Fitriana Yuliawati Lokollo, SKM, M.Kes.,:
Partisipasi Perempuan Bagi Pembangunan Bangsa

Kata “politik” berasal dari kata Yunani, Po’lis yang berarti kota. Dalam perkembangan berikutnya kota memperluas diri atau menyatukan diri, kemudian disebut negara. Sebagai ilmu, politik merupakan analisa tentang pemerintahan, proses-proses di dalamnya, bentuk-bentuk organisasi, lembaga-lembaga dan tujuannya (William Ebenstein; Political Science, 1972. p.309). Dalam bentuk yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat; suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-kebijakan publik (Joice & William Mitchel; Political Analysis and Public Policy, 1969. p. 4).

Politik merupakan pengaturan yang menyangkut hajat hidup manusia, kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan kelompok-kelompok di dalamnya. Dalam perspektif ini, kebutuhan mengenai peraturan (regulasi), pengatur (regulator) dan pelaksana (eksekutor/pemerintah) adalah mutlak. Dengan demikian, dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah membutuhkan berbagai kebijakan publik sesuai dengan tujuannya. Berdasarkan kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan itu, muatan atau warna politik dari suatu pemerintahan akan terbaca.

Maka, tidaklah salah jika dikatakan bahwa tiap kebijakan atau peraturan yang keluar dalam suatu negara merupakan produk politik dari rezim yang sedang berkuasa. Di sinilah titik krusial dari politik itu, karena subjektivitas akan mempengaruhi, terutama jika kekuasaan menguat pada seseorang atau sekelompok orang. Para penguasa pada rezim tersebut akan mempengaruhi rumusan dan muatan dari suatu kebijakan publik atau peraturan yang keluar pada masa pemerintahannya.

Lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat (terutama kelompok kepentingan, termasuk lembaga keagamaan) merupakan kekuatan tersendiri untuk mempengaruhi kebijakan publik. Lembaga yang ada itu dapat mendengar dan menyalurkan aspirasi yang ada pada masyarakat, sehingga dapat memberikan pressure kepada penguasa untuk memberi perhatian atau mengeluarkan kebijakan sesuai dengan tuntutan masyarakat.

Keterlibatan politik secara kritis dari lembaga atau kelompok kepentingan dalam masyarakat akan menjadi sarana dan alat yang sangat efektif untuk mengontrol pemerintah, sehingga batas etik kekuasaan tetap terjaga. Keterlibatan tersebut jika dilakukan secara berkesinambungan akan membuat suatu negara berada dalam keseimbangan.

Perubahan yang dilakukan pemerintah terhadap kebijakannya yang kurang tepat atas desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan demikian, akan tercipta kebiasaan positif yang berujung pada suatu karakter politik. Namun, perlu disadari bahwa hal tersebut tidak akan tercapai secara otomatis. Diperlukan proses yang terus menerus untuk membuka kesadaran bersama dalam berpolitik. Salah satu hal penting adalah perspektif pilihan sadar dari manusia sebagai insan dan mahluk politik.

Kristen dan politik

Politik dari perspektif Kristen adalah suatu upaya dan proses sadar untuk memahami dan memaknai realitas politik dari cara pandang dan pola pikir Alkitab. Perkatan politik (city) muncul dengan tegas dalam Yeremia 29:7, “And seek the peace of the city…and pray to the Lord for it (city); for in its (city) peace you will have peace.” Alkitab telah memberikan suatu konsepsi yang sangat fundamental, yaitu to seek peace (mengupayakan kesejahteraan) of the city (politik). Mengupayakan kesejahteraan kota (politik), jelas merupakan amanat dari Alkitab pada umat Tuhan. Dengan demikian penataan politik tidak bisa dilepaskan dari dari Kekristenan.

Upaya berpolitik telah lama ada dalam Keristenan di Indonesia. Pada masa penjajahan dan awal kemerdekaan, orang Kristen di Indonesia telah melakukan bentuk politik secara operasional dengan mendirikan organisasi kemasyarakatan dan sebagian berubah menjadi partai politik. Contohnya perkumpulan sosial Mardi Pratojo yang kemudian menjadi Partai Perserikatan Kaum Kristen (PKC) atau Christelijke Ambonche Volksbond (CAV), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan lain sebagainya. Saat ini, beberapa partai juga masih berdiri, seperti Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Kristen Nasional Indonesia (Partai Krisna), dan lain sebagainya.

Hanya saja, proses tersebut mengalami pasang surut disebabkan oleh faktor internal dan situasi politik negara. Muatan yang diusung dan dikomunikasikan kepada orang kristen adalah “dari dan demi kepentingan orang kristen,” meskipun pada prosesnya tujuan tersebut bisa berubah menjadi “dari dan demi kepentingan golongan/orang tertentu.” Ini seringkali dikatakan orang sebagai berpolitik “teknis” daripada berpolitik “etis.” Persoalan yang lebih substansial adalah menyangkut kekosongan dalam diskursus konsepsi dan strategi politik kristen di Indonesia.

Peran wanita Kristen dalam panggung politik Indonesia

Dalam situasi yang multikultural di Indonesia, demokrasi sendiri cenderung melakukan pengabaian (eksklusi). Proses debat dan perumusan kebijakan cenderung berlangsung dengan peminggiran (marginalisasi) terhadap individu atau kelompok tertentu. Debat dan perumusan kebijakan selalu ditandai dengan bias dan stereotip perumusnya terhadap kelompok-kelompok yang selama ini diberi label negatif oleh masyarakatnya.

Hal ini tidak lain disebabkan oleh konsepsi universalitas individu dalam demokrasi. Dalam pemahaman ini, warga negara selalu dianggap memiliki kesamaan yang umum (have in common similarity) dan memaksa masyarakat dalam homogenitas, sehingga demokrasi mengandaikan bahwa semua warga negara harus diperlakukan secara sama (equal treatment). Padahal tidak semua warga negara, berdasarkan sejarah dan identitasnya, menempuh pengalaman yang sama dalam memaknai sesuatu, termasuk perempuan.

Para pendiri negeri ini sungguh sangat arif dalam menyusun UUD 1945 menghargai peranan wanita pada masa silam dan mengantisipasi pada masa yang akan datang, dengan tidak ada satu kata pun yang bersifat diskriminatif terhadap wanita. Konstitusi ini dengan tegas menyatakan persamaan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara (baik pria maupun wanita). Dalam kondisi normatif, pria dan wanita mempunyai status atau kedudukan dan peranan (hak dan kewajiban) yang sama, akan tetapi menurut kondisi objektif, wanita mengalami ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Kondisi objektif ini tidak lain disebabkan oleh norma sosial dan nilai sosial budaya yang masih berlaku di masyarakat.

Norma sosial dan nilai sosial budaya tersebut, menciptakan status dan peranan wanita di sektor domestik, yakni berstatus sebagai ibu rumah tangga dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga, sedangkan di lain pihak, menciptakan status dan peranan pria di sektor publik, yakni sebagai kepala keluarga atau rumah tangga dan pencari nafkah. Akibat masih berlakunya berbagai norma sosial dan nilai sosial budaya tersebut di masyarakat, maka akses wanita terhadap sumber daya di bidang pembangunan seperti misalnya politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan menjadi terbatas.

Peranan wanita dalam pembangunan adalah hak dan kewajiban yang dijalankan oleh wanita pada status atau kedudukan tertentu dalam pembangunan, baik pembangunan di bidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun pembangunan di bidang pertahanan dan keamanan, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Peranan wanita dalam pembangunan harus disesuaikan dengan konsep gender yang mencakup peran produktif, peran reproduktif dan peran sosial yang sifatnya dinamis. Mengupayakan peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan atau berperspektif gender, dimaksudkan untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita di dalam pembangunan.

Sejak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, hak perempuan untuk memilih pada dasarnya sudah diakui. Bahkan sejak masa revolusi, dua orang perempuan telah dipilih sebagai menteri.

Posisi perempuan dalam politik berlangsung sangat fluktuatif di Indonesia. Berubahnya status perempuan itu disebabkan karena proses demokrasi di Indonesia tidak melalui cara-cara bertahap (gradual), tapi melalui lompatan-lompatan (leaps). Setiap lompatan demokrasi akan menghasilkan visi politik negara yang berbeda dan terkadang sangat dramatis dalam melihat persoalan perempuan. Oleh karena itu, sebelum sistem politik diperkuat dengan konstitusi dan aturan hukum yang berpihak pada perempuan, dapat dipastikan tidak pernah ada pembangunan perempuan yang bersifat berkesinambungan.

Perempuan-perempuan dalam Alkitab

Alkitab juga menceritakan peranan perempuan hebat dalam lingkungan sosialnya. Kisah ini bukan hanya karena perempuan tersebut memiliki akses sosial, ekonomi, politik namun juga karena perjuangan mereka dari bawah. Beberapa kisah perempuan hebat yang dapat diceritakan disini adalah:

  • Kisah Abigail (1 Samuel 25:2-24) istri Nabal. Dengan keberanian dan tekad menghindarkan pertumpahan darah, maka Abigail maju menjumpai Daud dengan membawa pemberian. Dalam segala kearifan, Abigail sujud menyembah sampai ke tanah dan menyampaikan permohonan maaf atas nama suaminya. Sikap Abigail disambut positif oleh Daud, dan pertumpahan darah dapat terhindarkan. Abigail telah menjadi pendamai antara Daud dan Nabal suaminya. Perempuan seperti ini bukan saja menyelamatkan dirinya dan keluarganya tetapi juga menyelamatkan bangsanya.
  • Kisah anak-anak perempuan Zelafehad (Bilangan 27, 36). Mahla, Noa, Hogla, Milka,dan Tirza merasa berhak mendapat hak warisan tanah ayah mereka. Mereka memberanikan diri untuk menghadap Musa dan Imam Eleazar didepan pemimpin dan segenap umat. Usulan mereka ialah, supaya anak perempuan mendapat tanah warisan orang tua mereka. Usul ini diterima baik dengan beberapa peraturan yang harus dipatuhi. Para perempuan ini tidak menerima begitu saja peraturan yang tidak adil. Mereka membuat terobosan baru dengan cara yang elegan, santun dan bijak. Dengan cara ini para perempuan itu telah menyadarkan Musa, dan pemimpin agama, bahwa perubahan dan pembaharuan harus dibuat. Deborah memimpin Israel sebagai hakim selama 40 tahun. Deborah (Hakim-Hakim 5) adalah seorang nabiah dan juga hakim, serta sebagai istri Lapidot. Dengan segala kebijaksanaan, dan kearifan hikmat Tuhan Deborah mampu memimpin 40 tahun sebagai hakim.
  • Perempuan pemimpin jemaat juga muncul dalam surat Paulus untuk jemaat Roma. Febe (Roma 16) adalah pelayan Tuhan di Kengkrea. Tidak banyak informasi tentang perempuan-perempuan ini, tetapi paling tidak kita memahami bahwa para perempuan dilibatkan dalam pelayanan digereja mula-mula.

Beberapa contoh di atas memperlihatkan kepada kita, bahwa di dalam Alkitab dijumpai kisah perempuan yang hebat dan peranannya diakui oleh laki-laki. Alkitab menyajikan kisah itu apa adanya dengan latar belakang sejarah yang dipengaruhi oleh kebudayaan tertentu. Hal ini juga terlihat nyata dalam kisah dan pelayanan Yesus. Yesus dalam pelayanan dan pengajaran-Nya tidak membedakan posisi perempuan dan laki-laki.

Kisah yang ditulis di Yohanes 8:1-11 adalah salah satu kisah pembelaan Yesus terhadap perempuan yang teraniaya. Mengapa Yesus tidak menghukum tetapi mengampuni? Karena yang perlu dihukum sebetulnya adalah perempuan dan juga laki-laki pasangan (zinah)nya. Mengapa tidak ada laki-laki yang diseret untuk dihukum di depan Yesus? Karena konstruksi sosial pada masyarakat tersebut menganggap hal tersebut biasa terjadi pada laki-laki.

Peristiwa lain yang menggambarkan sikap Yesus yang menghargai perempuan sama pentingnya dengan laki-laki adalah saat terjadi percakapan antara Yesus dengan perempuan Samaria di Sumur Yakub (Yohanes 4: 1-42). Percakapan ini adalah penghargaan dan pencerahan bagi perempuan tersebut. Hal ini dikarenakan Yesus tidak menghindar saat bertemu dengan perempuan Samaria, padahal agama/adat Yahudi melarang seorang perempuan bercakap dengan seorang laki laki di tempat umum.

Masih banyak kisah tentang penghargaan Yesus terhadap perempuan dalam konteks masyarakat patriakhi saat itu. Namun, setidaknya hal tersebut di atas menggambarkan bahwa Yesus yang menjadi panutan orang Kristen menempatkan perempuan dan laki-laki sama dan setara di hadapan Tuhan dan sesama.

Wanita dan kebijakan publik

Politik juga dapat menjadi alat sosial bagi terciptanya ruang kesempatan dan wewenang, serta memungkinkan rakyat mengelola dirinya sendiri dalam prinsip kesetaraan dan keadilan. Alat sosial ini diharapkan oleh perempuan untuk memperbaiki nasibnya dalam upaya kesetaraan dan keadilan di ruang publik.

Persoalan mendasar keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia adalah pada masalah keterwakilan perempuan yang sangat minim di ruang publik. Perempuan selalu terstigma dan selalu diposisikan hanya dapat berada dalam ranah domestik untuk mengurusi masalah rumah tangga, tanpa bisa berapresiasi dan mengembangkan diri dalam ranah publik.

Permasalahan yang kedua adalah minimnya platform partai politik yang secara konkrit membela kepentingan perempuan. Majunya perempuan ke ruang publik dan menduduki tempat-tempat strategis pengambilan keputusan adalah satu-satunya cara agar kepentingan perempuan itu sendiri terwakili.

Gerakan wanita ini sangat terasa khususnya dalam beberapa dasawarsa terakhir abad 20, sekaligus telah membawa perubahan yang sangat besar dalam masyarakat pada saat ini. Sebagai contoh, beberapa kaum perempuan Indonesia yang tergabung dalam Suara Ibu Peduli pada tahun 1998 di Bundaran HI misalnya, seolah hendak mengulang adegan di depan gedung pemerintah Perancis beberapa abad yang lalu, yang menuntut penurunan harga susu.

Kaum wanita yang dulunya tidak memiliki posisi yang cukup berarti dan dianggap sebagai kaum lemah dalam masyarakat kini mulai terlihat. Sejumlah besar wanita memasuki panggung politik teknis pada saat ini, dan juga tidak sedikit yang memperjuangkan hak-hak politiknya lewat jalur lain.

Apa yang bisa dilakukan wanita Kristen?

Beberapa hal yang telah dilakukan oleh para perempuan yang ingin memperjuangkan hak-hak politiknya, antara lain:

  1. Terlibat aktif dalam diskursus tentang perubahan substansi hukum dan peraturan perundang-undangan nasional dan daerah, baik di lembaga legislatif, dunia akademik, lembaga pembentuk hukum, kementerian-kementerian, lembaga-lembaga negara, institusi-institusi penegak hukum, media-media dalam berbagai bentuk, bahkan dalam pertemuan-pertemuan informal;
  2. Sebagai pendidik formal maupun informal di tengah keluarga, dan di pertemuan-pertemuan masyarakat, sehingga bisa mempengaruhi cara berfikir generasi muda kita tentang bagaimana seharusnya kebijakan publik dirumuskan untuk kepentingan bangsa, negara, satuan masyarakat, keluarga dan individu;
  3. Sebagai pendidik bagi keluarga, sehingga bisa mencegah keluaganya sendiri dan keluarga yang mereka kenal berperilaku korup, atau hal lain yang bisa merusak generasi bagi bangsa;
  4. Sebagai pelaksana, penginspirasi, perancang dan pengawas perubahan hukum yang gigih, dan bersama-sama dengan jaringan yang kuat mereka bisa melaksanakan tugasnya dengan lebih baik;
  5. Sebagai mahluk sosial yang efektif menyebarkan ide dan gagasannya ke ruang-ruang publik dan privat manapun mengenai perlunya perubahan hukum;

Wanita Kristen Indonesia harus memiliki karakter di dalam segala kegiatan pembangunan, termasuk berpolitik yang bertujuan untuk menyejahterakan negaranya. Hal itu dibuktikan dengan cara mengasihi Allah, memiliki kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, serta mampu membuat masa depan generasi muda yang lebih baik dalam perannya selaku wanita, baik dalam rumah tangga, di tengah-tengah masyarakat, maupun di dalam dunia kerjanya.

——-

*Penulis adalah Fitriana Yuliawati Lokollo, SKM, M.Kes., Tenaga Ahli Alat Kelengkapan Dewan,   Komisi IX DPR RI, bidang kesehatan

**Diterbitkan dalam majalah Dia edisi I tahun 2013

 

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *