu yang perlu ditolong. (Yes. 58:6-7, BIS)
Puasa memang salah satu rukun agama, namun perendahan diri secara fisik juga harus diikuti perendahan diri secara sosial. Merendah bersama yang kurang beruntung. Berbagi dengan kaum tak berpunya. Jika perhatian tertuju pada mengangkat harkat hidup kaum lemah, pasti tidak ada upaya untuk menindas mereka.

Dikotomi yang berlebihan antar Injil Keselamatan dan Injil sosial jangan-jangan tidak berangkat dari pemahaman yang utuh tentang keselamatan menurut Alkitab. Jangan-jangan juga dikotomi yang berlebihan itu dipakai secara sadar untuk mengelak dari tanggung jawab sosial yang seharusnya melekat dalam struktur hidup baru.

Membangun jejaring sosial

            Jika orang Kristen yang jumlahnya kecil di Indonesia ingin berperan positif menggarami masyarakat, itu tidak dapat dilakukan sendirian meski didukung kekuatan seumber daya manusia dan finansial. Persoalan bangsa kita terlalu besar untuk dapat dipecahkan oleh sebuah elemen bangsa, bahkan oleh komponen mayoritas sekalipun. Dengan kata lain, dibutuhkan jejaring sosial di antara semua komponen bangsa yang beritikad baik membangun negeri.

Salah satu kesulitan dari partisipasi kelompok keagamaan adalah ketidakmampuan mengatasi hambatan psikologis dan doktrinal yang merasa kelompok sendiri paling baik dan benar. Efektivitas kerja sama lintas kelompok amat bergantung pada kesediaan mendeaktivasi keyakinan iman pribadi dan mendekati orang lain tanpa mempersoalkan keyakinan imannya. Deaktivasi keyakinan iman tidak berarti kompromi. Dalam kompromi, ada unsur keyakinan iman yang dikorbankan. Deaktivasi yang dimaksud adalah keyakinan iman tetap utuh, hanya saja untuk sementara tidak diaktivasi sebab konteksnya bukan kompetisi iman.

Dari pergaulan dan kerja sama yang seluas-luasnya dengan kelompok lain akan terbentuk pemahaman tentang kemanusiaan yang lebih dalam dan utuh. Republik ini dibangun di atas kebersamaan dan keterlibatan semua elemen bangsa. Sejarah keragaman ini tidak boleh diingkari. Dengan demikian, meski tidak signifikan secara kuantitas, kehadiran orang maupun lembaga Kristen diharapkan dapat menjadi oasis dalam kehidupan berbangsa.
Partisipasi politik Kristen tidak harus berarti menjadi kepala. Perlu ada kemampuan menahan diri dari dorongan untuk menikmati kekuasaan. Pertisipasi politik Kristen yang dimulai dengan cita-cita luhur akhirnya tidak efektif karena gagal mempertahankan kemandirian terhadap kekuasaan dan terlibat aksi dukung-mendukung calon penguasa. Hanya orang-orang yang dapat melepaskan diri dari spirit sektarian yang mampu meraih kepercayaan bangsa seluas-luasnya untuk bersama-sama membangun republik ini.

Komunitas Kristen cukup tertinggal dalam mempersiapkan pribadi-pribadi yang mencerahkan Spiritualitas Kristen umumnya kuat untuk menghadapi penderitaan, tetapi lembek dalam memberi solusi bagi persoalan bangsa. Perlu ada lingkaran studi kritis yang idealnya sudah terbentuk sejak mahasiswa. Mahasiswa menggeluti bidang studinya sendiri, mencari relevansinya dengan persoalan di sekitar dan membentu integrasinya dengan iman Kristen, semua itu dilakukan dalam kelompok minat dengan didampingi pembimbing rohani. Jangan sampai intelektual Kristen disanjung karena kahatam teks Alkitab tetapi asing dengan konteks sosial (berteks tanpa konteks). Juga jangan sampai intelektual Kristen mengabaikan spritualitas yang diinspirasikan Alkitab dan menceburkan diri ke dalam kegiatan sosial sehingga tidak ada bedanya dengan aktivis politik jalanan (berkonteks tanpa teks).

 

—— Dituliskan Yonky Karman, Rektor dalam bidang Perjanjian Lama di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
——Diterbitkan pada edisi no.2 tahun ke-XXIV 2010 ‘Memulai sesuatu untuk perubahan masyarakat’

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *