Rasanya sulit membicarakan pemimpin yang trasnformatif dengan melihat apa yang terjadi pada bangsa ini. Sulit menemukan figurnya, yang ada mungkin malah masalah. Lihatlah sikap pemimpin-pemimpin menghadapi masalah bangsa. Kasus korupsi sulit terungkap, karena kasus yang muncul tidak pernah dituntaskan. Sulit mendapatkan keadilan di negara ini, karena keadilan berpihak pada yang berduit dan berkuasa. Dan banyak lagi. Namun, Alkitab memiliki rumusan dan teladan untuk adanya kepemimpinan yang transformatif.
Melihat Teladan Nehemia
Apa yang terjadi pada Nehemia ketika beliau mendengar cerita tentang orang-orang Yahudi yang terluput dan tentang Yerusalem? Nehemia menangis dan berkabung selama beberapa hari (Neh 1:4). Saat ini rasa-rasanya sulit untuk mendapatkan pemimpin seperti Nehemia yang ketika mendengarkan berita duka tentang negerinya lalu mengangis dan berdoa. Mengapa demikian? Nehemia adalah orang yang mengetahui dan melakukan Firman Tuhan. Nehemia tahu bahwa apa yang dialami bangsanya itu akibat ketidaktaatan kepada Tuhan. Sehingga tidak mungkin menghindar dari penghukuman Tuhan jika bangsa itu tidak bertobat. Itu sebabnya Nehemia menaikkan syafaat kepada Tuhan yang berisi pengakuan dosa atas apa yang telah diperbuat bangsanya (Neh 1:5-7). Nehemia menangis dan berdoa atas dasar yang benar.
Kemudian lihat yang dilakukan Nehemia? Dia tidak hanya menangis, berdoa, berpuasa. Tapi Nehemia bertindak! Pergumulan Nehemia yang dalam itu rupanya berdampak pada penampilan Nehemia di hadapan raja Artahsasta. Pada masa itu ketika seseorang berada dihadapan raja, lalu bermuka muram, maka hukumannya adalah mati. Maka apa yang terjadi pada Nehemia ketika terlihat sedih di hadapan raja adalah anugerah Tuhan. Raja malah bertanya perihal kesedihan yang dialaminya itu. Lalu terjadilah percakapan di antara mereka (Neh 2). Di situlah Nehemia mengajukan sebuah proposal untuk pembangunan tembok Yerusalem kepada raja (Neh 2:5). Sungguh suatu keberanian tingkat tinggi untuk ‘beradu tawar’ dengan raja. Kemudian kita tahu apa keputusan raja, yaitu mengizinkan Nehemia meninggalkan pekerjaannya di istana untuk mengerjakan apa yang diajukan dalam proposalnya itu. Ajaib! Seorang raja penjajah mengizinkan terjadinya pembangunan tembok kota, yang notabene merupakan simbol kota Yerusalem, di ibukota dari bangsa yang dijajahnya.
Jika dipikir, apakah yang terjadi pada Nehemia hanya karena dia menaikkan doa singkat pada Allah? (Neh 2:4) Apakah seperti seseorang yang tiba-tiba mendapatkan ilham atas apa yang harus dilakukannya? Tidak! Nehemia sungguh berdoa dan bergumul atas masalah Yerusalem itu, sekitar 3-4 bulan, dihitung sejak Nehemia mendengar berita pertama kali hingga kejadian di ruang raja itu. Bagaimana Nehemia bergumul? Apakah proposal yang Nehemia sampaikan pada raja itu muncul tiba-tiba? Sekali lagi: tidak! Dalam berdoa dan berpuasa itu, Nehemia tentunya menggumulkan setiap ide yang dia pikirkan dan membawa itu dalam doa, terus begitu, hingga itu menjadi sebuah rencana yang matang: “tidak ditolak raja” (Neh 2:8). Brilian!
Dari situ proyek pembangunan tembok Yerusalem mulai berjalan, walau ada tantangan dari dalam dan luar, hingga tembok Yerusalem berdiri pada tanggal dua puluh lima bulan Elul, dalam waktu lima puluh dua hari (Neh 6:15). Fantastis!
Mengalami Pembaharuan Budi
Paulus menuliskan hal penting dalam ayat ke-2 dari Roma 12 yaitu : “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (NIV Study Bible: “Do not conform any longer to the pattern of this world, but be transformed by the renewing of your mind. Then you will be able to test and approve what God’s will is-His good, pleasing, and perfect will). Melalui ayat ini kita melihat bahwa transformasi dimulai dengan pembaharuan budi atau pikiran.
Paulus memahami kecenderungan manusia adalah mengikuti pola dunia. Bagaimana pola dunia itu? Pola dunia itu berkubang pada dosa yang membuat terikat pada dunia yang jahat (Gal 1:4). Pola dunia itu berwujud dalam “keinginan daging, keinginan mata dan keangkuhan hidup” (I Yoh 2: 15-17). Pola dunia akan membuat manusia tidak dapat memahami kehendak Allah. Maka untuk tidak mengikuti pola dunia dan dapat memahami kehendak Allah, Paulus menganjurkan terus melakukan pembaharuan budi atau pikiran. Paulus tahu pikiran manusia itu begitu keras dan kaku untuk menerima dan melakukan perubahan. Lihatlah bangsa Israel yang terus mengalami kebaikan Allah, tapi terus juga melakukan pembangkangan terhadap Allah.
Hanya ketika manusia memberi diri sebagai persembahan yang hidup pada Allah (Rom 12:1), maka Kristus memampukan manusia mengalami pembaruan pikiran (budi) itu. Kita akan terus mengalami pembaharuan. Suatu pembaharuan yang akan membuat kita terus segar, terus hidup dalam kesukaan yang luar biasa, terutama terus mengerjakan kehendak Tuhan di bumi ini. Kita akan menjadi orang Kristen yang terus “segar, fleksibel dan siap mengikuti pimpinan Roh Kudus”. Bukan menjadi orang Kristen yang “beku, kering, mati dan tidak bisa berubah lagi”. Di sini kita akan melihat dua tipe orang Kristen: (1) orang Kristen yang tidak bisa berubah, kaku, beku, mati, karena mengikuti pola dunia, (2) orang Kristen yang terus mengalami transformasi semakin lama semakin mirip Penciptanya, karena mengizinkan dan mengalami pembaharuan Tuhan.
Realitas Bangsa
Jika membandingkan dua kisah di atas dengan kondisi bangsa saat ini, maka sulit sekali menemukan pemimpin seperti Nehemia: pemimpin yang transformatif.
Ketika pemimpin tidak mau taat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, maka muncul kompromi. Kompromi untuk menyenangkan atau menguntungkan pihak tertentu, namun membawa kesulitan atau kerugian bagi pihak lain. Lihatlah kasus HAM 1998, Lumpur Lapindo di Porong (Jatim), pencemaran laut akibat bocornya sumur minyak Australia di laut Timor (NTT), kemiskinan yang masih banyak di negeri ini, pendidikan yang tidak jelas, dan lain-lain.
Melihat hal tersebut, kita menjadi prihatin kalau mengingat bahwa pemerintah selalu berkata kepada rakyatnya bahwa mereka sudah bekerja keras, seakan-akan berpihak pada rakyat, pada orang-orang miskin. Namun realitanya berbeda! Maka pertanyaannya menjadi “Pemimpin-pemimpin ini kerja keras untuk siapa dan untuk apa?” Bandingkan dengan Nehemia.
Realitas umat (baca: PMK)
Hal unik terjadi ketika kita melihat umat Kristen (baca: PMK) di negara kita. Kini hampir tidak ada kampus yang tidak memiliki perhatian kepada pembinaan kerohanian mahasiswanya. Entah itu bersifat top down, maupun dibangun dari bawah oleh para mahasiswa sendiri. Kenyataan ini membangkitkan realitas munculnya anak-anak muda yang giat melakukan kegiatan rohani, melek hal rohani. Muncul asa bahwa generasi tersebut akan membawa pembaharuan ketika mereka terjun sebagai alumni. Namun apa yang terjadi kemudian? Sulit dipercaya bahwa perubahan yang diharapkan di negara ini tak kunjung tiba! Padahal setiap tahun kampus-kampus menghasilkan alumni-alumni baru, dimana di dalamnya ada “mahasiswa-mahasiswa Kristen, yang katanya, rajin PA, mengikuti atau melaksanakan retreat/kamp, menjadi pengurus PMK, menjadi PKK, juga aktif pelayanan di Gereja, dan seabrek jabatan atau aktivitas pelayanan lainnya”. Ajaib!
Mengapa? Karena pengenalan akan Firman Tuhan dan Tuhan itu sendiri harusnya sudah membawa pembaharuan di dalam diri seseorang. Apalagi jika sudah mendapatkan pembinaan yang rutin secara berkala selama beberapa tahun. Sehingga realitas umat Kristen (baca: PMK) di atas terasa absurd atau kabur. Apalagi jika mengetahui bahwa pembinaan-pembinaan tersebut terjadi dalam suatu kerangka pikir bahwa pada akhirnya mereka diharapkan menjadi pemimpin, pemimpin yang dapat membawa pembaharuan atau transformasi. Namun, jauh panggang dari api, begitulah kira-kira realitas ketika mereka terjun dalam masyarakat. Masalah tidak terselesaikan, namun masalah baru muncul. Orang kemudian menjadi apatis dengan umat Kristen (baca: PMK) karena tidak mampu berfungsi sebagai garam dan terang dalam masyarakat yang semakin “gelap dan busuk”. Tidak mampu menghadirkan pemimpin yang transformatif bagi bangsa ini.
Transformasi Kepemimpinan
Apa yang harus dilakukan? Ingatlah bahwa tidak ada yang salah dengan melakukan aktivitas PA, aktif di PMK, pelayanan di Gereja, dan berbagai aktivitas rohani lainnya. Karena itu semua mendukung lahirnya pemimpin-pemimpin baru. Namun untuk dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin yang transformatif, tidak ada cara lain kecuali kita perlu bertobat dan kembali melakukan apa yang diinginkan Tuhan untuk dikerjakan.
Dalam konsep dunia, menghasilkan pemimpin mungkin butuh keberanian dan orang nekad untuk jadi pemimpin. Tapi dalam kekristenan, transformasi kepemimpinan dapat terjadi melalui: (1) Pengenalan, pemahaman & pengamalan Firman Tuhan; (2) Mengenal dan melakukan kehendak Allah; (3) Sikap yang terus memandang kepada Kristus; (4) Meneladani teladan yang ada pada diri orang-orang beriman dalam Alkitab dan dalam hidup sehari-hari; (5) Terus terbuka terhadap pimpinan Roh Kudus; (6) Keyakinan akan kekekalan yang membuat kita terbuka terhadap perubahan-perubahan pada masa kini dan datang. Pemimpin tanpa transformasi hanya akan menghasilkan status quo dalam masyarakat.
—— Dituliskan oleh Reza Tehusalawany Staf Perkantas Sulsel, sedang studi S2 Filsafat di STF Drikarya Jakarta
——- Dituliskan pada edisi no.2 tahun ke-XXIV 2010, Memulai sesuatu untuk perubahan masyarakat