Siapa sih yang tidak mengenal nama Ruly Simanjuntak? Kisah ketegaran hatinya ketika menolak penawaran suap yang nilainya sangat menggiurkan itu sangat menguatkan banyak orang yang mendengarkan kesaksiannya. Kisah tersebut bahkan sempat “terekam” di dalam buku “Shining Like Stars” yang ditulis oleh Lindsay Brown, mantan General Secretary dari International Fellowship of Evangelical Students.
Pelayanan pemuridan adalah salah satu aspek pelayanan yang paling menonjol dari kehidupan pejabat dari salah satu BUMN terkemuka di Indonesia ini. Simaklah bagaimana perspektif beliau tentang pemuridan yang merupakan “core” dari pelayanan Perkantas.
Kapan pertama kali Bapak bergabung dalam kelompok kecil?
Saya pertama kali kenal kelompok kecil pada tahun 1977. Di kelas agama saya dikonseling ibu Dorothy (Dorothy I Marx, dosen agama—red), kemudian saya bertobat. Setelah itu saya diajak sama dia, “yuk ikut kelompok.” Namanya kelompok PA, bersama lima atau enam orang lain yang baru bertobat juga. Karena ibu sibuk, dilanjutkan pemimpinnya dengan Gideon Yonatan, yang waktu itu dinas di Telkom Bandung. Dialah yang meneruskan untuk memimpin, dan dia memakai buku Memulai Hidup Baru (MHB). Sebelumnya, dengan ibu tidak pakai buku, tapi PA langsung dari Alkitab. Itu awalnya.
Berarti waktu itu belum kenal pelayanan Perkantas?
Belum tahu waktu itu. Tahunya ya dari Gideon itu, karena dia dari Perkantas Jakarta. Ibupun ngomong-ngomong dengan Perkantas, makanya saya dibikin di Bandung, gitu. Kalau saya tidak tahu menahu. Pokoknya bertobat lalu diajak PA.
Jadi PA kitab-kitab dulu baru pakai buku?
MHB itu dibawa oleh Gideon, karena dia kan juga waktu pembinaannya pakai MHB, jadi kami diajarin pakai MHB.
Bagaimana selanjutnya?
Setelah dibina, masing-masing disuruh pimpin kelompok lagi. Karena waktu itu belum ada pemimpin perempuan, anggotanya pun masih campuran (laki-laki dan perempuan). Kampus anggotanya juga macam-macam, ada yang dari ITB, ada yang dari Maranatha, ada yang dari Unpar. Setelah kelompok-kelompok terbentuk, ibu juga membentuk Open House (OH). Orang-orang yang dibina itu jadi kelompok inti yang melayani di OH, dan orang-orang yang dituai di OH kemudian dimuridkan dalam kelompok kecil. Tulang punggungnya OH ya kelompok itu.
Setelah itu, yang senior-seniorpun merasa perlu untuk berkumpul tersendiri, yang kemudian kami namai “KTB” (Kelompok Tumbuh Bersama). Tadinya KPD (Kelompok Pembinaan Dasar). Kami pakai buku terbitan Perkantas, Pembinaan Watak & Pola Hidup Ilahi. Pernah juga pakai buku Pekerja Kristus karangan Watchman Nee. Ya macam-macam bukulah, yang kelihatannya bisa menunjang dan ada diskusinya. Jadi ada buku terbitan Perkantas, ada buku luar. Pokoknya kami sarankan bahwa tiap orang harus membina dan perlu memiliki kelompok sama supaya dia terjaga.
Hal itu terus berlangsung. Setelah itu, saya pindah ke Jakarta. Saya merasa perlu juga punya kelompok kecil, jadi di Jakarta saya pernah punya kelompok kecil. Pernah dengan teman-teman dari Universitas Jaya Baya, pernah dengan teman-teman dari sekolah tinggi komputer di Cileduk. Pokoknya banyak lah. Ke mana saja saya pergi pasti membina kelompok, apakah dari mahasiswa, ataukah dari gereja. Kadang ketemunya di rumah, kadang di kantor, pokoknya cari tempat yang enak.
Jadi pendekatannya awalnya pribadi, tidak di-”jatah” dari pengurus?
Kalau saya, mungkin karena saya sudah alumni, jadi saya cari adik sendiri. Saya ke kampus atau gereja, selalu pikiran saya, di kampus ini siapa orang kuncinya. Orang itu yang saya dekati dan ajak KTB.
Sudah berapa kelompok?
Wah, banyak. Yang terakhir ini ada dari Kamp Nasional Alumni. Teman-teman bilang begini, “Bang, kami dari alumni Bandung di Jakarta seperti domba tidak bergembala.” Saya bilang, “Kenapa? Bergabung saja dengan Perkantas Jakarta, kan ada? PMKJ ada, PAKJ ada.” Mereka bilang, “Kalau persekutuannya bisa, Bang, tapi bagaimana dengan kelompok kecil? Kami kan ingin sharing dan sebagainya.” “Ya, dibentuk saja,” saya bilang, “Kalian kumpul berapa orang, KTB saja.” Tapi mereka bilang, “Ah, kalau nggak ada pemimpinnya susah, Bang.” Terus mereka bilang, “Bagaimana kalau Bang Ruly yang pimpin kami?” Saya bilang, “Kalian kan sudah alumni? Apa perlu dipimpin lagi?”
Saya juga pernah KTB sama bang Mangapul, kak Tadius, Sunaryo, itu karena kami kumpul saja di sini. Kampusnya lain-lain, trus kami kumpul, wah seru sekali waktu itu. Saya bilang, “Kenapa kalian nggak begitu juga? Kami juga nggak ada pemimpinnya” Tapi mereka bilang, “Wah, Bang, kalau model begitu nggak jadi-jadi,” katanya, “main tunggu-tungguan. Bang Ruly yang jadi pemimpin kami, supaya paling tidak ada pioneering gitu lho.” Saya pikir daripada terlantar, saya sanggupi saja. Ternyata setelah jalan itu, mereka jadi semangat. Mungkin memang perlu ada pemimpinnya ya, supaya ada semangat. Eh, tau-taunya terus KTB sampai sekarang, sudah pada nikah semua. Nggak bubar-bubar sampai sekarang deh. Ada yang pergi ke luar kota ada yang ke luar negeri, yang sisa sekarang ada empat keluarga dan dua bujangan.
Dari mulai bujangan sampai berkeluarga ya?
Iya sampai punya anak juga. Karena waktu itu saya bilang, “Sudah ya kita bubarin aja,” setelah jalan beberapa tahun, tapi mereka bilang, “Jangan Bang, terus saja. Anggap saja persekutuan.” Akhirnya dari Perkantas Jabar, Sutrisna bilang, “Oke, mereka suruh pimpin alumni yang di Jakarta saja.” Jadilah mereka pimpin kelompok, tapi kelompok yang ini nggak bubar.
Tadinya saya sendiri, tapi karena mereka berkeluarga, istri saya ikut juga. Sekarang pertemuan kami sebulan sekali, kecuali Desember dan Januari, yang pasti dari Pebruari sampai Nopember. Tempatnya pindah-pindah, bisa di rumah saya, di kantor Susilo, di kantor Tommy, di mana-mana lah.
Ada kisah yang menarik tentang dampak dari KTB ini?
Ya pastilah. Saya pernah tanya soal itu dan mereka jawab, “Pentingnya menjaga persekutuan yang erat untuk survival di dunia profesional yang keras.” Itu jawabannya. Itu yang ngomong mereka. Mereka tidak merasa single fighter. Berjuang sendiri di jakarta ini sebagai seorang profesional kan konyol rasanya. Mereka senang, bisa curhat, refreshing lagi. Waktu mereka sharing ini, saya teringat tentang kisah Daniel dkk yang tetap menjaga iman dan profesionalitasnya. Kualitas mereka terjaga, bahkan semakin bagus. Buat saya sendiri, saya punya semacam motto: “Alumni yang nggak melayani, ujung-ujungnya mundur dia.” Kayak tentara kalau nggak perang, ntar gendut. Alumni yang nggak mau terlibat dalam pelayanan, tanpa disadari dia akan mundur, karena dia terbiasa main aman, bertahan. Kalau main bola bertahan terus, gimana ya? Bertahan oke, tapi juga harus menyerang.
Dan buat saya, kelompok seperti ini termasuk pelayanan saya, dan saya yakin itu yang Tuhan Yesus mau. Setiap orang harus memuridkan orang. Sepanjang hidup saya selalu memuridkan, karena saya yakin benar bahwa Tuhan Yesus itu memberikan contoh melalui murid-murid-Nya. Diapun memerintahkan supaya kita memuridkan orang. Jadi selama hayat dikandung badan, saya mau memuridkan orang terus. Sayang kalau sudah punya banyak pengetahuan tapi nggak memuridkan orang lain.
Salah satu ciri KTB kan membagi hidup, sejauh apa dipraktekkan di KTB?
Sekali-kali kami ajak ke rumah. Kalau sudah ke rumah kan orang sudah tahu. Apa yang ada di situ, rumahnya kayak apa jenisnya. Saya punya kerinduan sejak dulu bahwa saya ingin menerapkan pola hidup sederhana. Simple lifestyle. Maka kalau mereka datang ke rumah ya mereka lihat. Contoh seperti itu nggak usah ngomong saja mereka sudah lihat. Itu sudah berbicara banyak. Sebetulnya itu sudah membagi hidup dengan mereka. Mereka juga lihat buku apa saja yang ada di rumah saya. Buku apa saja yang saya baca. Mereka juga tanya-tanya. Kami punya kebiasaan sejak menikah bahwa kami punya persekutuan doa di keluarga. Family altar. Membagi hidupnya kan gitu ya, dia lihat, dia tanya.
Saya juga sharingkan pergumulan saya di kantor, termasuk saya membagikan pelayanan. Karena saya kan pelayanan di mahasiswa. Jadi mereka yang belum pelayanan saya berikan gambaran. Supaya mereka itu punya gambaran bahwa hidupku ada hidup keluarga, hidupku ada dalam pekerjaan, hidupku juga ada dalam pelayanan. Dan itu sudah bertahun-tahun. Mereka lihat kalau saya pelayanan, mereka lihat kalau datang ke kantor. Mereka sudah tahulah.
Kalau di mahasiswa, setelah lulus biasanya kelompok bubar, bagaimana menurut Bapak?
Selalu kalau saya pimpin kelompok. Selalu ya, karena itu perintah Tuhan Yesus juga dalam Matius 28:19, kita bukan hanya memuridkan orang, tapi setelah kita memuridkan orang, orang itu kita suruh memuridkan orang lain, supaya terjadi kontinuitas. Jadi sebelum saya ninggalin orang yang saya bina, saya pastikan dulu orang ini punya adik bimbing. Syukur kalau disediain kampus, tapi kalau nggak ada, saya suruh cari sampai ketemu. Karena Tuhan bilang, “Pergi,” bukan “tunggu.”
Pelayanan mahasiswa itu kan kayak ban berjalan, maka setiap orang, setiap angkatan, harus memuridkan supaya ada regenerasi. Pemuridan yang kontinyu itu sangat dibutuhkan khususnya di pelayanan mahasiswa, karena terjadi perubahan generasi terus. Tanpa itu pelayanan mahasiswa akan tidak bertumbuh atau kekurangan pekerja.
Ada yang kurang prioritas KTB karena sibuk, bagaimana pendapat Bapak?
Alasan sibuk itu alasan yang dibuat-buat. Saya bukan orang yang nggak sibuk. Semua orang, dunia ini juga sibuk. Jangan sok sibuk lah. Saya juga menghidupi hidup ini sejak lama. Pelayanan iya, keluarga iya, pekerjaan juga iya. Bahkan di kantor juga bukan jadi kroco tapi jadi pejabat. Itu semua masalah prioritas. Simpel. Proses itu penting nggak? Pentingnya di mana? Tuhan Yesus saja ngomong. Saya nggak berani tuh, nentang Tuhan Yesus. Dia bilang, “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku.” Dia juga bilang, “Pergi,” “go.” Ya kalau kita nggak mau prioritaskan itu lagi kita nggak ngerti orang kristen seperti apa yang dihasilkan. Tapi kalau mau serius, ya seriuslah sama apa yang Tuhan Yesus katakan.
Saya merasa memuridkan itu adalah juga bagian integral dalam hidup ini sebagai pengikut Kristus. Itu harus menjadi prioritas. Nah, kalau sudah jadi prioritas, maka kita juga fokus pada bahannya dan ada target waktunya. Memang nggak tight banget ya, tapi harus ada lah ya. Karena kalau tidak, apalagi seperti di mahasiswa, ban berjalan, sudah lewat ya sudah.. produk gagal itu namanya. Dan produk gagal, angkatan gagal tidak berhenti sampai di situ, angkatan berikutnya gagal lagi.
Maka betapa pentingnya pemuridan yang kontinyu itu juga dijaga dengan kelompok kecil yang teratur dan disiplin, supaya pelayanan mahasiswa termasuk pelayanan alumni bisa terus. Kata kuncinya adalah keteraturan dan kedisiplinan. Saya belajar dalam pelayanan ini saya tidak mau terlambat. Disiplin. Nggak mau terlambat dan punya target. Harus teratur dalam arti pakai buku, jangan hanya jalan begitu saja. Terserah mau pakai buku apa, tapi usahakanlah teratur.
Sebenarnya nggak susah, cuman ya.. tantangan buat orang indonesia ini adalah satu males, yang kedua ngawur. Satu males, artinya apa? Nggak mau komitmen untuk ngerjain sesuatu yang berguna untuk jangka panjang. Dia tahu sebetulnya benefitnya apa dan dia tahu juga kalau nggak dilakukan akibatnya apa. Yang kedua sering ngawur, nggak mau yang teratur. Padahal Tuhan menciptakan alam semesta itu kan ada keteraturan, ada hukumnya, ada prinsip-prinsipnya. Pemuridan juga membutuhkan keteraturan. Kadangkala ada orang bilang bahwa keteraturan itu nggak kreatif, malah ada orang Indonesia yang bilang ngawur itu seni. Ngawur kok seni? Namanya musik itu kan juga ada partiturnya, ada aturannya. Orang kita seringkali hidup ngawur-ngawuran saja. Nggak ada polanya, nggak keliatan prioritas hidupnya mana.
Ini membutuhkan contoh-contoh teladan, karena orang Indonesia itu lebih kuat lihat teladan daripada dengar orang ngomong. Saya tahu itu, makanya lebih baik lakoni saja, ketimbang ngomong banyak, capek. Dan ternyata lebih efektif. Kadangkala saya pelayanan, anak KTB saya ajak, supaya dia lihat. Nggak usah diajarin, biar dia lihat. Orang bilang action speaks louder than word. Kalau main sibuk-sibukan, saya juga orang sibuk dari dulu. Alasan sibuk itu membuktikan bahwa anda nggak punya prioritas yang jelas.
Bagaimana menerapkan kedisiplinan dalam KTB?
Nomor satu doakan. Karena hanya Roh Kudus yang bisa ubah orang. doakan supaya Roh Kudus yang membangkitkan dia, mengingatkan dia, supaya terjadi kebangunan rohani yang sejati. Kadang ada orang yang declining, butuh revival. Doakan secara pribadi, sebut namanya. Jangan menyerah. Mata saya sudah sering lihat banyak alumni yang going astray tapi saya doakan dalam doa-doa pribadi, sekarang akhirnya kembali lagi. Siapa yang bisa kembalikan dia kalau bukan Roh Kudus? Entah lewat KKR, atau lewat peristiwa dalam hidup, Tuhan pasti ingatkan dia.
Jangan menyerah, never give up. Apalagi kalau Tuhan sudah menyelamatkan orang, kalau dia mengalami pertobatan yang sejati, Tuhan akan mengingatkan dia terus, ke manapun dia pergi.
Kitapun perlu diingatkan orang lain. Saya senang kalo diingatkan. Itu kan kontrol dari luar diri kita. Sama, kita pun perlu mengingatkan orang lain. Itulah pentingnya persekutuan, gereja. Tidak membiarkan yang lain itu jatuh terus kita diamkan. Itu namanya nggak saling menolong. Kan dikatakan bahwa kita bertumbuh bersama di dalam kasih dan kebenaran. Kadangkala orang berpikir bagaimana nasehati orang dengan benar saja. Nggak bisa, harus ada kasihnya. Kasih itu diwujudkan dengan mendoakan dulu orangnya.
Jadi nasehatnya juga harus dengan kasih dan kebenaran. Kalaupun tegoran itu nggak enak, nanti di rumah dia akan mikir, “Iya ya, abang itu ngasih tahu buat saya, bukan buat dia.” Setelah doakan, baru kasih tegoran. Jangan cuma main tegar-tegor aja nggak didoakan, nggak ada gunanya kita ngomong, dan orang nggak bakal nyadar. Kita itu bekerjasama dengan Roh Kudus. Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang bukan fisik. Ini dimensinya lain, dimensi rohani, nggak kelihatan. Maka treatment-nya juga harus treatment rohani.
Pesan kesan untuk Perkantas yang sudah empat puluh tahun ini?
Saya baca bukunya John Stott yang terakhir (The Radical Disciple—red). Dalam satu statement-nya dia katakan, “Gereja di dunia sekarang bertumbuh dalam angka-angka, tetapi tidak mendalam.” Perkantas 40 tahun itu, menurut saya, wah, banyak lah. Seluruh propinsi ada, kota sudah berapa, kalau dilihat dari grafiknya nambah. Tapi menurut saya kita juga harus bertanya, bagaimana kualitasnya?
Kualitas itu hanya bisa dijawab kalau ada pemuridan yang kuat, teratur, disiplin. Itu yang bisa menjamin bahwa Perkantas ke depannya bisa eksis, survive, di tengah bangsa yang lagi morat-marit ini. Kalau tidak dilakukan oleh Perkantas, yang seperti ini yang barusan saya bilang, tidak memikirkan kualitas, Perkantas nggak bisa jadi berkat bagi Indonesia ini, kalau hanya dengan mutu yang rendah ya. Untuk membuat pemulihan negeri yang kacau, yang morat-marit ini, bukan hanya perlu kuantitas tapi juga kualitas dari alumni-alumni.
Peranan kita juga signifikan kalau kualitasnya kuat. Contohnya Daniel. Dia number-nya nggak banyak, tetapi pengaruhnya signifikan. Ini perlu dihayati oleh kita bersama. Saya menyarankan jangan lupakan kualitas, itu yang bisa mempengaruhi negeri ini. Semoga. (phay)
2 pemikiran di “Setiap Orang Harus Memuridkan”
Percakapan indah.
Luar biasa 🙂